Kriiiingggg ....
Dering nyaring telepon itu menyentakkan Jayden di kursinya. Akibatnya ia nyaris mengarahkan mouse pada angka yang salah di layar komputer. Untung saja ia tak sedang memijitnya atau foto yang sedang dieditnya akan rusak dan ia harus mengulang dari awal.
Alat komunikasi internal yang menempel di dinding dapur itu memang jarang dipakai. Benda itu baru akan berguna bila petugas di lantai dasar mengabarkan bahwa ia mendapatkan kiriman barang atau kunjungan seseorang yang baru pertama kalinya datang ke situ. Karenanya ia lupa menyetel volumenya.
"Halo?" jawabnya.
"Selamat siang, Pak Jayden. Ada yang ingin bertamu. Perempuan. Namanya ...."
"Disuruh naik aja, Pak," titah Jayden sebelum petugas itu sempat menyebutkan nama tamunya. Bahkan tanpa menunggu sahutan ia sudah memutus sambungan. Ia sudah terlalu yakin Rania-lah pengunjungnya.
Seperti biasa, ia mengisi waktu sebelum menerima gadis itu dalam unitnya dengan meneruskan pekerjaannya. Baginya, tiga menit terlalu berharga untuk dilewatkan.
Ting tong.
Saat Rania tiba di depan pintunya, sebenarnya foto itu belum juga selesai dieditnya. Namun ia tak ingin membuat sang tamu menunggu terlalu lama. Tiga gerendel tambahan yang mengamankan pintunya saja sudah membutuhkan banyak waktu untuk membukanya, apalagi bila ia menyelesaikan dulu pekerjaannya. Dan tanpa indra pendengaran, Rania tak akan mendengar bila ia berseru, "Ya, tunggu sebentar!"
Jayden tak berekspektasi apa-apa kala membuka pintunya. Namun saat melihat Rania berdiri di hadapannya, berpenampilan sederhana seperti biasa, dengan blus, rok, tas kanvas yang menggantung di pundak, serta headset putih itu, ditambah dengan riasan wajah yang tak berlebihan, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Entah apa.
Atau justru perasaan gue yang beda?
Melihat lelaki itu hanya diam di ambang pintu, Rania melambaikan tangannya di depan wajah Jayden.
"Oh, sorry." Pemuda itu bergerak menyamping sambil meringis jengah, memberi akses bagi Rania untuk memasuki unitnya.
Gadis itu menapak beberapa langkah sebelum berhenti untuk menunggu sang tuan rumah mengunci pintu. Tiga gerendel tambahan yang Jayden geser satu per satu itu sempat membuat rahangnya melorot. Tinggal dalam gedung berkeamanan ketat dan menempati lantai teratas ternyata tak cukup membuat laki-laki ini merasa aman. Namun Rania semakin memahami, rupanya Jayden akan merasa lebih aman bila mengurus masalah keamanannya sendiri.
Jayden segera berbalik setelah mengunci gerendel ketiga. Saat itu pula Rania menyodorkan kantong keresek hitam yang dibawanya.
"Apel," katanya. Namun sebelum Jayden sempat menyambut kantong itu, ia segera menarik tangannya lagi. Ia khawatir kantongnya kotor dan membuat pemuda itu risi. "Mau dipotongin?" dalihnya.
YOU ARE READING
✔Pictures of the Imperfections
Romance[Romance] Mengidap OCD sejak sekolah menengah, Jayden benci bila nasi di piringnya bercampur dengan sayur. la benci bila pakaian di lemarinya tidak tersusun sesuai warna. la benci bila piring-piring di raknya tidak terurut dari yang berukuran kecil...