41.

33.7K 7.1K 1.6K
                                    

어서 오십시오

••••••

Satu bulan semenjak ia resmi berpisah dengan gadis itu, Ia selalu merasa ada yang berkurang dari dirinya. Sebagian waktunya bersama Teya semakin berkurang dan membuatnya semakin merindukan gadis itu setiap harinya. Beberapa minggu lalu semenjak ia mendatangi tempat biasa Devara berkumpul, ia menyadari bahwa seharusnya semua harus diselesaikan secara dewasa bukan permusuhan.

Damarez memarkirkan motornya tepat di depan bangunan tersebut. Ia datang sendirian padahal anak anak buah Devara masih berdiam disini dan memandangnya dengan aneh. Ia mengabaikan semua itu. "Gue mau cari Devara," ujarnya dengan tegas dan keras.

Beberapa orang sempat menghalanginya bahkan langsung menyerangnya begitu saja. Damarez harus melindungi dirinya sendiri maka dari itu sempat berkelahi untuk melawan. Beberapa menit setelah itu, seseorang muncul dari dalam. Ia terkejut ketika melihat Damarez disini.

Damarez merapikan rambutnnya kembali kemudian menghela napasnya. Mereka saling melempar tatapan sekejap lalu Devara membiarkan Damarez masuk. Deva sengaja menyuruh teman temannya untuk pulang agar mereka bisa berbicara karena ia tahu Damarez ingin membicarakan sesuatu jika ia berani datang sendiri ke tempat ini.

"Berani banget lo dateng kesini sendirian," cibirnya.

Damarez tertawa kecil lalu duduk di sofa itu. "Dikeroyok mereka nggak bikin gue mati," sahutnya.

Devara mengangguk namun sebagian kesannya masih terlihat meremehkan. "Ngapain lo kesini? Kalo mau curhat, gue sibuk. Kalo mau berantem, ayo." Devara menaikkan satu kakinya keatas kursi.

"Apa alasan lo nggak suka gue selama ini?" tanya nya to the point.

"Ya nggak suka aja. Kenapa? Nggak boleh?"

Damarez tertawa sinis. Malas mengakuinya namun pemuda songong didepannya adalah kakaknya. Sangat menyebalkan. "Gue udah tau semuanya."

Devara tercengang. Benarkah Damarez telah mengetahui semuanya? haruskah mereka saling membunuh sekarang? Cowok itu tetap tak mau terpancing. Devara bangun dari duduknya kemudian membukakan pintu. "Kalo udah selesai lo bisa pergi," ujar Devara.

Damarez masih berdiam disana. "Gue udah tau alasan lo nggak suka sama gue. Gue Cuma mau bilang, balik ke rumah sesekali."

Devara menendang kursi kayu di dekatnya. Ia memejamkan matanya sekilas kemudian menghela napasnya. Ia menjadi lebih sensitif dan darah tinggi ketika mengingat dan membahas itu. Ketika mamanya menangis menceritakan semua ituu padanya dan ketika ia membaca surat pernyataan bahwa dirinya harus disembunyikan. Ia hidup dalam bayang bayang Damarez bahkan ia tak boleh menemui ayahnya secara publik.

"Lo udah tau sampe mana?" tanya Devara.

"Semuanya. Awalnya gue nggak tau apa apa. Semua dateng gitu aja akhirnya gue tau kebenarannya."

Devara mencengkram kerah bajunya kemudian menatapnya dengan nyalang. "Setelah lo tau semua harusnya lo bunuh gue bangsat! Lo harusnya benci sama gue! Bukan lembek gini, mana ketegasan lo hah?!" bentaknya.

Satu pukulan berhasil menghantam bagian wajah Damarez hingga ia terjatuh di lantai. Bibirnya berdarah dan rasanya sangat sakit melebihi pukulan yang biasa diterimanya. Damarez kembali bangun lalu tertawa kecil. "Gue keliatan tenang bukan berarti gue nggak marah."

"Dengan gue bunuh lo itu nggak ngerubah apapun. Kenangannya tetep ada. Stop mikir gue bakal ngelakuin hal yang sama kayak yang lo lakuin."

Devara terdiam. Ia menyadari bahwa ia lebih susah mengontrol semuanya. Damarez mendapatkan semuanya namun tidak untuk dirinya. Ia hanya mendapatkan uang bahkan papanya baru mengingatnya ketika ia sudah semakin dewasa ketika ia masih kecil, tidak ada kiriman uang sama sekali untuknya.

DAMAREZ (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang