Dua Puluh Satu : Jatuh dan Cinta

74 19 23
                                    

📕📕📕

Jam sebelas malam, selepas menyelesaikan lima puluh soal Matematika Dasar dan tiga puluh soal Fisika, otakku melenceng ke hadapan laptop saat ini. Entah kegilaan apa yang terjadi, aku malah mencari artikel mengenai Jatuh Cinta. Sumpah demi apapun, aku bertingkah seakan baru puber kemarin.

Tanganku mulai memelintir kancing sampai salah satu benangnya putus. Mataku mendelik ragu. Sementara jariku terus menelusuri kursor.

Astaga, efek negatifnya banyak sekali. Sebenarnya aku tak terlalu kaget karena yang kucari hanyalah dampak negatifnya. Namun, yang membuatku tak berkutik ialah ketika membaca tentang ciri-ciri orang yang jatuh cinta.

Aku langsung menutup laptop dan termenung beberapa saat.

"Apa aku masih waras?" tanyaku pada diri sendiri seraya mengusap wajah. Beberapa menit setelahnya, aku kembali membuka laptop dan mencocokkan setiap poin dengan diriku.

Meluangkan waktu. Akhir-akhir ini aku rela membagi beberapa jam per hari untuk mengikuti proyek zoologi Ian. Tapi jika diingat-ingat lebih dalam, semua kegiatanku merupakan bagian dari proyeknya.

Mengorbankan banyak hal. Menurutku dengan ikut dia berpergian, aku sudah mengorbankan banyak hal penting, terutama waktu.

Menunjukkan diri apa adanya? Aku berpikir sejenak. Menurutku aku sudah menunjukkan diriku yang sebenarnya di depan semua orang. Jadi poin ini tidak valid.

Senang dan ingin selalu bertemu. Astaga, ini yang dibahas oleh Cecil hari itu.

Menikmati kebersamaan? Aku tidak begitu menikmati kebersamaan dengan Ian, tapi anehnya dengan adanya projek zoologi ini, aku merasa lebih produktif dan dapat menikmati pembelajaran secara santai. Apa ini termasuk ke dalam poinnya? Sepertinya tidak.

Aku menghela napas lega karena tidak semuanya sesuai. Itu artinya, jatuh cinta memang omong kosong.

"Ya, omong kosong." Aku menutup laptop dan menghela napas lega. Mungkin jika Fran ada di sini, dia akan membenarkan semua poin, tapi aku tidak. Kalau memang harus dipaksakan membenarkan kelima poin, maka kurasa aku menyukai diriku sendiri.

Meski begitu, pikiranku terus melayang akan kemungkinan aku yang jatuh hati pada Ian. Ini tidak boleh terjadi, ketika cinta terlibat dalam kehidupan, maka sebagian besar waktu akan dihabiskan hanya untuk cinta. Tidak ada ruang bagiku untuk fokus pada cita-cita.

Seperti itulah Papa dan Mama, mereka melepaskan afiliasi demi fokus pada mimpi besar mereka. Mereka sukses, dan itu keren.

Mataku memicing kala mengingat Mama sudah menikah lagi. Itu artinya Mama kembali menjalin afiliasi dan melibatkan cinta dalam hidupnya. Ini yang kadang membuatku bingung.

Alhasil, kubawa kebingungan ini untuk dipecahkan bersama orang yang mungkin mengerti. Pada kursus pertama aku langsung mengajak Cecil bertukar pikiran. "Ya, ambisi dan afiliasi kerap kali bertentangan. Setiap individu memiliki kebutuhan tersendiri, ada yang lebih butuh pencapain dan ada yang lebih butuh afiliasi. Apa pun pilihanmu, tidak ada yang salah karena keduanya penting."

"Sepertinya aku lebih mementingkan pencapaian," jawabku tanpa berpikir lama.

Cecil mengidikkan bahu dan menggeleng sekali. "Itu pilihanmu. Hanya saja kau harus mengingat jika setiap orang juga butuh afiliasi."

Sejenak aku terpikir momen ketika Mama meninggalkan rumah. "Apakah kita bisa memiliki kedua-duanya."

"Mungkin bisa. Hanya saja semakin besar impianmu, maka semakin banyak afiliasi yang harus kaurelakan. Contohnya kita yang ingin masuk UI, jika sudah terbang ke Jabodetabek nantinya, semua orang yang tinggal di kota kecil ini akan mengalami kerenggangan hubungan dengan kita. Mungkin putus hubungan."

Dictionary Of Perfection [TAMAT]Where stories live. Discover now