ㅡduapuluh tujuh

269 79 35
                                    

11:11 AM


Kafe dengan nuansa creme ini menjadi saksi bagaimana seorang Hendery Fred terus menunduk di kursi seberang Mark. Gue masih enggan untuk mengawali kisah keluarga kita, maka dari itu gue hanya berupaya menunggu dia memulai tujuannya untuk mengajak bicara serius.

"Masih lama gak bengongnya?" Tanya lelaki yang duduk tepat di samping gue —alias Mark— seraya meletakkan gelas minumannya di atas permukaan meja, "Aca ada jadwal terapi ke dokter."

Hendery reflek menghancurkan lamunan terhadap sepatunya yang bertengger di bawah sana, "sorry."

"Anytime," sarkas Mark.

"Aca,"

"..."

"Sekarang tinggal di mana?"

"Basa-basi jelek, bodoh." Desis Mark.

"I wish you can eat weel and feel more better, a lot."

Gue mengangguk ringan, "ya."

"Aca, gue tau lo gak akan mau menganggap gue sebagai saudara lo lagi, even menganggap gue sebagai manusia akan sulit. Tapi dari dalam diri gue yang paling-rendah-ini, gue mintamaaf, Aza."

Kondisi luluh lantak di dalam hati gue kembali bergemuruh, gue gak mau melihat siapapun mengemis maaf seolah gue adalah orang jahat yang gak akan pernah memaafkan siapapun.

"Waktu itu... lo menghentikan papi untuk memukul gue, I thought that I deserve it but you literally came to stop him. Rasa sakitnya jauh lebih kecil dari rasa malu gue."

Dia hanya merasakan sebagian-sangat-kecil penderitaan gue, tapi dia mulai menyadari segalanya.

"Aca, ini salah gue, ini adalah kebrengsekan gue, tolong maafin gue Ca. Karena gue semuanya hancur, karena gue—"

"Yang hancur udah gak bisa balik menjadi utuh, Dery. Hidup di atas penyesalan itu gak guna, hidup di masa lalu itu adalah bodoh."

Hendery menitikkan setetes air matanya, that was so smooth. Dia benar-benar emosional dengan tatapan matanya yang terguncang.

"Setidaknya lo mulai paham, kan?"

"Maaf, Ca."

"Just stop."

Punggung tangan Hendery menyeka bekas buliran basah di pipinya, "I'm so sorry for being a jerk and an a**hole."

Mark menghela nafas lembut, lalu gue menoleh dan menemukan matanya yang seperti bertanya apakah gue sedang baik-baik saja?

"Ry, gak usah menyalahkan diri lo terlalu jauh. Udah, udah cukup mintamaafnya, gak perlu menyalahkan siapa-siapa lagi."

Hendery membisu.

"Sekarang... sisa siapa aja yang ada di rumah?"

"Cuma gue Ca, mami dan papi pergi tanpa memberitahu siapapun mereka mau ke mana. Yang gue tau, mereka udah pisah."

"So what do you want from me, Ry?"

"Come home, cuma itu."

"Enggak, Ry, enggak. Pulang ke rumah gak semudah itu, gue bukan lo—"

"Dan lo bukan dia." Sambung Mark menatap Hendery jengah, "maaf kalau gue menjadi teman yang terlalu ikut campur dalam urusan keluarga lo. Tapi sekali lagi maaf, gue sebagai manusia udah gak bisa mempercayakan Aca tinggal sama lo."

"Maksud lo apa, Mark? Jadi lo mau gue sama Aca pisah juga? Ca, jadi lo pilih dia yang orang lain ini atau saudara lo sendiri?"

Here we go again.

"Bukannya lo mau ke London? Lo udah seyakin apa Aca harus ikut lo ke sana? Tolong jangan egois sampai masalah ini benar-benar selesai."

"Kata siapa gue mau ke London?"

"Xavi, he told me."

Astaga Xavier, gue harap lo gak ikut menyeret diri ke dalam permasalahan ini.

"Jadi gue mohon ya, Felton. At least lo harus—"

"Ry,"

Hendery langsung diam saat gue menyebut satu suku namanya.

"How about you?"

Tatapannya sontak berubah keheranan.

"Sebelum mendengar jawaban dari gue, balikin semua pertanyaan itu ke untuk diri lo sendiri. Jangan bikin gue capek ya? Energi gue butuh waktu lama kalau di-charge."

Gue sontak bangkit, berniat untuk meninggalkan kafe dan Hendery. Tiba-tiba dia meraih pergelangan tangan gue yang mengakibatkan gue cukup kaget dan reflek menghempaskan tangannya sedikit kasar. Beberapa pengunjung, Mark, serta Hendery sendiri terkejut karena reaksi gue.

Dan sejujurnya, gue merasakan hal yang sama.

"Sorry,"

Nafas gue mulai terengah, sepertinya gue kembali lelah.

"Sorry, gue harus pergi."

Dengan cepat gue berlari keluar, meninggalkan Hendery yang termangu menatap kepergian gue tidak percaya. Di sisi lain gue bisa merasakan Mark menyusul gue keluar menuju sudut lahan parkir, berjuang menetralkan nafas yang mulai bermain.

"Ca, kenapa?"

"Gakpapa, gakpapa, aku cuma— nafasku sedikit, apa—"

Perlahan Mark memegang bahu gue yang terguncang dan menghadapkan wajahnya dengan lembut. "Lihat aku, tarik nafas, yes like that. Tahan, lalu hembuskan. Iya, iya seperti itu, nice girl."

Syukurnya gue bisa mengendalikan nafas gue lagi dengan baik.

"It's okay, bi. Itu bukan salah kamu, itu adalah respon kamu karena trauma kemarin. Kamu cuma reflek melindungi diri, aight?"

Gue menjawab dengan ragu, "aku gak tau..."

"Kamu hebat banget, seenggaknya kamu bisa lebih baik daripada kemarin. I proud of you, lebih semangat lagi ya."

Hati gue mencelos karena dirinya yang selalu berusaha dan belajar menghadapi orang seperti gue. Akhirnya gue paham, kenapa 5 jadwal konsultasi dan terapi bisa impas hanya karena tergantikan oleh orang seperti Mark Marcelino Felton.

"Sekarang, we have to go."

Dahi gue mengernyit, "ke mana?"

"Kampus, bisa?"

"Kenapa?"

Mark menunjukkan layar ponselnya dengan layar yang berdering pertanda seorang bernama 'Kak Jamal' sedang memanggil. Gue memejamkan mata sebentar, nyatanya gue memang terlalu lama absen dari jadwal perkuliahan.

"Kamu kayaknya jadi buronan kampus ya, anak ambis?" Canda Mark sambil menangkup kedua pipi gue seperti memainkan adonan roti.

ARCADE ✓Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora