Tiga Puluh Dua : Terbang

83 17 10
                                    

📕📕📕

"Aku lupa, nampaknya sekitar satu tahun yang lalu. Dia ada semacam simposium di Cagar Alam Pundi Merundang, dan dia ternyata sudah menikah lagi, juga sudah punya anak." Tidak keren dan memang bukan gaya Denti ketika aku memutuskan untuk bercerita mengenai "perasaan" bahkan kepada Fran sekalipun. "Aku rasa dia bahkan sudah lupa jika mantan suaminya tinggal di kota itu."

"Jika nanti aku kembali ke pusat kota sambil membawa Dahlia, aku juga mungkin sudah lupa kalau Jimmy tinggal di sana." Fran menepuk pundakku pelan. "Jimmy bahkan lupa jika dia punya Dahlia ketika tergila-gila dengan Perempuan Kebun Binatang itu. Seperti itulah manusia."

Ucapannya benar meski justru membuat perasaanku jauh lebih buruk.

"Namun aku senang kau akhirnya mau bercerita. Aku tak mengira dua tahun terakhir adalah tahun yang berat untuk seorang feminis seperti Rodentia Montreal."

Kini Fran kembali mengingatkanku akan kegagalan-kegagalan yang kualami. Anehnya aku mulai terbiasa mendengarnya.

"Beban yang kau pikul terlampau berat." Dia kembali berbicara. "Kau ingin memenuhi standar ibumu yang terlalu jauh. Aku yakin kau bisa, tapi aku bertanya-tanya apa itu yang akan membuatmu bahagia? Terlebih setelah semua yang terjadi."

Dengan napas teratur tenang, aku menundukkan pandangan coba mencerna semuanya. Butuh waktu yang lama bagiku untuk mengilhami semua hal tentang afiliasi duniawi. Tentang sebab orang-orang bertingkah bodoh seperti yang Fran dan Ian lakukan. Tentang alasan orang-orang mengambil keputusan yang menurutku konyol, seperti yang dilakukan Jimmy dan Mama. Serta tentang aku yang akhirnya menjadi bodoh karena tersesat di labirin kebingungan.

"Hanya saja, perasaan selalu punya hak." Fran kini bersedekap dan memperbaiki posisi bersandarnya pada dinding ranjang. "Perasaan punya hak untuk memutuskan. Dan sebelum memutuskan, kau bisa menanyakan secara langsung mengenai kejelasannya."

Aku mengatupkan mulut mendengar hal itu. Apa yang dikatakan Fran benar adanya, dan ini baru kumengerti setelah bertahun-tahun menghina sudut pandangnya. Saat itu Fran bukan menginginkan Jimmy kembali padanya, melainkan dia ingin Jimmy juga menyelesaikan semua perkara yang sudah terjadi.

Dan perempuan itu berhasil. Namun saat itu aku justru mengejeknya.

Yap, aku sadar aku memang belum dewasa, tapi aku berproses dan berusaha. "Kau benar-benar keren," bisikku dalam wajah tertunduk dan tangan mengait satu sama lain.

Fran mendelik dan terkekeh pelan setelah beberapa detik. "Akhirnya aku mendengar kalimat itu darimu. Sekarang bagaimana rasanya?"

Kepalaku kembali terangkat. "Rasa apanya?"

"Bagaimana rasanya ketika mengakui keunggulan orang lain?"

Aku mengernyit. Rasanya? Biasa saja. "Astaga," desahku seketika. Ya, rasanya biasa saja. Selama ini aku selalu berpikir dengan memuji orang dapat membuat harga diriku terluka. Aku takut mereka lebih baik dariku atau merasa lebih baik dariku. Namun, aku tidak merasakan apa pun, tidak ada dada yang sesak atau tenggorokan tercekat. Tidak ada senyum pahit atau ketawa getir.

Itu hanya pikiranku. Itu hanya persepsiku.

Aku menatap Fran dalam dan tersenyum tipis. Melihat senyumku, perempuan itu juga tersenyum. Setelahnya dia menghela napas panjang, seakan merasa jika tugasnya sudah selesai—aku menganggapnya begitu karena Bu Bert kerap melakukan hal yang sama setelah berhasil menangani para siswa.

"Kau tahu, pemilik Pizza Hut tempatku bekerja adalah duda." Kini susana kembali mencair. "Dan, dua minggu lalu, dia..." Fran menunjukkan jari manis yang sudah dihiasi cincin. Mataku membulat seketika dan aku langsung menghujaninya dengan pelukan.

📕📕📕

Sesuai hasil percakapan yang berarti dengan Fran, aku memutuskan terbang ke Jakarta tiga hari kemudian. Papa kembali mengirimkan pesan suara mengenai kebolosanku, tapi persetan hal itu. Jika Papa benar-benar peduli, maka datangi aku seperti seorang Papa pada umumnya.

Aku menarik napas dan menenangkan diri. Mencari alamat di Jakarta tentu jauh lebih rumit daripada mencarinya di Prabumulih. Akan tetapi, mencari institusi tempat Mama bekerja justru lebih mudah. Di gedung beton itu, aku bisa mengetahui jam kerjanya—kuharap dia tidak sedang dinas ke antah berantah.

Pegawai di sana memintaku untuk menunggu hingga jam kerja usai, yang mana hal itu amat sangat lama. Sampai tiga jam kemudian, akhirnya aku melihat Mama ada dalam satu ruangan denganku. Tangannya memegang erat jari mungil dari si... siapa namanya? Delphine? Ya, intinya anak barunya.

Dulu aku juga sering diajak Mama bermain di kantor Papa.

Aku kemudian berdiri yakin dan melangkah pasti. Hanya saja, keraguan kembali ketika mendapati suaminya menimbrungi mereka. Laki-laki—yang tampaknya lebih tua dari Papa—itu mengecup pelipis Mama dan mencium pipi anaknya. Setelahnya dia kembali masuk ke suatu ruangan tempat dia sebelumnya muncul.

Ini kesempatanku. Aku memantapkan diri dan berjalan sampai di depan keduanya.

Mama saat ini sedang berjongkok dan bicara dengan Delphine, sampai kemudian dia menyadari keberadaanku dan mendongakkan kepala.

Mata kami saling bertemu dan mengiris. Seakan ada magnet, kami terpaku cukup lama dalam posisi majikan dan pembantu ini. Ia kemudian berdiri dan menatapku secara pasti. "Denti?"

Syukurlah dia masih mengingatku.

"Mama," balasku sambil mengulum senyum. Mama terlihat lebih kurus dari sebelum ia pergi. Kacamata tebalnya mempertegas kewibawaan dan penampilan simpelnya benar-benar menunjukkan sosok seorang ilmuwan.

Mataku mulai terasa hangat dan jantungku bergemuruh hebat. Ya, dia di sini dan aku mendatanginya secara langsung, bukan dia yang mendatangiku.

Aku mendatanginya tanpa modal apapun, tanpa embel-embel keberhasilan, tanpa hal yang bisa dibanggakan, tanpa gelar ataupun nama besar. Aku mendatanginya sebagai seorang... Rodentia Montreal yang tak lain putri kecil kebanggaannya. Dan aku merasa keren akan hal ini.

"Mama," ucapku sekali lagi seraya merentangkan tangan. Perempuan itu turut membuka rentangan tangannya dan balas memelukku.

Hangat. Benar-benar hangat, sampai-sampai untuk pertama kalinya aku menginstruksikan kelenjar air mata bekerja dengan sendirinya.

Air mata dingin itu luruh dari pelupuk mata. Disaksikan oleh Delphine yang melongo ompong akan pertemuan bersejarah ini. Tujuh tahun lamanya, aku kehilangan dia. Dan sekarang, pelukan ini masih sehangat dulu.

Tak ingin melepasnya, aku mengeratkan pelukanku. "Denti kangen," ucapku terisak.

"Mama juga," balasnya pelan.

Apakah ini suatu validasi jika aku masih bagian dalam hidupnya?

Sebelum aku mulai berpikiran jauh, professor tua yang secara tak langsung menjabat sebagai ayah tiriku, kembali dari ruangannya. Laki-laki itu terperanjat mendapati kami berada dalam dekapan yang mengharu biru.

📕📕📕

.

.

.

.

.

DICTIONARY OF PERFECTION

Buat cerita khusus Fran kayaknya seruu nih🤣🤣 tapi maapkeun, antrian ide udah numpuk, gataunih sempet apa nggak buat universenya Fran. Kalo iya ceritanya bakalan romance yaa wak wkwkwkwkwk

Okee stop menghayal, ini aja belum selesai🙈

Anyway kita udah deket sama final, mungkin sampe sini endingnya abu-abu yaa. Kayak kita bisa mastiin endingnya happy atau sad, tapi kurang tahu kalo happy bakal gimana kalo sad bakal gimana.

Yang pasti... I will not let you down!

See ya🎋

Dictionary Of Perfection [TAMAT]Where stories live. Discover now