25. The Flaw in an Avoidance

107 33 35
                                    

Kekesalan Jayden pada anak kecil bertambah kala permintaan foto mereka tak berkesudahan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kekesalan Jayden pada anak kecil bertambah kala permintaan foto mereka tak berkesudahan. Apalagi saat mereka tak puas dengan hasilnya, mereka akan memintanya untuk memotret mereka lagi. Sungguh ia tak pernah tahu, bocah seusia mereka sudah mengenal perfeksionisme. Seandainya tadi ia tak menawarkan 'bonus' memotret mereka satu per satu, mungkin ia tak akan sekesal ini.

Dan senang rasanya setelah memulangkan mereka dengan janji akan memotret mereka lagi--yang belum tentu akan ia tepati. Embusan napas leganya yang tertangkap netra Rania membuat gadis itu terkekeh.

"Ngak suka anak-anak, ya?" tebaknya.

Jayden meringis. "Berisik," akunya sambil menunjuk telinga.

"Besok motret lagi?" Rania bertanya saat tawanya berakhir.

"Besok gue harus ke galeri. Nanti tunggu aja kabar dari gue."

"Oke." Gadis itu mengangguk beberapa kali. "Terus, hasilnya tadi gimana?"

"Mau lihat?"

Rania mengangguk antusias.

Jayden membiarkan beberapa saat terlewat tanpa suara. Sebenarnya ia ingin menyimpan foto-foto itu dan baru memperlihatkannya nanti, pada hari pembukaan pameran, sebagai surprise. Namun ia seperti mendapat bisikan jahil yang menurutnya tak mungkin akan Rania tolak, tapi juga tak akan merugikannya.

"Boleh. Tapi ada syaratnya," ia menyahut setelah beberapa saat.

Gadis itu menaikkan kedua alisnya, seolah bertanya, "Apa syaratnya?" hingga Jayden meneruskan ucapannya.

"Lo harus mau gue traktir." Dengan menghabiskan waktu dengan gadis ini, Jayden pikir ia akan lebih mengenalnya, hingga ia bisa memutuskan untuk memercayainya atau tidak. Selain itu, ia ingin memastikan perasaannya yang mulai berubah.

Manik Rania membola, pun dengan bibir yang pulasan gincunya mulai memudar itu. Siapa yang akan menolak ditraktir laki-laki pujaan? Namun langsung menyetujuinya hanya akan memperjelas perasaannya pada Jayden. "Untuk apa?" tanyanya sambil meredam buncah.

"Anggap aja sebagai rasa terima kasih karena lo mau jadi model gue."

Senyum gadis itu sekonyong-konyong terentang. "Oke."

"Dan ada satu syarat lagi," ujar Jayden cepat sebelum Rania memalingkan wajah dan terlambat membaca gerak bibirnya.

Alis gadis itu yang kembali naik seperti memberi isyarat pada Jayden untuk melanjutkan ucapannya.

"Gue yang pilih tempatnya."

Seketika gelak Rania memecah. Ia tahu maksud pemuda ini dengan memilih tempatnya sendiri, untuk menghindari kemungkinan menderita diare lagi.

Seolah paham penyebab tawa gadis itu, Jayden ikut terbahak. Namun memang benar, ia sungguh jera menderita seperti itu.

Pemuda itu mengantar Rania singgah sejenak di rumah untuk berpamitan pada Dyah. Setelahnya ia membawanya ke suatu kafe di Jalan Braga.

✔Pictures of the ImperfectionsWhere stories live. Discover now