01 ♔︎ Awal dari Segalanya

103 19 6
                                    

Ailiee baru sampai di rumah sehabis pulang sekolah. Setelah memarkirkan motornya di garasi, ia menginjakkan kaki di teras rumah.

Sayup-sayup Ailiee mendengar suara bising dari ruang tamu. Ingin tahu, Ailiee segera melangkah masuk. Ailiee menunduk sopan ketika melintasi orang-orang itu.

Orang-orang itu sepertinya rekan kerja papanya, sebab semuanya berpakaian formal. Langkah Ailiee terhenti ketika salah satu dari mereka menyeletuk, "Dia siapa, pak Hanum?"

Ailiee tersenyum sembari tetap menunduk sopan, saat ia ingin menjawab, papanya lebih dulu berucap. "Oh, dia, ponakan saya."

Deg!

Darah Ailiee berdesir mendengarnya, matanya membelalak tak percaya. Apa maksudnya?

"Wah cantik sekali, saya kira anakmu."

Papanya hanya bisa tersenyum dibuat-buat, "Ah anda bisa saja. Baik, mari lanjutkan kerja sama kita."

Akhirnya, fokus mereka teralihkan dari Ailiee. Dirasa tak ada apapun lagi, Ailiee langsung berlari menuju kamarnya. Berniat ingin teriak sekeras-kerasnya namun tidak mau terdengar siapapun.

Ailiee menutup pintu kamar, tak lupa menguncinya. Gadis itu menyenderkan punggungnya pada pintu, mendongak berharap air matanya tak jatuh.

Ailiee memejamkan mata, mengambil nafas dalam-dalam. Karena nafasnya bagai tercekat dan menipisnya oksigen. Itu yang ia rasakan tadi.

"Segitu nggak berharganya gue ya?"

Ailiee tertawa miris, tawa yang benar-benar menyiratkan kerapuhan. Masih dengan mata yang terpejam, Ailiee kembali bermonolog.

"Tuhan, sakit."

👑🤴🏻👑

"Woi, berhenti lo!"

Pria yang mengenakan sweater abu-abu dan tas yang dikalungkan ditubuhnya itu sedang berlari. Menghindar atau lebih tepatnya kabur dari kejaran dua rentenir berbadan besar.

"Woi! Berhenti Bangsat!"

Rentenir terus berteriak, menyuruh pria itu berhenti. Pria yang diketahui bernama Ghinsa tidak memedulikan teriakkan rentenir. Ia masih setia berlari sekencang-kencangnya agar terlepas dari kejaran preman berkedok rentenir.

Sial! Kakinya secara otomatis berhenti ketika jalan di depannya buntu. Kanan-kirinya sangat sepi, tak ada satu rumah pun yang berdiri di sini.

Dengan was-was, Ghinsa membalikkan badan. Ia menyapu pandangan, rentenir tadi sudah tidak kelihatan. Ghinsa bisa bernafas lega juga akhirnya.

"Nah! Mau kemana lo, hah?!"

Ghinsa terkejut bukan main kala mendapati preman-preman itu sudah berada di hadapannya. Ia terpojok sekarang.

Preman-preman itu tersenyum miring, dengan menaik-turunkan alisnya. Ia menelan ludah gusar, pasti kali ini badan dan wajahnya akan babak belur lagi. "Cemen lo semua, mainnya keroyokan!"

Ghinsa mengangkat dagunya, seakan menantang mereka untuk tidak main keroyokan. Bukannya takut, preman-preman itu justru tertawa mengejek. "Halah, bocil banyak gaya lo."

Nafas Ghinsa memburu ketika dirinya diejek begitu, rasanya ia ingin menghajar langsung orang-orang di hadapannya itu. "Sini maju, cemen lo semua!" seru salah satu preman.

Kesabaran Ghinsa telah habis. Ia pun berjalan maju, mendekat ke salah satu preman yang mengatainya cemen tadi. Tangannya sudah terkepal di bawah sana, menatap nyalang tiga preman itu secara bergantian.

RAPUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang