Sang Penakluk || Tempat Untuk Pulang

1.8K 72 8
                                    

Rossaline tidak langsung menjawab pertanyaan Sera, begitu sosok suster Mila, dan Rika datang memberitahu mereka jika rumah sakit mereka kedatangan banyak pasien kecelakaan lagi, sampai dokter jaga IGD nyaris kewalahan.

Sera, dan Rossaline tidak ingin membuang waktu lagi, keduanya segera berlari menuju IGD membantu tenaga medis di sana untuk menangani banyaknya pasien yang datang, melebihi dari pagi tadi.

Sera juga tampaknya sudah lupa dengan sosok pria yang keluar dari ruangannya. Semuanya benar-benar terlihat sangat sibuk.

"Suster Mila, tolong periksa tekanan darahnya, aku akan membersihkan lukanya terlebih dahulu!" seru Rossaline, begitu pun dengan dokter lainnya yang mulai sibuk.

Ya, sepertinya hari ini mereka semua akan sangat sibuk hingga larut malam, entah sampai pagi.

Sama halnya dengan Rossaline yang sibuk dengan pekerjaannya, tuan muda keluarga Alister juga tampak malas menatap tumpukan berkas di meja kerjanya. Pria itu bahkan sudah mengendurkan dasi yang mencekik lehernya.

Setelah pulang dari rumah sakit, dan kembali ke apartemen Rossaline untuk mengambil ponselnya, ia segera pergi ke kantor, tentu saja dengan Angga yang sudah sangat sibuk mengundurkan jadwal meeting mereka sampai Rajendra datang.

"Sialan! Kenapa rasanya hari ini sibuk sekali?"

Angga menghela napas, dan meletakkan lagi beberapa dokumen di atas meja Rajendra. "Benar sekali, sampai aku tidak memiliki waktu untuk sekedar berkencan," keluh sang sekretaris.

Rajendra hanya melirik pria itu dengan tajam. "Cih, kali ini perempuan mana lagi yang sedang kau kencani?"

"Ayolah, jangan menatapku seolah aku seperti seorang bajingan," decaknya. "Kali ini aku serius, dan berencana akan bertunangan dengannya,"

Rajendra mengangguk, sembari membuka salah satu dokumennya.

"Kau tahu, aku merasa menyesal melepaskan pekerjaanku sebagai dosen, dan menjadi sekretarismu, yang merangkap sebagai asisten juga."

Rajendra langsung menatapnya dengan tajam. "Kau tidak ingin mendapatkan gajimu bulan ini?"

Angga berdecak. "Iish! Dasar menyebalkan. Jika aku menjadi dosen, aku tidak akan kesusahan untuk sekedar berkencan dengan kekasihku,"

Rajendra menutup kembali dokumennya, dan memijat pelipisnya. "Maaf, kau harus merasakan hal yang sama denganku,"

Mendengar ucapan Rajendra tiba-tiba saja perasaannya mulai tidak nyaman. Ia tahu betul jika sampai saat ini Rajendra masih menyalahkan ayahnya, karena harus menanggung semua tanggung jawab yang sangat besar. Rajendra bahkan tidak bisa bersantai sedikit saja, sembari menikmati kopi dan melihat kendaraan yang lalu lalang di jalanan.

"Aku tidak bermaksud ke sana," gumam Angga.

Rajendra tersenyum tipis, "Aku sangat menyedihkan, bukan? Pria tua itu seolah tidak ada habisnya menekan hidupku. Setelah memintaku menjalankan perusahaan ini, ia kembali menekanku untuk segera menikah," ucapnya, dengan nada yang terdengar miris.

Sungguh demi apa pun, Angga tidak berniat menyinggung soal itu. Ia hanya bercanda soal ucapannya yang tidak memiliki waktu untuk berkencan.

"Rajendra--"

"Terkadang, aku ingin menjadi Karel saja," ratapnya, sembari menyandarkan tubuhnya pada kursi kebesarannya, dengan kepala yang mendongkak menatap langit-langit ruangannya.

Melihat itu, Angga gelagapan sendiri. Entah kenapa hari ini Rajendra tampak sangat sensitif. Saat meeting berjalan pun, ia sempat nyaris bertengkar dengan klien yang sedikit menyindir posisinya di perusahaan yang seharusnya di miliki oleh Karel Alister.

"Aku ingin pulang, kau bisa membawa semua dokumen ini ke rumahku?" tanyanya.

Angga mengangguk. "Ya, sebaiknya kau beristirahat,"

Rajendra tersenyum tipis, ia berdiri hendak mengambil jas yang tersampir di kursinya. Tiba-tiba saja ponselnya berdering, dengan nama orang yang saat ini sangat di hindarinya.

Ia berdecak pelan, kemudian menjawab telepon itu dengan malas. "Ya?"

"Apa begitu caramu menjawab telepon orang tuamu?"

Rajendra memutar bola matanya, kemudian memberi isyarat kepada Angga untuk meninggalkan ruangannya.

"Langsung saja, kenapa papa menghubungiku?" tanyanya malas.

"Kau!" ayahnya tampak berteriak dengan kesal. "Bagaimana hubunganmu dengan Sera Marlina?"

Rajendra merebahkan tubuhnya pada sofa bed di ruangannya, ia sudah menduga jika pria tua itu akan menanyakan soal itu.

"Aku tidak tertarik," katanya.

Lagi-lagi terdengar suara umpatan sang ayah. "Perempuan seperti apa yang kau inginkan?"

Rajendra berdecak, "Ayah. Aku malas membahas hal itu. Anda tahu pasti, karena siapa aku tidak memiliki waktu untuk berkencan?"

"Rajendra!" teriak sang ayah.

Rajendra menutup mulutnya, sampai kemudian suara halus seorang wanita menyapanya.

"Sayang? Apa kabar?"

Senyum di wajah Rajendra tampak merekah, mendengar suara lembut dari Emma Saphire Alister, ibunya. Meski terdengar suara ayahnya yang tampak tidak terima ketika sang ibu mengambil alih ponselnya. Meski jika dekat, ia dan ibunya sering beradu mulut, tapi saat jauh seperti ini, ia sangat merindukannya.

Sudah hampir satu tahun lamanya, ibunya itu menetap di Madrid menemani ayahnya mengurus kantor pusat keluarga Alister. Wajar saja, jika ia sangat merindukan sang ibu.

"Aku baik-baik saja Ma. Mama apa kabar?" tanyanya. Mendengar suara sang ibu, benar-benar membuat perasaannya membaik.

"Mama baik-baik saja sayang. Jadi, bagaimana? Apa kau sudah menemukan tempat untukmu pulang?" tanya sang ibu.

Rajendra tahu betul ke mana arah pembicaraan ibunya ini. Tapi, pertanyaan Emma terdengar jauh lebih baik, dari pada ayahnya.

"Hmm," ia hanya bergumam, saat sosok wanita dengan jas putih, muncul memenuhi pikirannya.

"Apa maksudnya itu sayang? Apakah sudah?" tanya Emma lagi, dengan nada yang penuh antusias.

Rajendra terkekeh pelan, menganggap dirinya gila karena tiba-tiba saja memikirkan Rossaline. Wanita yang tidak sengaja mampir ke hidupnya, karena menggantikan kencan buta temannya.

"Endra?" panggil sang Ibu.

Rajendra selalu senang, setiap kali Emma memanggilnya seperti itu. "Belum Ma. Mama tahu sendiri, aku tidak begitu senggang, seperti Karel," ada nada getir pada ucapannya barusan.

"Endra, sayang. Mama tidak akan memaksamu segera mencari wanita, seperti ayahmu. Bagaimana pun, kau lebih berhak atas dirimu. Janji kepada Mama, jika kau akan menemukan wanita yang akan menjadi tempatmu untuk pulang?"

Rajendra mencerna ucapan Emma satu persatu, "Hm, aku akan berusaha,"

"Sayang, sudah dulu ya. Mama akan menghubungimu lagi nanti,"

"See you, Mam," jawab Rajendra, kemudian sambungan itu terputus.

Ia membuang napas sedikit kasar. Matanya menatap lekat langit-langit ruang kerjanya. Lagi-lagi sosok wanita dengan jas putih itu muncul di pikirannya.

Sang Penakluk [PROSES PENERBITAN]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora