Enam : Bencana

107 26 52
                                    

📕📕📕

Tahun baru dan semester akhir justru dibuka dengan bencana. Bukan bencana sebetulnya, tapi karena aku Tupai dan tupai itu menyebalkan sehingga orang-orang sengaja membesar-besarkan api yang sebenarnya hanya seukuran atom. Hal ini bermula karena Doni yang tiba-tiba menawarkanku jadi bagian tim lomba cerdas cermat.

Ikut lomba? Di semester kritis? Dia sudah sinting!

"Tidakkah kau berpikir untuk memberikan adik kelas kesempatan bersaing di luar sana? Jangan terlalu serakah." Salahku juga awalnya karena menolak sekaligus menyertakan sindiran.

"Denti, pihak sekolah meminta tim dari masing-masing angkatan."

Kalau begini pihak sekolahlah yang tolol. Tidakkah mereka berpikir anak-anak seperti kami harusnya fokus pada persiapan ujian? Malah disuruh ikut lomba. Aku tahu Doni itu tipe Hamba Lomba yang bertangan dingin, mengikutkan Doni ke perlombaan adalah garansi untuk membawa piala. Tapi. Serius? Tidakkah kepala sekolah sebuta itu.

"Kenapa harus mengajakku?"

"Karena kau juara umum satu dan hampir semua nilaimu sempurna?" Doni melirik Erik sekilas yang membuatku yakin jika laki-laki itu menjadi anggota ketiga dari tim cerdas cermat ini. "Dan kau kerap mengalahkanku pada lomba ranking satu," tambahnya.

"Semua orang tahu kalau saat itu kau hanya mengalah." Morie tiba-tiba menyerobot. Dengan duduk silang dan tangan bersedekapnya, membuat tatapanku memicing akan senyuman culas itu.

Tenaga Doni nampaknya sudah habis untuk menjelaskan bahwa hubungan mereka sudah berakhir, tapi nampaknya Morie berdelusi jika hubungan mereka baik-baik saja. "Ayolah, Don, tidak perlu memohon pada Tupai. Dia ini gak pinter-pinter amet, menang lomba aja jarang. Satu sekolah tahu dia ranking karena donasi dari ayahnya."

Aku menganga tak percaya akan penghinaan itu. Doni bahkan mendelik pada mantan pacarnya, tapi sebelum laki-laki itu bertindak, tanganku sudah melempar buku terlebih dahulu.

"Hei!" teriak Morie kaget karena buku itu hampir mengenai wajahnya.

"Jangan terlalu nunjukin kalau kamu itu idiot, Morie. Dengan mengatakan hal demikian kau terlihat seperti perempuan miskin pendengki yang tidak berotak dan banyak omong." Mataku melotot. "Oh, aku salah, kau tidak terlihat seperti itu. Kau memang seperti itu!"

Morie terkesiap, kemudian melirik Doni meminta bantuan secara tersirat. Aku tersenyum nanar melihat betapa lemahnya dia sebagai perempuan. "Dasar kau ini!"

"Apa? Yang bisa kau banggakan hanyalah bangku cadanganmu sebagai anggota cheers dan bagaimana kau berbahagia memamerkan paha belangmu di hadapan semua laki-laki mata jelalatan. Tidak heran Doni memutuskanmu begitu saja." Aku bahkan menambahkan kekehan jijik. "Terlihat sudah kalau Doni memang berotak, dan kau... yang berdelusi jika Doni masih menyayangimu, hanyalah sampah."

Ketiga orang itu terperanjat akan ucapanku barusan dan melirik kepergianku begitu saja. "Oh atau mungkin lebih rendah dari sampah?" tambahku seraya berbalik badan. "Dalam kamusku sampah adalah objek daur ulang dan penghasil sumber daya energi. Kau mungkin... Beban!" Aku menjentikkan jari dan menghilang begitu saja. Tanpa peduli pandangan takut Erik, tatapan kecewa Doni, serta mata basah Morie.

Sempat terpikir olehku jika aku sudah cukup superior dengan menyemburkan unek-unek. Namun, karena ini SMA dan isinya hanyalah siswi norak pendengki, maka sesuai dugaan, Morie menyebar rumor. Gosip kejam itu menyatakan jika aku menolak bergabung ke tim cerdas cermat karena tidak ingin bekerja sama dengan sainganku, yaitu Doni.

Para siswa yang pro-Doni pun—sekitar Sembilan puluh persen siswa sekolah ini—mulai kembali menyerang tupai kecil sepertiku. Mereka mengungkit-ungkit dana sosial yang Papa berikan, melebihkan-lebihkan kebenaran jika nilai raporku sengaja ditinggikan oleh pihak sekolah, bahkan beberapa dari mereka terang-terangan membuat posterku dengan gigi taring, tanduk merah, serta isi kepala yang kosong dan gelap.

Namun yang paling menyakitkan adalah, mereka mengatakan UI terlalu bagus untuk orang sepertiku.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Ian kala aku merobek karikatur anarkis dari otak kreatif calon koruptor. Aku melirik Ian sekilas dan mendengus pergi.

"Denti!" Ian coba menyusulku, tapi spontan aku berbalik dan mendorong dada bidangnya. "Berhenti! Bisa tidak kali ini gausah ikut campur. Aku tidak butuh diselamatkan oleh laki-laki, termasuk kamu." Aku mundur perlahan sebelum berbalik, pergi menjauh.

Bencananya tidak berakhir di situ, cloning Morie seakan mengisi siswa-siswa di kelasku. "Kau yakin, Tupai, gak mau kuliah di kampus ayahmu? Di sana kau bisa menjadi mahasiswa terbaik dengan IPK sempurna," ejek Rahmat yang anehnya membuat telinga kebalku panas.

"Hei dia Cuma mau masuk kedokteran UI," sambut yang lain dengan nada mengejek.

"Emang bisa?" sahut yang lain lagi.

"Tergantung seberapa kuat koneksi ayahnya."

Orang-orang mulai tertawa. Ya, menertawaiku. Aku menjadi bahan olokan padahal sudah jelas jika aku memang anak yang pintar. Aku mengerjakan tugas secara sempurna. Aku menjawab setiap pertanyaan guru secara tepat. Aku maju ke depan dan memecahkan persoalan Matematika ketika kepala mereka justru tertunduk dalam setiap Bu Jannah meminta siswa maju ke depan.

Aku yang melakukan segalanya. Aku yang mengusahakan segalanya. Aku lebih daripada mereka. Aku seharusnya mendapat pujian karena aku jauh lebih spesial dibandingkan Rahmat dengan raut simpansenya dan Bora dengan bibir monyongya setiap menghinaku.

"Diam!" sentakku seraya menggertak meja. Semua orang bungkam dan menatapku heran. "Kalian menganggapku bodoh? Kalian pikir kalian siapa? Lihatlah diri kalian, kalian semua hanya pembual dan tukang contek. Beberapa bahkan tidak pernah maju dan menyelesaikan soal Fisika. Hebat sekali kalian menilaiku bodoh padahal otak kecil kalian tidak pernah berfungsi secara baik!" semburku tanpa ampun. "Kalian pikir bisa meramal masa depanku tentang UI? Hei, kalian bahkan gak layak masuk universitas mana pun dan kalian pikir bisa sesukses aku nantinya? Teruslah bermimpi dan ketika gagal, salahkan aku yang mempunyai Papa seorang rektorat."

"Astaga Denti, serius kau mengatakan hal ini?" Bora menegangkan bahu.

"Iya! Aku super duper serius, nggak ada dari kalian yang berguna. Bahkan tidak ada yang menyamai setengah dari otakku. Jadi kalau mau menghina, silakan ikut tes IQ, jika hasilnya di atas seratus tiga puluh, baru boleh menghina." Sekali lagi aku menggebrak meja dengan mulut terkatup dan dagu terangkat. Satu kelas menatap penuh ketidak percayaan seakan merekalah korban dari semua ini.

"Denti, sebaiknya kita menenangkan diri terl—"

"Cukup, Rima!" Aku menepis tangannya. "Berhenti sok peduli padaku. Kau sama seperti mereka, apa yang bisa kau banggakan? Teman-teman idiotmu yang hanya membicarakan tentang kuteks? Kau tidak akan menjadi siapapun bahkan setelah jungkir balik di aula kampus."

Kali ini barulah terdengar pekikan yang tertahan dari semua orang. Rima menggigit bibir dan menggeleng pelan. Ia kemudian pergi dari hadapanku dengan air mata yang bercucuran.

Sempurna!  

📕📕📕

.

.

.

.

DICTIONARY OF PERFECTION

Yap, itu tadi bener-bener bencana. Sempurna!

Kalian pernah ngalamin situasi bencana di sekolah? Kalo aku pribadi pernah, baik SD, SMP, maupun SMA, bahkan kuliah saat ini pun pernah mengalami situasi bencana😜

Yang pasti waktu ini terjadi, rasanyatuh pengen ngilang, gak mau sekolah. But, entah akunya profesyenel--atau memang tuntutan ortu gaboleh bolos🙂--jadinya aku tetep masuk sekolah besoknya. And you know, gaada yang ngajakin bicara🤧, but at the end itu berlalu dan terselesaikan, cause aku sadar, itu bakal selesai dengan sendirinya kalo aku gak lari dari masalahnya.

Coba aja kalo aku milih gak masuk sekolah, mungkin endingnya bakalan beda.

Maapkeun ya wak malah ikut curhat✌ 

See You🎋

Dictionary Of Perfection [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang