Tiga Puluh Enam : Montreal Tanpa Rodentia

76 15 0
                                    

📕📕📕

Sudah dua hari Papa ada di rumah. Yeah, meski hanya menghabiskan waktu di kamar dan ruang kerja-sesekali menyalakan televisi untuk acara olahraga malam-ini tetap tidak seperti Papa. Namun, aneh saja melihat dia menetap selama ini di rumah, bahkan dua hari.

Ketika bangun pagi, Papa bahkan menyapaku di meja sarapan. Tidak ada jas atau kemeja, hanya kaus oblong dan koran lama. Aku mendelik seraya mengaduk sereal. "Papa tidak kerja?"

"Sedang cuti," timpalnya tanpa berpaling dari koran.

Dia di rumah tiga hari? Ini keajaiban. "Dalam rangka apa?" Aku lanjut bertanya.

"Tidak ada."

Aku menghela napas mendengar jawaban tak acuh itu. "Kira-kira berapa hari Papa cuti?"

Akhirnya dia menutup koran dan melipatnya dalam empat bagian. Papa menatapku tajam dan penuh selidik, meski aku melihatnya seperti sorot permusuhan. "Jika kau sedang berusaha meminta maaf akibat kebolosanmu, maka itu tidak cukup." Aku mengatupkan mulut ketika Papa akhirnya beranjak pergi. "Kau harus tahu, Denti, Papa dulu tidak pernah menghamburkan uang untuk perkuliahan. Papa berusaha mendapatkannya. Tapi kau?"

Kini tenggorokanku mulai tercekat dan aku meminta maaf. Namun, seperti yang dia katakan, itu tidaklah cukup sehingga Papa hanya berlalu.

"Dia marah karena kebolosanku, padahal selama delapan belas tahun sebelumnya, aku tak pernah bolos sekalipun. Namun dia tidak memberikan apresiasi sama sekali," celotehku panjang lebar pada seseorang yang tersambung melalui ponsel.

Setelahnya terdengar suara halus yang menanggapi. "Apa tadi?"

Aku mengembuskan napas jengah dan memutar bola mata. Seharusnya Fran yang menjadi lawan bicaraku, tapi karena sedang sibuk dengan hubungan kasmarannya, dia menyerahkan tugas ini pada Dahlia.

Aku mengulangi kalimatku dengan jengkel.

"Mungkin karena papamu menyayangimu."

Oh ayolah, ini tanggapan yang kudapat? Konyol sekali. "Mengapa kau mengatakan demikian?"

"Ya, itulah yang papaku katakan sebelum pergi dari rumah. Dia bilang dia sebenarnya sayang padaku."

Astaga, pikiran anak ini benar-benar sudah terkontaminasi. Aku kemudian mengucapkan kata perpisahan dengannya dan meminta Dahlia untuk lebih sering memperhatikan pelajaran di sekolah dibandingkan mendengar celotehan ibunya.

Malamnya, aku tersenyum simpul mendapati undangan perkumpulan alumni Bina Negara Angkatan XXVII dalam rangka membimbing adik kelas menghadapi tugas sosial yang lebih baik. Oh, siapa yang punya ide bodoh ini? Aku memang mendengar isu tentang tugas sosial anak-anak Bina Negara yang akhir-akhir ini sering menjadi bencana, tapi serius? Harus sampai memanggil alumni seperti ini?

Aku tidak akan datang.

Setelahnya kututup ponsel dan turun ke bawah untuk mengambil yogurt. Namun sesampainya di ruang tengah, Papa terlihat melamun kosong di hadapan TV yang menyala bersama gelapnya ruangan. Ia sengaja mematikan lampu seperti kebiasaannya dulu.

Aku menyapanya singkat dan berlalu menuju dapur. Sekilas, dari ujung pantry, ekor mataku melirik raut wajahnya yang tak tenang.

Kubuka penutup yogurt, kemudian mataku terpaku pada dua amplop surat yang bersegel di atasnya. Apa ini? Surat pemecatan Auntie Jane?

Astaga benar. Mataku melotot lebar ketika surat kedua juga tak kalah mengejutkannya.

"Apakah ini semacam kesibukan baru atau Papa memang sedang bergelut dengan bisnis properti?" Aku menyendok yogurt dengan gerakan robot.

Dictionary Of Perfection [TAMAT]Where stories live. Discover now