Tiga Puluh : Metamorfosis

90 23 21
                                    

📕📕📕

Setelah berpikir ratusan kali, akhirnya aku menelepon nomor yang kudapat dari buku alumni. Mungkin saja orang ini sudah mengganti nomor ponselnya, tapi masih ada kesempatan jika dia menggunakan nomor yang sama.

"Halo?"

Ponselku hampir jatuh ketika pada panggilan pertama, orang yang dituju langsung menjawab. "Halo? Ini siapa?" tanyanya lagi. Sayup-sayup terdengar suara orang lain di dekatnya.

"H-hai," sapaku sebelum dia menutup panggilan.

"Denti?" Yap, dia pasti tidak percaya jika aku akan meneleponnya. Hanya saja, aku sendiri lebih tidak percaya lagi jika aku akan meneleponnya. "Ya, ini aku. Denti."

"Kau menelepon? Ada apa?" Terdengar langkah kaki laki-laki itu yang nampaknya menjauh dari keramaian, sehingga setelahnya tidak lagi terdengar suara orang bercakap-cakap.

Aku menarik napas dan memeriksa daftar pertanyaan yang sudah kusiapkan di buku catatan. "Em, apa... kabar?"

Hening. Tidak ada jawaban dalam jeda yang cukup lama. "Seorang Denti menanyakan kabar orang lain?" Dia terkekeh.

Aku memejamkan mata sudah menebak reaksi seperti ini. "Don, aku... aku ingin minta maaf." Meski ragu, aku tetap mengatakannya. Doni tak langsung bereaksi, dia kembali memberi jeda yang sama lamanya dengan keheningan sebelumnya.

"Denti, apa terjadi sesuatu?" Kini suaranya terdengar lirih.

"Ya, banyak hal yang terjadi." Aku menarik napas panjang. Jika kau pikir ini mudah, jawabannya TIDAK! Aku bahkan melatih percakapan ini di depan cermin selama satu bulan. Bahkan ketika Auntie Jane pulang dari cutinya, aku langsung memintanya menjadi lawan bicaraku.

Dan, yeah, kau tidak bisa memprediksi pikiran orang lain.

Aku melanjutkan, "aku ingin menyelesaikan semuanya satu per satu."

"Oke, terdengar serius."

Tanganku perlahan memelintir kancing dengan bibir mengatup kencang. "Yeah, ini benar-benar serius," balasku. "Setelah semua yang terjadi antara kita, di Bina Negara. Aku meminta maaf." Mataku memicing pada buku catatan yang menuliskan sesuatu secara acak.

Ungkit tentang keberadaan Doni.

"Oh, aku sebenarnya ingin mendatangimu secara langsung. Tapi saat ini kau pasti di Bandung, dan aku tidak bisa terbang sejauh itu."

"Tidak apa." Terdengar tawa ringan dari laki-laki di seberang sana.

"Don, aku belum pernah mengatakan hal ini, tapi harus kuakui kau memang siswa yang... jenius." Lidahku pahit mengakuinya. "Kau membuat robot, kau bisa menjawab pertanyaan cerdas cermat secepat Jimmy mengendarai mobil, dan kau... bisa menjawab soal Matematika dengan mata terfokus pada koding komputer dan tangan kiri mendrible bola."

"Astaga kau masih mengingat hal konyol itu?"

Aku tergelak pendek. "Ya, aku selalu mengingatnya." Kini kucoba menarik napas, pelan dan ringan, sesuai instruksi meditasi. "Menurutku juga, kau layak menjadi lulusan terbaik Bina Negara." Aku tersenyum getir meskipun dadaku terasa begitu lega telah mengakuinya. Seakan semua beban di kaki dan pundakku luruh begitu saja, seperti karung pasir yang bocor dan mengeluarkan isinya secara perlahan.

"Terima kasih," balasnya. "Pengakuan darimu, berarti besar bagiku."

Entah kenapa ini benar-benar menyakitkan. Namun di satu sisi, aku tersenyum mendengar ucapan itu.

📕📕📕

Minggu pagi, aku berkelana di barat kota. Menuju kawasan Pakjo sebelum mengitari perumahan elit. Setelah memastikan alamat sesuai dengan yang ada pada buku alumni, aku memutuskan untuk masuk pada salah satu gerbang perumahan suburban.

Aku menekan bel setelah sampai di salah satu rumah dengan pagar besi bercat oranye serta dinding putih gading,. Belum ada yang menyambut, mataku justru mendapati Rima yang mengintip dari balkon lantai dua. Perempuan itu kemudian menghilang dari jendela. Tak lama setelahnya, dia keluar dari pintu besar rumahnya.

"Denti?" Ia berjalan kaku dengan alis bertaut padu. "Apa yang kau lakukan?"

Melihat reaksi itu, aku sempat berpikir Rima akan langsung mengusirku. Akan tetapi, perempuan itu justru membukakan pagar dan mengajakku berbincang di gazebo dekat kolam renang rumahnya. Perempuan itu bahkan menyuguhkan es teler dan lenggang. Di minggu pagi.

"Sudah... hampir dua tahun?" Rima berdecak dan melirikku tak yakin.

"Bagaimana kuliahmu?" Aku mengaduk mangkuk esnya.

"Wow, seorang Denti menanyakan kabar orang lain?"

Seketika aku memutar bola mata dan menghela napas jengah. "Ya, aku tahu. Aku perempuan pengerat menyebalkan yang culas."

"Yap, benar." Perempuan itu mengangguk yakin. "Selama ini aku menahannya. Tapi akan kuakui sekarang, kau... memang pengerat yang egois, sombong, dan narsis." Tamparan itu tak terlalu menyakitkan jika didengarkan sekarang. Aku terkekeh hambar dan terus menatap kosong mangkuk es.

Biasanya ketika mendengar hal-hal seperti ini, aku berani membalas dengan tatapan tajam dan balik menyerang. Hanya saja, tubuhku sekarang bergerak secara otomatis. Dia diam dengan sendirinya, mematung tanpa sebab, dan menangis tanpa diberi sinyal.

"Aku benar-benar tak mengerti kesalahanku apa, tapi setelah bertemu denganmu, aku tersadar untuk tidak berteman dengan orang yang tidak ingin menjadi temanku." Rima kembali melanjutkan dan kali ini sedikit melukai perasaanku.

"Lagipula tidak ada yang berteman denganku."

"Persis seperti dugaanku."

Kini mata kami saling beradu tatap. Dia menilik tajam, sementara aku menatap gusar. Lima detik, aku duluan yang memutuskan kontak mata dan kembali memalingkan wajah menyisiri kolam renang.

"Aku minta maaf," ucapku kemudian. Aku sadar saat ini Rima menegangkan bahu, tapi aku tak ingin menunjukkan reaksi berlebihan. "Salah satu rekan kursusku bilang, hanya ada satu atau dua orang brengsek dalam hidupku, tapi aku justru menganggap semua orang juga brengsek." Aku berdecak dan kembali memberanikan diri menatap Rima. "Menurutku kau brengsek, saat itu. Tapi kau sebenarnya orang baik yang berusaha berteman dengan siswi menyebalkan sepertiku. Dan aku sadar, akulah yang brengsek selama ini."

Rima menundukkan pandangan setelahnya. "Ya, kau memang brengsek. Tapi tahu apa sisi baiknya? Kau tidak terlambat mengakuinya." Aku mengangkat wajah mendengar tanggapan itu. "Memang butuh dua tahun bagimu untuk menyadarinya. Dan aku yakin selama dua tahun ini kau mengalami hal-hal yang luar biasa."

"Yang kualami hanyalah kegagalan. Aku bahkan belum kuliah."

Dengan tangan yang bersedekap, Rima menatapku lama. "Kegagalan adalah hal yang luar biasa ketika itu membuatmu menjadi manusia yang lebih utuh."

Aku menggeleng cepat. "Kegagalan membuatku gagal bahkan menjadi manusia sekalipun."

"Tergantung dari sudut pandangmu mengenai standar menjadi manusia. Jika menurutmu menjadi manusia adalah selalu berhasil, kau gagal. Tapi jika menjadi manusia adalah bermetamorfosis sebagai individu yang lebih baik, maka kau berhasil." Dia tersenyum hangat dan itu membuat kerutan di dahiku mulai bermunculan.

Aku memalingkan wajah dan berpikir jauh. Coba mencerna setiap kata dari kalimatnya.

"Denti, aku senang kau datang. Aku senang kau mau berbagi denganku. Dan apapun standarnya menurut versimu, kau selalu kuanggap teman meski gagal menjadi manusia sekalipun."    

📕📕📕

.

.

.

.

.

DICTIONARY OF PERFECTION

Chapter yang kali ini agak melegakan yaa😁 setelah disumpel sama kekesalan dan sad, akhirnya ada yang nenangin.

Gini terus yaa Den, gapapa nyebelin tapi ada batasnya😉

See You🎋

Dictionary Of Perfection [TAMAT]Where stories live. Discover now