Lima Belas : Kotak Pizza

98 26 66
                                    

📕📕📕

Beberapa hari sebelum pesta kelulusan, Doni tiba-tiba mengajakku bicara empat mata di ruang robotik. Itu kali pertama aku berada di sana dan jujur, tempatnya lebih rapi daripada yang kubayangkan. Beberapa etalase terpajang sebagai tempat penyimpanan robot-robot juara. Sementara ada etalase khusus yang menyimpan suku cadang dan benda-benda-aku menyebutnya papan hijau-yang terpisah.

Di dinding selatan terdapat beberapa kubikel tempat robot-robot yang belum jadi. Aku duduk di salah satu kursi yang menghuni meja bundar sebagai sentral ruangan. Di atas meja terdapat beberapa potongan kabel kecil yang sedikit berserakan. Secara tak langsung tanganku merapikan kabel tersebut. "Ada apa memanggilku di ruangan semi futuristik ini." Itu bukan pujian karena aku menyindir secara ironi.

"Beberapa waktu lalu aku dipanggil Bu Bert."

Astaga, aku kembali ingat jika Donilah yang akan berpidato di kelulusan nanti. Well, siapa yang peduli, lagipula baik Papa maupun Mama tidak akan datang ke perpisahan, jadi menghabiskan waktu saja bagiku untuk berpidato di hadapan semua haters.

"Jadi?" Tanganku mulai memainkan kabel tersebut.

"Jadi? Aku dengar Bu Bert sudah memintamu menyiapkan pidato lulusan terbaik. Untuk itu, pidato kelulusan nanti aku serahkan saja padamu." Laki-laki yang awalnya menilik manik mataku itu, perlahan menundukkan pandangan. Nampaknya dia sendiri tahu jika itu merupakan sesuatu yang salah.

"Entah kau yang dipaksa Bu Bert atau memang sengaja ingin menghinaku." Doni menegakkan wajah selagi aku mulai bersedekap. "Kau pastinya senang karena pada akhirnya kaulah yang keluar sebagai lulusan terbaik. Untuk itu, sebagai penghinaan, aku-yang gagal keluar sebagai lulusan terbaik, atau hanya bisa mempertahankan selama lima semester-jadi siswa yang membacakan pidatonya."

Doni melotot dan menggelengkan kepala. "Tidak seperti itu-"

"Yeah, Itu seperti Itu! Orang-orang akan berbisik, 'bukankah seharusnya Ian yang membacakan pidato?', 'Oh lihat Denti menggunakan kekuasaan ayahnya lagi untuk berpidato di kelulusan'." Aku menirukan gaya para siswa ketika menghinaku-sebagian besar gayanya Rahmat. "Lalu mereka mulai menghinaku, menghina ayahku, menghina ibuku yang sudah lama minggat dari rumah. Setelahnya membuat karikatur, poster, bahkan selebaran yang menyebutkan 'Tupai bukan seorang feminis, dia kapitalis gila yang haus penghargaan orang-orang'." Perlahan tanganku mengepal dan bibirku mengencang. Sebisa mungkin aku bersikap elegan dalam posisi dudukku.

"Jadi berhentilah bersikap seperti... kau adalah pria baik-baik. Kuberitahu satu hal, kau itu yang terburuk, Doni. Kau itu psikopat, memanipulasi semua siswa dan dengan wajah sok sucimu, kau membuat mereka berpikir aku orang yang jahat. Tentu aku orang jahat karena tak sepandai dirimu, dan ketika aku sudah di puncak, kau menyingkirkanku seperti tusuk gigi. Orang-orang yang sudah tercuci otaknya merasa senang karena akhirnya kau berhasil, padahal sejak awal kau sengaja menggagalkan diri." Napasku terengah-engah dengan emosi yang semakin tersulut. Doni terlihat mengerutkan dahi dengan mata yang menatap tak mengerti.

Laki-laki itu menggeleng kecil dan menghela napas pelan. "Astaga Denti, kau berpikiran sebegitunya?"

"Tidak!" tegasku. "Pikiranku lebih dari ini, tapi aku tak dapat mendefinisikannya satu per satu." Aku berdiri setelahnya karena merasa percakapan ini sudah selesai. "Kau sudah selesai dengan 'Pertemuan Akulah yang Terhebat' ini? Jika iya aku mau pergi dan berhenti mempermalukan diriku di depan orang sepertimu."

📕📕📕

"Papa tahu, besok acara kelulusannya. Jenis pakaiannya batik atau jas. Semua orang wajib datang, tapi tak benar-benar wajib... ya acara itu bodoh jadi Papa tak perlu datang. Lagipula aku tidak akan membacakan pidato apapun seperti yang Papa lakukan di Montreal." Kuhela napas sejenak dan memeluk lutut yang terlipat. "Tapi jika memang Papa secara kebetulan-maksudku secara revolusi bumi berjalan di singularitas garis waktu yang tepat, dan berada di sekolah saat acaranya baru berlangsung, maka Papa bisa duduk di kursi yang ada di sampingku. Akan terlihat lebih sempurna jika hanya satu kursi saja yang kosong, bukan dua."

Kututup ponsel setelah pesan suara itu masuk. Setelahnya aku termenung dalam waktu yang-entahlah-agak lama. Tidak ada balasan pesan ataupun telepon dan akhirnya aku menyerah. Aku turun dari kursi belajar dan mendatangi Auntie Jane.

"Auntie sudah menyetrika kebaya untuk besok?" tanyaku di meja makan. Auntie Jane yang baru saja mencuci tangan langsung menepuk dahi sehingga wajahnya basah.

"Bibi lupa, ntar Bibi langsung setrikain."

"Gaperlu," tahanku yang sukses membuatnya terhenti. "Aku tidak pergi."

Auntie Jane berkacak pinggang dengan raut wajah yang mulai masam. "Kenapa, Den? Apa karena Papa?" Perempuan itu memelankan suara seakan di rumah ini ada banyak orang.

"Bukan." Aku berbalik kemudian. "Tidak ada alasan khusus."

Esoknya aku bangun siang. Forum sekolah sudah dipenuhi oleh ribuan foto kelulusan. Bahkan aku melihat foto Ian yang menerima banyak bunga serta cokelat dari adik kelas. Aku menghela napas dan mematikan ponsel setelahnya. Keluar berjalan kaki dengan hoodie dan training oblong.

Berjalan ratusan meter hingga sepuluh menit kemudian sampai di Eighties. Fran tidak ada di sana sampai aku mengingat jika ini hari pernikahan Jimmy.

Banyak sekali jenis perayaan yang dilaksanakan hari ini.

Aku memutuskan memesan pizza dan pergi, sebelum rombongan anak Bina Negara merayakan kelulusan secara resmi dengan menyerbu Eighties.

Entah kenapa kakiku berjalan tak tentu arah. Ia membawaku memasuki perumahan suburban kami, tapi terus melangkah hingga menembus pelataran belakang dan mengitari paritan. Mengarungi lalang dan masuk ke kawasan hutan. Setelah naik di tanjakan, ada bangku lama yang sudah lumutan. Akhirnya aku duduk dan menepikan kotak pizza di sana.

Aku duduk, termenung, menatapi kawasan perumahan dari atas sini. Semuanya terlihat kecil dan tenang. Sama seperti damainya Mama ketika duduk di kursi ini dulunya. Dia selalu mengajakku menghabiskan waktu menyepi di alam dan itu sempat menjadi kebiasaan favoritku.

Wajahku termangu di kedua tangan dengan siku yang tertopang pada paha. Aku mengerjap beberapa kali. Memejamkan mata, menarik napas, dan melakukan meditasi sederhana. Ketika mataku terbuka, aku melihat Mama saat ini duduk di sampingku. "Sekolahmu kacau?" Suara ringan Mama menggema di gendang telinga. Menghantarkan getaran pada martil, mengirimnya menggunakan landasan, dan memasukkannya melalui sanggurdi.

"Ya," jawabku berat.

"Jika tidak kacau bukan sekolah namanya." Dia membalas. Tatapan kami seirama pada pemandangan di depan.

"Apakah itu artinya tidak masalah bagi Mama kalau aku bukanlah lulusan terbaik?"

"Tentu tidak apa," jawab Mama setengah tertawa. "Mau di nomor satu atau sejuta sekalipun, semesta tahu jika kau tetap putri Mama."

Mataku menghangat dan aku menoleh menatapnya.

Namun aku tersadar. Hanya ada aku dan kotak pizza di bangku ini.

📕📕📕

.

.

.

.

.

DICTIONARY OF PERFECTION



Chapter hari ini dibuka dengan emosi dan ditutup dengan emosi🤧

Teman-teman, tapi maaf ya, ada nggak yang udah gak ketemu lagi sama Mamanya kayak Denti? Kalau ada pasti relatable banget ya.

Pastinya kalian lebih memahami Denti ketimbang aku sendiri, and menyenangkan kalau tahu ada yang merasakan sama apa yang Denti feel saat ini😣

Kalimat terakhir Mamanya Denti (Di Chapter ini) itu bentuk Unconditional Positive Regards, yang mana hal itulah yang selalu dibutuhin oleh setiap anak. Penerimaan tanpa syarat. Sayangnya Chapter ini tentang kotak pizza, bukan tentang Mama. Tapi sudahlah🤧

See You!🎋

Dictionary Of Perfection [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang