Sembilan Belas : Ding-Dong

72 21 18
                                    

📕📕📕

Sebulan berlalu dan proyek aneh Ian benar-benar berjalan meski tak seperti yang kubayangkan. Aku sempat mengira jika laki-laki itu akan mengajakku ke tempat yang aneh-aneh dalam rangka rehat dari contoh soal SIMAK. Namun, tampaknya laki-laki itu membiarkanku melakukan apa saja yang aku suka dan dia hanya mengikuti. Jadi, ketika istirahat dari les dan belajar, kami menghabiskan sebagian waktu menontoni dokumenter lama. Atau jika bosan melihat potongan video tentang realita, kami menyetel film-film inspirasi dari Jepang maupun India. Sebagian besar dari India, meski terlalu banyak dramatisasi.

Entahlah, aku berani bertaruh jika Ian sepertinya menyiapkan banyak hal. Namun, laki-laki itu nampaknya menahan segala ide dan keinginannya karena tidak ingin memaksa bendungan egoku retak begitu saja. Sederhananya dia tidak ingin kuanggap melampaui batas.

Aku kerap jengkel dengan tingkah berlebihannya, tapi aku juga kadang muak ketika Ian menahan diri. Rasanya seperti dia menahan berak di depan toilet kosong.

Aku tidak ingin memberi kode apapun, jujur. Aku lebih suka menunggu Ian sadar kapan dirinya harus bertindak-meski sebagian besar berakhir di waktu yang tidak tepat. Ugh, aku jadi teringat ketika dia menyatakan perasaan untuk kali ketiga.

"Oke!" Laki-laki itu menepuk tangan mendadak di salah satu siang istirahatnya. "Saatnya kita melangkah lebih jauh. Setiap aku pulang kuliah, aku ingin melihatmu keluar dari zona nyaman, bukan menyaksikanmu menghabiskan waktu dengan marathon film-film ini, meski aku bersyukur bukan Drama Korea." Ian akhirnya bertindak. Dia setelahnya berjanji akan membawaku ke suatu tempat selepas pulang les ketigaku.

Les ketiga selalu selesai di sore hari. Aku suka rencana sore, seakan menghabiskan hari dengan bersenang-senang. Namun aku kurang suka jika waktu itu terbuang dengan berpergian ke tempat konyol.

Semoga Ian tidak membawaku ke tempat tongkrongan ala-ala bocah tenar seperti di kafe tinggi gula atau di arena bowling.

Hanya saja, astaga, dia benar-benar membawaku ke sana. Di sana sudah menunggu teman kuliahnya. Laki-laki blonde-dicat-dengan poni panjang dan topi terbalik ditemani perempuan setengah melanesoid yang membuat balon dari permen karet setiap lima detik.

"Denti, ini Bob dan ini Utari." Ian memperkenalkanku pada orang yang sama sekali tidak ingin kusapa.

"Hai, aku Denti." Dengan senyum ala-ala Barbie, kucoba menyapa seramah mungkin.

"Ow, Squirrel. Kau terkenal dari beberapa temanku alumni Bina Negara." Demi apapun aku tidak menyangka itu akan jadi reaksi pertamanya. Spontan, keinginan untuk membalas ucapannya meningkat tinggi. Namun, demi keeleganan dan menjaga citra, aku coba mengatur napas dan menahan diri.

Plus, masih dengan senyuman Barbie.

"Yan, jika di lain waktu kau mengajakku bertemu dengan mereka lagi, maka aku akan membunuhmu dan menyiarkan proses eksekusinya secara live di akun instagram Morie," bisikku ketika kami antri membeli sundae.

"Coba saja jika kau tahu sandi akunnya." Ian balas tersenyum dan bagiku itu sebuah penghinaan. Aku mulai berpikir hari pertama proyek zoologi sungguhannya akan menjadi suatu kekacauan. Belum lagi selama satu jam, waktuku habis menontoni dua sejoli itu bermain Pump It Up disertai Ian yang terus-terusan membujukku melakukannya.

"Yan, salah satu hal yang paling anti kulakukan adalah joget-joget tak jelas peda mesin ding-dong di depan keramaian," tolakku yang mulai jengkel akan paksaan laki-laki itu.

"Denti tidak ada orang yang peduli tentang tarianmu di PIU."

"Mereka peduli, oke. Contohnya teman perempuanmu yang maniak permen karet itu akan mengejek kekakuanku," dalihku seraya memelankan suara. Ian mengembuskan napas panjang dan menggeleng pelan. Setelahnya dia mendatangi kedua temannya dan membisikkan sesuatu pada mereka.

Si perempuan permen karet itu kemudian mendatangiku dan memintaku untuk bergabung pada mesin ding-dong itu. "Oh, tidak-tidak, aku alergi terhadap mesin arcade dan sejenisnya," tolakku secara halus, tapi tarikannya semakin kencang.

"Ayolah ini tidak akan menyakiti harga dirimu."

"Tidak! Percayalah, setelahnya aku akan mengalami psikosomatik. Aku bahkan alergi terhadap gameboy!" teriakku yang justru dibalas dorongan oleh keduanya. Aku hampir terjungkal dan Ian menahan lenganku. Kemudian secara halus laki-laki itu menuntunku menaiki mesinnya.

Aku melirik empat tandah panah pada salah satu papan dengan dahi berkerut muram. "Jika saja mesin ini dapat membunuh, maka dengan senang hati aku persembahkan nyawamu," omelku pada laki-laki itu. Ian hanya tertawa dan mulai mengajariku seakan aku tidak tahu apa-apa tentang PIU-yang mana aslinya memang tidak tahu.

"Jadi jika tanda panahnya sudah menyentuh bagian atas, maka kau injak sesuai urutan panahnya. Kau paham?"

"Aku bukan anak PAUD," jawabku sebagai tanggapan. Setelahnya permainan dimulai dan lagu norak mulai terdengar. Aku sedikit kaget mendengar dua orang teman Ian menyemangatiku.

Ketika melihat kaki Ian mulai menekan-nekan tombol, aku gelagapan. "Oh sudah mulai, kah?" Kakiku sembarang injak selagi menatap layar dengan bingung.

"Panah yang harus diinjak yang mana?" tanyaku melihat layar dan kaki secara bergantian.

"Lihat urutan panahnya."

"Iya aku sudah lihat bodoh! Aku masih buta mengenai cara mengoperasikan benda ini." Ketika kedua teman Ian mulai tertawa, aku tak punya pilihan selain menginjak panah mengikuti irama kaki Ian. Tepat saat itu, aku mendengar suara tak mengenakkan dari mesinku, lagunya bahkan mati. "Ada apa ini? Mesinnya rusak?"

Ian tertawa, atau lebih tepatnya menertawaiku. "Itu berarti kau tidak melakukannya dengan benar."

Ketika semuanya selesai, aku hanya menoleh seperti orang kikuk. "Ada apa ini? Sudah selesai?" Semua orang tertawa melihat skor hasil yang kudapatkan.

Melihat Ian yang cekikikan membuat telingaku panas. "Oke, kita coba sekali lagi. Aku sudah mengerti caranya." Kali ini aku coba fokus dan serius menatap layar. Ketika permulaan dengan panah yang masih lambat, aku menilik bagaimana cara Ian mengoperasikannya.

Aku mencoba menunggu panahnya naik dan menginjaknya bertepatan sesuai urutan.

Excellent!

Ketika kata itu muncul, mataku melebar seketika. "Astaga aku berhasil!" pekikku tanpa sengaja menepuk bahu Ian. Aku mulai fokus menginjak panah lainnya, tapi seiring melajunya tempo, pijakan kakiku terasa tidak mempan. "Kenapa pijakan kakiku tidak berfungsi? Alat ini sudah rusak!" gerutuku ketika kembali mendapatkan skor berselisih jauh dengan miliknya Ian.

"Reaksimu kurang cepat." Ian tersenyum mengejek. "Nggak heran sih, lawanmu kan atlet sepak bola." Ian bahkan mengangkat dagu dan berkacak pinggang.

"Oh, begitu?" Aku balas berkacak pinggang. "Ayo kita coba sekali lagi dan kali ini aku dalam mode serius, seserius mengerjakan tes SBMPTN."

Ian menyetujui dan kami kembali mencoba. Performaku lebih baik tapi skorku masih jauh dari Ian. "Astaga aku yakin tombolnya perlu perbaikan!" omelku. "Tukar tempat, aku yakin bisa menang di sisi yang ini!"

📕📕📕

.

.

.

.

.

DICTIONARY OF PERFECTION



Hayoloo siapa yang hobi main Pomp It Up?! Atau main ding-dong lain lah. Spill🙈

Dulu sih aku senengnya main Animal Kaiser sama of course mancing boneka. Tapi sekarang karena dah dewasa awal, macem Denti lah, udah gak sempet lagi maen ding-dong🤸‍♀️

Dah Ahh, lanjut aja dulu ceritanya mumpung lagi good mood vibes

See you!


Dictionary Of Perfection [TAMAT]Where stories live. Discover now