Part 07

66 11 0
                                    

⊱ ────── ❁ ❁ ❁ ───── ⊰

Setelah berbicara sebentar dan meminta izin pada Martin Golvench, Laura membawa April ke sebuah tempat. Laura fokus menyetir, sementara April terlihat memainkan boneka beruangnya.

"Apa kau pindah ke mari karena urusan pekerjaan orang tuamu?" tanya Laura memecahkan keheningan.

"Tidak, orang tuaku sudah mati," jawab April datar.

Laura cukup terkejut mendengar jawaban April. Ia merasa sedih memikirkan perasaan April yang hidup sebatang kara dan di-bully oleh teman-teman di sekolahnya.

"Jadi, kau tinggal bersama siapa?" tanya Laura lagi.

"Aku tinggal bersama keluarga Kakek Martin, adiknya kakekku," jawab April.

April tidak terlihat sedih sama sekali dengan pertanyaan Laura mengenai kedua orang tuanya.

"Maaf, mengenai orang tuamu, aku tidak bermaksud membuatmu teringat kembali dengan kematian mereka," kata Laura pelan. Sebenarnya ia memancing April untuk menunjukkan emosinya.

April mendongkak menatap Laura. Lalu dengan dingin, gadis kecil itu menjawab, "Pada akhirnya semua orang akan mati, kan? Bedanya, ada yang mati lebih cepat seperti orang tuaku, dan ada juga yang mati di usia tua."

Laura merinding mendengar jawaban April. Bahkan orang dewasa yang waras pun rasanya tidak akan menjawab demikian saat diberikan pertanyaan yang sama.

"Kau sangat menyayangi bonekamu, ya? Itu pasti boneka kesayanganmu, kan?" tanya Laura mengalihkan pembicaraan.

April mengangguk. "Ini hadiah ulang tahun dari ibuku yang terakhir."

"Ayah dan ibumu sudah tenang di alam sana. Mereka pasti merindukanmu, tapi mereka ingin kau hidup lebih lama dan menjadi anak hebat yang membanggakan mereka," ucap Laura.

April tidak merespon.

Di gedung itu, Laura menemui seorang wanita berambut sebahu dengan jas biru pudar.

"Halo, apa kabar, Marry," sapa Laura.

"Aku baik, bagaimana denganmu, Laura?"

"Aku juga baik."

April mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ekspresinya yang semula datar dan dingin kini berubah dan terlihat tidak nyaman. Gadis kecil itu merasa tidak nyaman berada di temat tersebut.

"April, ini temanku, Marry," kata Laura sambil merangkul April.

Namun, April menghindari sentuham Laura. "Dia dokter, kan?"

Laura mengernyit, begitu pun dengan Marry. Keduanya saling pandang.

"Aku tidak sakit, kenapa membawaku ke dokter?" tanya April dengan tatapan dinginnya.

Marry menatap wajah April.

"Ini bukan klinik, ini bukan rumah sakit, ini tempat kerja temanku. Iya kan, Marry?" ucap Laura sambil melirik ke arah Marry dan memberikan kode.

"Iya, ini tempat kerjaku, rumah kedua bagiku," sahut Marry.

Ekspresi April yang dingin berubah menjadi marah. Bahkan warna pipinya memerah. "Ibuku seorang dokter profesional, aku tahu yang mana dokter dan yang bukan dokter. Jas biru adalah jas yang biasa dipakai oleh dokter jiwa atau psikiater."

"April...." Laura menyusul April yang melenggang pergi dan terlihat marah. Untuk pertama kalinya Laura melihat ekspresi kemarahan di wajah April.

Marry mengernyit. "Dia terlihat berbeda dari kebanyakan gadis kecil seusianya."

APRILWhere stories live. Discover now