Dua Puluh Empat : Aku Pikir...

72 20 28
                                    

📕📕📕

Setelah hari itu, Ian benar-benar menjadi laki-laki yang... selalu ada. Entah pelukan hari itu membuatnya jadi lebih percaya diri atau memang karena faktor liburan sehingga dia terkesan selalu di sampingku. Dia memintaku untuk makan tepat waktu, belajar secukupnya, menelepon setiap kali ingin bercerita, bahkan dia mengingatkanku untuk ganti pembalut. Percayalah, dia hafal tanggal menstruasiku, yang mana kerap membuatku merasa jika Ian psikopat gila.

Dia memperlakukanku seperti bocah dan aku menanggapinya layaknya kakek tua.

"Setiap hari dia mengirim pesan dan selalu minta izin ketika hendak pergi dengan teman perempuannya," celotehku di depan Cecil yang tengah sibuk mengerjakan soal. "Bukankah itu aneh? Kami bahkan tidak berpacaran, tetapi dia bersikap seakan aku ini istrinya."

"Menurutku itu bagus," tanggapnya ringan.

"Cil, dia menganggapku seperti... barang miliknya. Aku seakan porselen di etalase milik Ian."

Perempuan itu menarik napas panjang dan menatapku dalam. "Mungkin kau harus mempertimbangkan perasaanmu. Dia jelas-jelas menyukaimu."

Tentu sudah jelas Ian menyukaiku jika mengingat track record-nya yang ditolak tiga kali. Namun, semua orang tahu jika berpacaran dengan Ian bukanlah sesuatu yang tepat. Anggap saja aku sudah memberikannya ruang sebagai sahabat—paling dekat, tetapi dia justru meminta lebih.

"Jika saja sekarang dia kencan dengan cewek lain, apa kau akan menerimanya?"

"Persetan dengan hal itu," jawabku acuh, membuat Cecil memutar bola mata. Hal itu benar-benar terlihat menjengkelkan meski secara tak langsung aku menyadari seberapa menyebalkannya aku setiap kali memutar bola mata.

Yang berarti setiap saat aku menyebalkan.

"Coba kau bayangkan ini. Suatu sore di proyek monologimu—"

"Zoologi," koreksiku.

"Terserah." Dia memutar bola mata lagi. "Tiba-tiba Ian datang sambil menggandeng cewek imut. Dia kemudian tersenyum padamu dengan dagu sedikit terangkat, mengelus tangan cewek itu sambil mengatakan, 'hei Denti, kenalin dia Cecil, pacar baruku!' kira-kira apa yang kau rasakan?" Cecil mencondongkan tubuh dengan sorot mata yang penuh akan keingintahuan.

Aku balas memutar bola mata dan mengidikkan bahu sekali. "Aku bahkan terlalu sibuk untuk peduli."

Sialnya, sore itu pula, aku melihat perempuan di dalam mobil Ian. Perempuan berambut cokelat lurus dengan mata hazel itu sukses membuatku mematung di tempat. Ya, seharusnya saat ini aku memutar bola mata dengan bahu bergidik sekali sambil mengatakan, "aku terlalu sibuk untuk peduli."

Namun, aku justru bertindak konyol dengan menanyakan, "siapa dia?" Disertai alis menukik tajam dan nada suara setengah marah.

Entah kenapa, akhir-akhir ini sistem fisiologisku enggan diajak kerjasama.

Ian sumringah seraya membukakan pintu mobil untuk perempuan itu. Perempuan itu turun dengan anggunnya.

"Denti kenalin, dia Nata, mantan pacarku."

"Apa?" Aku mendelik, tak percaya Ian mengatakan hal itu dengan ringannya. Perempuan itu tersenyum dan mengulurkan tangan. "Natasha," ucapnya. Aku sama sekali tidak menerima uluran tangan itu. "Aku sudah denger banyak tentangmu dari Ian."

Mataku menilik Ian, meminta penjelasan secara tak langsung. Ian yang melihat tatapanku, langsung menjelaskan, "kami jadiannya gak lama, cuma dua bulan."

"Dua minggu," koreksi Nata.

"Ya dua minggu sampai akhirnya aku bisa pertambahan dan pengurangan."

Tunggu! Aku merasakan keganjilan.

Dictionary Of Perfection [TAMAT]Where stories live. Discover now