Lima : Pulang

122 28 23
                                    

📕📕📕

Selama liburan semester, Ian tak henti-hentinya menghubungiku. Dia terus-terusan memaksaku untuk menemaninya ke bioskop karena film-film bagus mulai bertebaran di masa natal dan awal tahun. Aku tentu menolak karena film akhir tahun biasanya diisi oleh cerita keluarga atau percintaan yang memiliki value kacangan. Jika ingin menayangkan film di bioskop, tayangkanlah dokumenter atau film inspiratif. Dengan begitu, otak dari generasi alpha Negara ini terisi oleh motivasi dan semangat perjuangan, bukan kebucinann dan galau ria akan status single yang diderita.

"Oh ayolah, kau tahu kan kualifikasi SNMPTN cuma diambil sampai semester 5? Dan selama lima semester ini kau selalu juara umum satu, jadi lupakan ambisi untuk menaklukan semester terakhir."

Aku memutar bola mata dengan ponsel yang mengapit di telinga dan bahu. "Hei, ini justru semester krusial. Jaminan SNMPTN di UI itu tipis mengingat sekolah kita tidak begitu populer dan berada di luar Pulau Jawa. Kau tahu bagaimana sibuknya menyiapkan diri menghadapi SIMAK UI? Dalam tiga bulan ke depan kita akan langsung menghadapi UAS dan UN. belum lagi try out yang bertebaran."

Begitulah semangat liburanku. Bagiku liburan adalah kesempatan emas untuk memanfaatkan waktu dua puluh empat jam yang kosong guna mempersiapkan segalanya. Dulu Papa bahkan tidak sempat bicara dengan tetangganya ketika mempersiapkan aplikasi ke Montreal, sedangkan aku justru menghabiskan beberapa menit untuk meladeni Ian.

Terdengar decakan Ian dari seberang sana. "Harus banget ngambis ke UI? Kampus tempat ayah kamu kedokterannya juga bagus, kok. Kamu bakalan lolos SNMPTN di sana dengan mata terpejam."

Ya, ditambah tangan kiri mendribble basket. "Para siswa akan berpikir aku masuk ke sana melalui jalur orang dalam."

"Oh jangan pikirkan orang lain, mereka pembual. Jika ada jalur orang dalam, semua orang di negeri ini pasti menggunakannya, tidak perlu munafik."

Aku menganga tak percaya mendengar Ian menyimpulkannya sesimpel itu. "Excuse me? Maksudmu perjuanganku lima semester ini harus kukorbankan demi masuk kampus dengan label Jalur Orang Dalam? Kau membuatku mual. Lagipula siapa yang mau masuk ke kampusnya Papa, di sana fasilitasnya tidak merata, bahkan kasus pelecehan sering terjadi." Entah kenapa di depan laptopku, aku justru mencari-cari informasi mengenai Universitas Montreal.

Dengan fokus yang menjalar pada situs web-nya, aku mulai lupa jika Ian masih tersambung di ujung sana. Laki-laki itu diam dalam waktu yang lama, sampai-sampai ketika dia bicara lagi, aku seakan tersedot kembali ke kehidupan nyataku.

"Kau tahu kan kalau aku akan masuk kampus itu."

"Kau mengatakannya lebih dari selusin ribu kali," tanggapku dengan jari yang masih berkelana pada kursor.

"Jika kau masuk ke sana, kau mungkin bisa lebih sering bertemu ayahmu."

Seketika aku membeku. Tanganku terhenti pada laman fasilitas jurusan kedokteran di Montreal, sementara mataku mengerjap berkali-kali, coba menetralkan pikiran yang berkelana ke mana-mana. "Tidak juga," balasku kemudian. "Saat berkuliah nanti kita lebih sering bertemu ketua prodi. Jika ingin melanjutkan rujukan, kita dihadapkan pada dekan fakultas yang terdiri dari empat orang. Baru setelahnya bisa melewati dekan universitas yang jauh lebih sulit untuk dijangkau. Entah masuk atau tidak di kampus jelek itu, Papa di sana tetap seorang Dekan, bukan seorang Papa."

Entah perputaran waktu jenis apa yang saat ini tengah semesta permainkan, tapi tepat setelah aku mengatakan hal itu, mobil Papa kembali terparkir di garasi rumah.

📕📕📕

"Papa?" panggilku mengintip dari balik pintu ruangannya. Ketika mendengar Auntie Jane memvalidasi kedatangan Papa, aku kira laki-laki itu duduk di sofa dan melepas penatnya. Namun, dia justru mengobrak-abrik lemari kerja dan mencari sesuatu.

"Ah, Denti." Papa tersenyum sekilas dan merentangkan satu tangan. Aku mendekat dan memeluknya dari samping—yang mana itu terasa super canggung. "Papa harus mencari beberapa berkas untuk pertemuan di Surabaya."

Apa? Tapi ini hari libur. Tentu aku ingin protes semacam itu, hanya saja Papa akan membuang beberapa menit berharganya untuk menanggapi rajukan manjaku. Untuk itu, aku memilih berdiam diri di hadapannya. Setelahnya laki-laki itu pergi secepat dia datang. "Kapan Papa pulang?" tanyaku sebelum Pak Jay melajukan mobil.

"Dua minggu lagi."

Saat mobilnya melaju dan hilang dari jalanan perumahan suburban kami, aku memahami perbedaan kata 'pulang' yang begitu kentara antara kamusku dan kamus Papa. Untuk itu, jauh sebelum hari ini, aku sudah berhenti mendefinisikan kata 'pulang' menurut kamus Papa dan juga berhenti menunggunya 'pulang' sesuai dengan artian pada kamusku.

Malamnya aku memesan pizza lagi pada Fran. Nampaknya akhir-akhir ini secara tak langsung aku memulai program untuk menjadi perempuan obesitas. Sayangnya yang mengantar justru bukan Fran, dan sesuai tebakan, pepperoninya hanya sejumlah jari tangan. "Auntie, mau pizza?" tanyaku di meja makan. Auntie Jane tersenyum dan menggeleng pelan. Dia kemudian duduk di hadapanku dalam tatapan hangatnya.

"Denti," panggilnya. "Bibi sudah bicara dengan Papa. Karena ini menjelang akhir tahun, Bibi bakal pulang liburan."

Aku terhenti dalam kunyahanku, setiap tahun Auntie Jane selalu pulang kampung, entah saat Ramadhan ataupun Natalan. Hanya saja ada suatu perasaan aneh yang mengganjal di dadaku setiap kali dia hendak izin cuti. Aku tak tahu, tapi Ian pernah mengatakan jika itu artinya aku tengah dilanda kesepian—yang mana hal itu jauh lebih konyol.

"Salam untuk anak-anak, Auntie," ucapku sebelum membawa kotak pizzanya ke kamar. Malam itu juga kuhabiskan waktu dengan menontoni dokumenter tentang Brittney Spears. Bodoh sekali, seharusnya saat ini aku belajar, tapi malah berakhir dengan marathon dokumenter dan makanan cepat saji.

Hingga tiba-tiba Auntie Jane mengetuk pintu kamar dan mengatakan jika ada seseorang yang berkunjung. Aku sigap turun ke bawah dan mendapati Ian dengan cengiran kudanya. "Apa lagi?" decakku seraya mendengus keras.

Ian tersenyum dan menggaruk kepala canggung. Saat melihatnya seperti itu, aku kerap mengulum senyum. "Anu, aku tadi sore ke toko buku dan beli ini. Yok kita belajar bareng!" ajaknya yang seketika membuatku melotot lebar. Bukan karena dia yang tiba-tiba ingin belajar, melainkan karena buku yang ia beli tadi sore.

Mendapati hal itu, aku terbahak.

"Kenapa tertawa?" Dia mengernyitkan dahi.

"Aku sudah punya buku itu, bodoh!"

📕📕📕

.

.

.

.

DICTIONARY OF PERFECTION

Teman-teman di sini ada yang ayahnya juga jarang pulang?😥 atau udah jarang ketemu ayahnya karena orang tuanya cerai?

Kalau nggak, semoga gak ngerasain apa yang Denti rasain yaa. Memang, sikap anak itu bener-bener koping dari orang tua mereka. Ini yang sulit diungkiri. Namun, kita liat sama-sama gimana jadinya Denti selama cerita ini berlangsung.

See You Tomorrow!🎋 

Dictionary Of Perfection [TAMAT]Where stories live. Discover now