Dua Puluh Dua : Simposium Luka

73 19 26
                                    

📕📕📕

Mataku tak berhenti terpaku pada poster simposium yang kuambil dari cagar alam sore tadi. Mama, fotonya terpampang di sana, dengan senyum professional dan wajah cerdasnya. Di sisinya ada foto profesor lain yang berbeda gelar tapi juga seorang ilmuwan hewan. Tajuk poster itu cukup rumit bagi orang awam, tapi intinya membahas tentang prevensi hilangnya habitat aves di Sumatera.

Dahiku berkerut melihat seat yang terbatas untuk mengikuti simposiumnya. Namun yang lebih membuatku bimbang ialah, apakah aku siap mengikuti acara bertukar pikiran itu di satu ruang yang sama dengan Mama?

Ya, satu ruang, artinya sekian persen kemungkinan kami saling bertukar napas.

Ketika pulang, Ian tidak membicarakan mengenai tingkah anehku yang hampir memenuhi centang biru tentang poin jatuh cinta. Laki-laki itu justru membicarakan tentang simposiumnya, dan memintaku untuk menghadiri.

"Ini kesempatan besar, Den. Bukankah kau ingin bertemu ibumu?"

Butuh waktu lebih dari seabad untukku menjawab. "Tidak bisa." Ian mendengus mendengar jawabanku. "Ak-aku... jam dua sore hari Sabtu ada les."

"Terus?"

"Persentase keberhasilan masuk UI dipertaruhkan jika aku melewatkan dua jam pelajaran. Itu saja kau tidak tahu!" Seperti biasa aku melampiaskan amarahku pada orang lain.

"Bukankah persentase bertemu ibumulah yang lebih sedikit? Kau sudah bertahun-tahun tidak bertemu."

"Aku akan sering menemuinya ketika sudah menjadi dokter spesialis di rumah sakit terbaik." Kupalingkan wajah ke luar jendela dengan napas yang gusar. Sama seperti di meja belajar ini, aku memalingkan wajah. Berpikir jauh.

Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku mengorbankan dua pertemuan les untuk menghadiri acara ini? Bagaimana reaksi Mama nantinya ketika bertemu denganku?

Seluruh tanda tanya mulai bermunculan sampai-sampai aku tak tidur karenanya. Hingga esoknya, aku menguap puluhan kali di tiga pelajaran bimbel dan meminta Ian untuk menukar jadwal proyeknya menjadi tidur sore.

Aku terbangun selepas malam dan kepalaku sedikit lebih jernih dari sebelumnya. Selepas mandi, aku langsung membuka laptop dan melihat sisa seat di laman web resmi instansi tempat Mama bekerja.

Mataku membulat ketika mendapati seluruh tiket habis terjual. Itu artinya tidak ada seat yang tersisa. Seakan mengonotasikan jika tidak ada tempat yang tersisa bagiku di hidup Mama.

Tanganku mulai sibuk memelintir tali hoodie dan mengacak rambut. "Kenapa aku sekikuk ini?" Menyebalkan pastinya ketika rasa sesal mulai menggerogoti dadaku. Dengan bibir tertekuk ke bawah dan bola mata yang menghangat, aku menyobek posternya dan melemparkan ke keranjang sampah.

Setelahnya aku berjalan di kegelapan malam—tidak gelap karena ditemani lampu jalan—dan menuju Eighties.

Semenjak Fran tidak di sana, aku lebih sering memesannya secara langsung.

Langkahku terhenti tatkala mendapati Ian berada di sana dengan tangan memegang kantongan pizza. Laki-laki itu juga terperanjat mendapati keberadaanku.

"Kau ingin membeli pizza?" tanya Ian ketika kami memutuskan untuk berdiri di depan dinding resto. Aku menanggapi pertanyaannya dengan anggukan dan Ian tersenyum. "Kau selalu memesan pizza setiap sedih."

Benarkah? Aku bahkan tidak menyadari hal ini.

"Ini." Dia menyerahkan kantongan pizzanya. "Aku berniat mengantarkan ini ke rumahmu, tapi kau sudah ada di sini." Laki-laki itu menyerahkan secara paksa dan mengusap kepalaku pelan setelahnya. "Jangan sering-sering sedih ya, Den. Aku gak mau kamu kebanyakan makan junk food."

Dictionary Of Perfection [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang