00 ♔︎ EPILOG & CAST

39 7 6
                                    

"Jejaknya telah hilang namun bayang-bayangnya tetap datang. Jika perpisahan kita itu takdir, apakah aku harus menentang takdir agar selalu tetap bersamamu?"

•••

Sudah seminggu dari Ghinsa membawa Rajenta ke makam Ailiee. Kini, hidupnya kembali normal. Hatinya juga sudah lumayan kembali tersusun. Itu semua berkat keluarganya, keluarga kecilnya.

Meski sudah tak memiliki Ibu kandung, Ghinsa masih bisa mendapatkan sosok ibu di hidupnya walaupun bukan dari ibu kandungnya. Dia, istri kedua dari Hermawan─Ayahnya yang bernama Gulani.

Ia biasa menyebutnya Mama Lani. Semenjak Shanza meminta maaf di depan makam Yuliza, dirinya di ajak untuk menemui Mama Lani. Ia kira Mama Lani itu tidak mau berurusan dengan anak sepertinya. Namun kenyataannya tidak, setelah kematian Yuliza, ia tinggal bersama Shanza dan Mama Lani.

Dan entah kenapa mereka kini sangat akrab layaknya Ibu kandung dan saudara kandung.  

Ghinsa merentangkan kedua tangannya agar istrinya itu mudah memakaikan jas ditubuhnya. Setelah selesai, Nabela menepuk-nepuk pundak Ghinsa.

"Udah selesai," katanya sambil tersenyum manis.

Melihat senyuman manis itu Ghinsa ikut tersenyum. "Terimakasih Istri."

Nabela terkekeh kecil. "Sama-sama Suami."

"Ayo turun." Perkataan itu disetujui oleh Nabela, mereka keluar dari kamar dan turun tangga untuk ke dapur.

Di dapur ternyata sudah ada anak laki-laki mereka. Jenta. Anak itu sudah menyantap roti bakarnya dengan lahap membuat Ghinsa menggelengkan kepalanya. "Pelan-pelan makannya Jen."

"Nanti telat Pi," ucapnya sedikit tidak jelas karena mulutnya penuh dengan roti.

"Gak telat, pelan-pelan aja, bisa keselek nanti."

"Telat Pi─uhuk!"

Buru-buru Ghinsa menyerahkan gelas berisi air untuk Jenta yang tersedak. Anak itu memang susah dibilangin. "Keselek kan! Ngeyel sih."

Sesudah menghabiskan satu gelas air putih, Jenta menyengir kuda ke arah papinya. "Maaf Pi."

Nabela hanya mampu menghela nafas. Meski begitu ia sangat bahagia melihat suami dan anaknya yang begitu akrab walau sering berdebat kecil.

"Ayo berangkat!" Ghinsa menggandeng tangan kecil Jenta setelah anak itu dipakaikan tas ransel oleh Nabela. Di usia 3 tahun ini Jenta sudah sekolah PAUD.

Mereka keluar rumah menuju mobil yang sudah terparkir didepan rumah. Ghinsa dan Jenta masuk kedalam mobil disusul Nabela disebelah Jenta. Mereka duduk di kursi belakang sebab di kursi depan ada pak supir yang mengendarai mobilnya.

"Papi Mami!" Ghinsa dan Nabela serempak menoleh kearah Jenta yang memanggil.

"Jenta mau sepeda!" lanjut anak itu selepas melihat tetangga mereka menaiki sepeda gunung yang tinggi.

👑🤴🏻👑

"PAPI!!!!" Jenta berteriak histeris sambil menghentakkan kedua kakinya. Ia tidak terima jika sepeda seperti ini yang diberikan papinya untuknya.

Ghinsa yang tidak mengerti hanya mampu menggaruk tengkuknya. "Kenapa sih Jen? Katanya mau sepeda ya udah ini Papi beliin."

"Bukan yang ini Papi! Jenta maunya yang kayak punya Om Tala yang sepeda tinggi itu!"

RAPUHWhere stories live. Discover now