ㅡsatu

1.1K 234 193
                                    

Halo, sebelum memulai tolong untuk menjadi pembaca yang bijak ya. Berikan vote dan komentar sebagai bentuk feedback positif terhadap penulis, terimakasih.














10:03 PM

Detik ini, tepat di hadapan gue, seorang cowok dengan tatapan mematikannya terus memandang gue penuh amarah tanpa henti. Sekarang, yang gue bisa hanyalah diam, menunggu perilaku apa lagi yang akan dia lakukan untuk menyakiti gue kesekian kalinya.

"Masih mau keluar?" Tanya Dery bersama penekanan dalam nada dingin di tiap katanya. "Lo masih pilih dia apa gue?"

"Gue udah janji sama Mark, Dery."

"Lo lewatin pintu itu, gue patahin kaki lo."

Mata gue terpejam sebentar, "tolonglah."

"Diam deh, lo makin lama makin ngelunjak."

"Emang selama ini gue ngapain?"

"Jawab mulu lo!" Teriak Dery kemudian menampar pipi kiri gue dengan emosinya yang memuncak, "bajingan emang!"

Diam, gue terus memutuskan untuk kembali diam dengan batin yang terguncang namun enggan melawan.

"Mau gue kasih tau papa kalau lo kerjanya keluyuran terus?!"

Dengan pelan dan maksud agar dia tidak tersinggung, gue membalas, "gue bahkan gak pernah lapor ke papa kalau lo selalu berusaha mencium gue padahal itu—"

"Bangsat! Terus lo mau kasih tau satu dunia? Lo mau kasih tau Mark juga? Feyka juga?!"

Sekali lagi Dery menampar gue, menjambak rambut gue sebelum mendorong tubuh gue hingga membentur pintu kamar. Tolong percaya ini, jangankan membalas semuanya, melihat wajahnya aja gue sangat gak berani. Gue terus membisu dengan air mata yang mengalir, menerima segala kekesalannya karena gue sayang sama dia, gue sayang sama Dery but now definetely as my older brother.

"Lo jujur sama gue," ucapnya sambil menarik baju gue. "Lo udah gak sayang kan sama gue?"

"Gak gitu Dery, tapi—"

"Tapi apa?!"

"Lo bisa gak sih gak kasar ke gue?! Gue ini adik lo!"

Bugh!

Dery kembali mendorong sampai tega menginjak kaki gue berkali-kali, bahkan dia meraih tongkat kasti sampai gue gak tahu apa yang akan terjadi pada kaki gue sendiri. Gue terus menjerit kesakitan, meminta dia berhenti namun Dery seolah tuli.

"Ry gue mohon—Hendery! Sakit!"

"Gak setimpal anjing sama rasanya jadi gue."

Gue pasrah, gue hanya bisa menangis dan berteriak memohon di ruang tengah ini. Gue gak tahu mau memanggil siapa, gue hanya bisa merasakan sakit yang luar biasa.

"Ry..."

Brak!

Hentakan pintu luar yang didobrak seseorang menghentikan pergerakan Dery, akhirnya kekerasan yang dia buat bisa berujung meski rasa sakit yang ditinggalkan masih terasa sama. Gue gak bisa melihat siapa yang datang, gue berjuang mengusap kaki gue yang begitu gue lihat, sekujurnya tampak memar parah bahkan berdarah.

"Sinting betul ya lo?!"

"Bajingan, ngapain lo main masuk tanpa izin ke rumah gue?!"

"Gak peduli, kalau gue gak masuk, Aca bisa mati."

"Keluar gak lo?" Tegas Hendery.

"Lo gak mau berhenti gue telepon polisi, berani lo?"

Dery diam gak berkutik, sedangkan orang yang tadi merusak pintu rumah kami menghampiri serta memegang bahu gue. Keterkejutannya semakin menjadi begitu melihat luka-luka yang dicetak langsung oleh tangan seorang kakak yang harusnya melindungi adik perempuannya ini.

"Ca, please jangan banyak bergerak, tunggu bentar." Pintanya

"Mark..." ringis gue dengan air mata yang berderai karena gue se-gak-tahu itu mau berbuat apa terhadap luka ini. Gue mencengkram pergelangan tangan yang sengaja dia berikan ketika dia menyentuh kaki gue.

Mark menghela nafas kesal sebelum memutuskan untuk mengangkat gue. Begitu bangkit sepenuhnya, Mark menatap Dery tajam. Gue bisa merasakan deru amarahnya yang tidak tertahankan. Mark lantas berkata, "mending sekarang lo yang ke rumah sakit jiwa."

Setelah itu dia membawa gue keluar, membawa gue meninggalkan rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk gue hidup.

ARCADE ✓Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin