Jayden masih duduk di kelas dua SMA ketika terakhir kali jatuh cinta. Namanya Gladys, teman sekelasnya. Menyadari mereka mempunyai perasaan yang sama, ia langsung membawanya menemui mama. Sayangnya, Lisyana dan Jayden tak sepaham hingga ia harus kehilangan Gladys bahkan sebelum ia sempat 'menembak'.
Dan kini ia kembali dibuat berguling-guling di ranjang hingga berjam-jam lamanya karena Rania. Posisi apa pun telah ia coba, tapi tak sanggup membuat matanya terpejam. Benaknya terus menebak-nebak, bagaimana jawaban Rania nanti, hingga rasa kantuk itu tersisihkan. Hanya sikapnya tadi di kedai kopi yang membuatnya yakin, gadis itu mempunyai perasaan yang sama dengannya.
"Kak Jay, saya boleh tanya, ngak?" mulai Rania sembari menunggu pesanan minuman mereka diracik.
"Boleh. Tapi ada syaratnya," balas Jayden.
"Kenapa harus selalu pakai syarat, sih?" Bibir gadis itu mengerucut.
"Gampang, kok. Kamu gak boleh manggil 'Kak Jay' lagi. Panggil 'Jay' aja. Dan harus ngomong 'aku' bukan 'saya'."
Rania terkekeh pelan. Mungkin ia pikir, punya pacar itu sungguh merepotkan. Semua hal yang sudah menjadi kebiasaannya harus diubah. Namun ia menyanggupi, "Oke."
"Kamu mau tanya apa?"
"Kenapa kamu suka sama sa ... aku?"
Didahului senyum, Jayden menjawab, "Aku gak punya alasan. Tau-tau aja aku suka ngelihat kamu, tingkah kamu .... Kelihatannya kamu bahagia terus, padahal fisik kamu ... maaf ya, gak sempurna."
Rania membalas senyum laki-laki itu. Sama sekali tak tampak tersinggung dengan ucapannya. "Kak Jay ...."
"Jay!"
"Iya, maksud aku, 'Jay'." Gadis itu terkekeh lagi. "Semua orang berhak bahagia. Dan ngak perlu jadi sempurna untuk ngerasa bahagia."
Jawaban itu hanya mampu membuat Jayden tersenyum.
"Emangnya kenapa kamu suka ngelihat yang bahagia? Kamu ngak bahagia?"
"Ngaco!" cetus Jayden yang dibalas dengan tawa kecil Rania.
"Aku ngak selamanya bahagia, kok," lanjut Rania. "Kalau kamu ngelihat aku bahagia, itu karena aku emang lagi bahagia."
Dengan tersenyum jahil, Jayden menggoda, "Berarti kamu bahagia di dekat aku, ya?"
"Apa sih?" Bibir gadis itu mengerucut, tapi pipinya merona. Dan Jayden menganggapnya sebagai pancaran isi hati.
Rania sebenarnya juga tak menampik, ia memang bahagia di samping lelaki itu. Ia sendiri menyadari, kebahagiaannya lebih bergejolak setelah 'ditembak'. Jantungnya berdetak tak berirama di setiap kehadirannya. Dan pipinya lebih berona saat mendengar ucapan-ucapan manisnya, terutama kala ia diakui sebagai pacar di depan Khanza. Bila mengikuti kata hati, ia pasti sudah menjawab "Ya". Hanya saja ia teringat pesan ibu, ia tak boleh gegabah jika tak ingin terluka.
YOU ARE READING
✔Pictures of the Imperfections
Romance[Romance] Mengidap OCD sejak sekolah menengah, Jayden benci bila nasi di piringnya bercampur dengan sayur. la benci bila pakaian di lemarinya tidak tersusun sesuai warna. la benci bila piring-piring di raknya tidak terurut dari yang berukuran kecil...