Tiga : Rodentia Vs Montreal

167 31 58
                                    

📕📕📕

Selain Situasi Sembelit, ada tiga situasi lain yang tidak kusukai saat sekolah, yaitu : Jam Istirahat, Jam Kosong, dan Classmeeting. Namun, classmeeting-lah yang paling aku benci karena memadu padankan antara dua situasi lainnya. Para siswa menjadi hedon dalam sekejap, menghabiskan hari mereka bolak-balik kantin dan lapangan perlombaan. Sisanya bergosip, mengirim pesan alay melalui pengawas acara, menyoraki anak-anak keren, modus, dan mengolok-olok orang sepertiku—atau lebih tepatnya mengolok-olokku.

"Kalo gaada lomba cerdas cermat, Tupai bakalan di perpus dan menjadi pertapa sejati." Aku tahu Rahmat hanya bercanda—dalam bentuk hinaan—tapi caranya benar-benar rendahan.

"Kau tidak apa-apa, Denti?" Rima, satu-satunya siswa yang memanggilku dengan nama asli selain Ian, mencoba bersikap baik. Aku berdiri dan memutar bola mata meninggalkan kelas dengan dongkol. Namun percayalah, kedongkolanku bukan karena Rahmat memanggilku Tupai, melainkan dia merendahkan siswa perpustakaan seakan mereka adalah walang sangit di perkebunan teh. Tanpa dia sadari orang-orang sepertinyalah yang kerap menjadi sampah masyarakat.

Perlahan, aku mulai terbiasa dengan panggilan hewan pengerat itu. Orang yang baru kenal akan memanggilku tikus, beberapa hamster—termasuk Ian kadang-kadang, awalnya risih karena aku lebih suka jika dipanggil penguin atau lumba-lumba. Sayangnya Mama lebih menyukai mamalia dibandingkan aves dan pisces, meski lumba-lumba jelas mamalia.

Kau tahu, ketika aku lahir, perang dunia ketiga terjadi. Pertarungan yang disinyalir berasal dari seorang ilmuwan hewan dan rektor perguruan tinggi. Yap, Papa dan Mama bertengkar hebat dalam memberikan namaku. Mama bersikeras menyelipkan nama hewan sebagai label putri kecilnya—yang mana itu sebuah penghinaan bagiku karena rasa cinta Mama untukku sederajat dengan rasa sayangnya terhadap Animalia. Sementara Papa, laki-laki lulusan terbaik Universitas Montreal di Kanada, terobsesi memasukkan nama perguruan tingginya sebagai labelku.

Satu bulan aku menjadi bayi tanpa nama sampai akhirnya keduanya sepakat menggabungkan Rodentia dan Montreal secara bersama.

Kalian tahu? Aku pernah berharap namaku memiliki arti yang indah seperti Rahmat yang berarti berkah atau seperti Rima yang berarti teguh karena selalu mendengungkan bunyi yang sama. Namun, namaku hanyalah sebuah penghargaan. Penghargaan bagi Ibu karena dia ilmuwan hewan dan pencapaian bagi Ayah yang lulus di Montreal.

Tidak ada arti khusus kecuali secara harfiah namaku berarti tikus/tupai/marmut dari Montreal. Sudah kuduga nama itu jadi bulan-bulanan karena tidak ada dari mereka—kecuali Ian dan Rima—yang memanggilku Denti. Hanya saja, aku mulai terbiasa dan kurasa Tupai tidaklah buruk, toh mereka imut.

Lagipula sejak awal nama Rodentia Montreal hanyalah pajangan. Seperti piagam Papa dan sertifikat Mama, hanya tertempel di dinding atau tersimpan di dokumen. Mereka akan mencari ketika membutuhkannya, atau meneliti kala terlalu bosan dan tak sengaja menatap ke dinding penghargaan.

Namun itu juga tak jadi masalah karena sertifikat dan piagam adalah hal yang sangat berharga.

📕📕📕

Astaga Doni mulai pamer lagi tentang robot plastiknya. Aku memutar bola mata ketika melewati ruang robotik, yang mana intensitas pemutaran bola mataku selalu meningkat setiap melewati ruang robotik dan lapangan basket. Belum lagi laki-laki jangkung itu yang tak sengaja menilik keberadaanku dan menguntal senyum serta lambaian tangan setelahnya. Jika aku Rima maka akan kubalas dengan lambaian serupa, tapi karena aku Denti, aku berdecak dan memutar bola mata. Lagi.

"Aku pernah mendengar orang meninggal karena mengalami keseleo tulang mata." Ian saat itu menakut-nakuti karena bola mataku berputar setiap orang lewat di depan kami.

Dictionary Of Perfection [TAMAT]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα