5. The Flaw in Her Feeling

255 47 35
                                    

Belum pernah ada pemuda yang mau mendekati Rania sebelumnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Belum pernah ada pemuda yang mau mendekati Rania sebelumnya. Saat mereka menyadari gadis ini penyandang difabel, mereka mundur teratur, bahkan sebelum sempat berkenalan. Rania kecewa dan Dyah menjadi semakin protektif.

Namun pendapatnya tentang Jayden berbeda. Pertemuan tadi adalah pertemuan terlama yang pernah dijalaninya bersama seorang lelaki. Mereka bahkan sempat bertukar nomor telepon.

Dan dia bilang apa tadi? 'Biar gampang kalau mau ketemuan lagi'?

Ingin rasanya di sepanjang perjalanan pulang itu Rania menari, berputar dan melompat. Beberapa penjual lukisan kenalannya yang ditemuinya pun disapanya riang--sesuatu yang tak biasa ia lakukan. Namun beberapa langkah sebelum berbelok ke rumah, ia buru-buru menata sikapnya. Ia belum ingin ibu tahu tentang pertemuannya dengan Jayden tadi. Bisa-bisa ia diceramahi panjang lebar dan diingatkan tentang perlakuan para lelaki padanya dulu.

Dyah tengah melayani seorang pelanggan, seorang wanita seusia ibunya yang juga tetangganya, kala Rania berbelok memasuki teras warung. "Totalnya 33.500 ya, Bu," ujar Dyah seraya mengulurkan sekantong keresek hitam pada lawan bicaranya. Lalu dari sang pelanggan ia menerima lembaran-lembaran uang kertas berwarna hijau dan ungu.

Rania menerobos lorong di antara etalase barang-barang kebutuhan sehari-hari ketika sang ibu memberi uang kembalian pada pelanggannya. Ia mengangguk hormat pada wanita itu.

"Eh, Neng Rania. Dari mana?" tanyanya.

"Ngegambar."

"Ooohhh." Lalu kepada sang tuan rumah, ia berpamitan, "Mari, Bu Dyah, duluan. Saya belum masak."

"Mari," balas Dyah. Sepeninggal tetangganya, ia kemudian menghadapi putrinya. "Kelihatannya lagi senang banget."

Rania mengulum senyum, tapi ia gagal menyembunyikan rona di wajahnya.

Dyah ikut tersenyum sebagai responsnya. Namun hanya sejenak sebelum matanya menangkap headset putih itu sudah kembali bertengger di kepala sang putri. "Headset kamu, ketemu di mana?" tanyanya.

"Kemarin ada yang nemuin. Dia panggil Ran. Tapi Ran ngak dengar," papar Rania dengan sedikit kebohongan.

Senyum Dyah kembali mengulas. "Syukurlah," ia berucap. "Tuh, teman-teman kamu udah nungguin," katanya kemudian seraya mengayunkan kepala ke arah teras.

Mata Rania mengikuti arah yang ditunjuk sang bunda, pada ketiga bocah yang berdiri di sana sambil melambai, yang tak ia sadari kehadirannya. Mereka pasti datang untuk menagih janjinya mendongeng kemarin. Gadis itu bergerak mendekati mereka. Sambil tersenyum, ia berkata, "Sebentar, ya. Kakak ambil buku dulu."

"Iya, Kak," balas mereka berbarengan.

Rania meninggalkan warung yang dibangun di tanah paviliun itu lalu memasuki rumah melalui pintu utama. Dihempasnya sembarang tas kanvas berisi peralatan gambar itu di sofa usang sebelum berpindah pada lemari buku. Dengan asal pula dicabutnya salah satu buku dongeng anak-anak dari jajaran koleksinya.

✔Pictures of the ImperfectionsWhere stories live. Discover now