30. The Flaw in Zaki's Decision

99 29 22
                                    

"Maaf, Pak Jayden

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Maaf, Pak Jayden. Atas permintaan Ibu Lisyana, rekening Bapak kami bekukan."

Belum habis rasa malu Jayden lantaran harus meninggalkan supermarket dengan tangan kosong dan iringan sorot mata meremehkan dari para pengunjung. Setelahnya, ia malah harus mendengar jawaban mengesalkan seorang petugas bank saat menanyakan perihal kartu kreditnya yang tak bisa digunakan. Namun yang paling menyebalkan, nama mama muncul sebagai dalang dari kemalangannya hari ini. Dan apa pun niatnya, Jayden harus menuntut penjelasan.

*

Di balik meja kerjanya, Lisyana duduk dengan salah satu sudut bibir tertarik membentuk senyum miring. Dari ruangan yang terletak di bagian depan rumah itu, ia bisa mendengar deru mobil yang berhenti di halamannya. Lalu dari suara langkah yang terburu-buru ia tahu, rencananya berhasil. Dan ia juga sudah menyiapkan jawaban yang akan membuat tamunya ini tak berkutik.

Suara langkah itu terjeda sebentar di pintu utama, disusul dengan suara perbincangan dua orang yang terdengar samar. Dan kala derap itu berlanjut, wanita itu semakin bisa merasakan kemarahannya. Namun ia tetap bergeming di balik meja. Sedikit pun tak tersisip keinginan untuk menyambut, sekalipun ia merasa rindu.

Pintu berdaun ganda itu dibuka dengan cara yang kasar dan penuh emosi, sesuai dengan yang Jayden rasakan saat itu. Namun tepat di seberangnya, mama hanya tersenyum tanpa rasa bersalah, seolah perbuatannya memblokir rekening si bungsu bisa dibenarkan. Tiba-tiba saja pemuda itu merasa muak terhadapnya.

"Kenapa, Ma?" tuntut Jayden, bahkan sebelum langkahnya berhenti di depan meja Lisyana.

"Apanya yang kenapa, sayang?" wanita itu balik bertanya. Tenang, seakan tak terjadi apa-apa. "Ayo, duduk dulu. Kamu gak akan bisa tenang kalau berdiri terus."

Jayden patuh. Ia menarik kursi kayu di hadapan mama. Gerakannya yang kasar menyebabkan kursi itu berderit nyaring di ruangan luas yang juga berfungsi sebagai perpustakaan mini itu. Ia bahkan bergidik oleh suara yang dibuatnya sendiri.

"Sekarang waktunya Mama minum teh. Kamu mau ikut minum? Kita udah lama gak minum teh bareng, 'kan?" tawar Lisyana.

"Jay lagi gak pengin basa-basi, Ma."

"Bi Irah! Bikinin dua teh hijau!" seru wanita itu, tak menggubris permintaan putranya.

"Ma!" sentak Jayden.

Perhatian Lisyana seketika berpindah pada laki-laki di hadapannya.

"Mama belum jawab pertanyaan Jay."

Senyum wanita itu mengurai lagi. Hanya saja bermakna lain dari senyum yang Jayden lihat sebelumnya. Senyum ini lebih seperti ... mengejek. "Kamu gak bisa nyalahin Mama, Jay. Kamu ingat 'kan, soal keuangan juga ditulis dalam perjanjian itu? .... Eh, maksud Mama, salinan perjanjian itu." Ia terkekeh sarkastis di akhir ucapannya.

Ya, Jayden ingat salah satu poin dalam perjanjian itu yang membahas masalah keuangannya. 'Pihak ketiga berhak atas rekening bernomor sekian dan sekian atas namanya dengan pemasukan dan pengeluaran yang diatur oleh pihak pertama ....'

✔Pictures of the ImperfectionsWhere stories live. Discover now