20. The Flaw in His Routines

125 32 24
                                    

Belum pernah Rania memulai paginya dengan segugup itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Belum pernah Rania memulai paginya dengan segugup itu. Bila sehari-harinya ia bisa memilih pakaian apa pun dari lemari, kini setiap kali mengeluarkan satu setel pakaian, ia harus mematutnya dulu di depan cermin. Tak cocok, ia akan menghempaskannya begitu saja di atas ranjang. Begitu pula dengan riasannya. Sebisa mungkin ia memoles wajahnya dengan riasan tipis. Ia tak ingin tampak pucat, tapi juga tak ingin terlihat terlalu menor di foto Jayden nanti. Dan setelah merasa puas dengan penampilannya, ia baru meninggalkan kamar, menuju teras, bersiap menyambut pujaannya.

Namun kursi bambu di teras itu tampak masih kosong. Pemuda yang ditunggunya belum tiba. Pasti masih ngecek pintu, jendela sama kompor, pikirnya.

Warung ibu pun belum dibuka dan pemiliknya masih menyapu di halaman. Sementara di samping pagar, ember berisi pakaian yang dicuci subuh tadi kelihatannya belum sempat terjamah.

Dyah menegakkan tubuhnya sejenak saat merasakan kehadiran orang lain di teras. Senyumnya mengurai. Entah karena hanya kebiasaan atau karena putrinya saat itu berpenampilan tak biasa. Namun demi tak membuat gadis itu jengah, ia bertanya dalam bahasa isyarat, "Janjian jam berapa?"

Sambil bergerak ke arah ember pakaian itu, Rania membalas dengan gerakan tangannya. "Dia cuma bilang pagi."

Selagi ibunya melanjutkan menyapu, gadis itu mulai membentangkan pakaian pertama di atas pagar. Namun sebelum beralih pada pakaian kedua, ia menyempatkan melongok ke arah pangkal gang, mencari sosok yang ditunggunya. Begitu juga sebelum menjemur pakaian ketiga, keempat dan seterusnya. Sayangnya, kala ia selesai dengan aktivitasnya, Jayden belum muncul juga.

Tanpa sepengetahuan Rania, Dyah memperhatikan semua gerak-geriknya. Ia tahu, gadis itu gelisah dan ia ikut merasakan gelisahnya. Bukan karena ia berharap Jayden segera datang, melainkan khawatir putri satu-satunya akan dikecewakan lagi.

*

Bunyi alarm itu membangunkan Jayden. Namun ....

Tampaknya bukan.

Bunyi alarm ponsel Jayden merupakan lagu lembut, seperti nina bobok. Ia memilih lagu itu supaya tidak bangun dengan rasa kaget lalu menjadi panik--ia bahkan tak pernah mengaktifkan alarm jam bekernya. Namun irama lagu yang menjemputnya dari alam bawah sadar ini terlampau cepat, bahkan berisik. Hingga ia menyadari, itu ringtone ponselnya.

Sambil berusaha mengembalikan kesadaran, diulurkannya tangannya ke arah nakas, meraba-raba permukaannya hingga bisa membawa benda yang belum berhenti berbunyi itu dalam genggamannya. Penglihatannya yang masih buram mencoba mengenali nama peneleponnya. Zaki.

"Ngapain pagi-pagi buta gini lo nelepon gue?" sambutnya dengan suara mengantuk.

"'Pagi-pagi buta' pale lo! Sekarang udah jam delapan!" umpat Zaki.

Dalam sekejap kesadaran Jayden terkumpul seutuhnya dan ia melompat dari ranjang. Namun kondisinya yang masih agak lemah, menariknya terhempas kembali di atas kasur. "Kenapa lo baru bangunin gue sekarang, sih?" protesnya.

✔Pictures of the ImperfectionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang