ㅡtiga

637 150 129
                                    

01:06 PM

Setelah menghabiskan dua hari gue di rumah sakit, gue membujuk Mark agar kita bisa segera keluar dari sana. Gue gak betah, gue juga masih takut kalau Hendery tiba-tiba datang. Gue hanya punya Mark untuk saat ini meski di satu sisi gue sebenarnya merasa sangat merepotkan. Mark terus menemani gue, maminya pun rajin menelepon, sebatas bertanya kabar, lagi dimana, juga menanyakan rasa nyeri kaki gue seperti apa.

Di dalam mobil Mark bertanya, "lo udah kabarin mami papi lo?"

"..."

"Ca,"

"Apa?"

"Lo gak kasih tau orangtua lo soal ini?"

"Palingan mereka nanya kabar lewat Dery, kan mereka emang lebih sering menghungi dia. Lagian ponsel gue gak aktif dari kemarin."

Satu tangan Mark terus mengusap bibir bawahnya, dia masih gelisah. Melihat itu gue mencoba mengaktifkan ponsel meski dengan sangat-amat-berat hati. Nyatanya ekspektasi gue terjadi, panggilan masuk dari Hendery menghiasi layar persegi panjan ini.

"Dia yang menelpon?" Tanya Mark.

Gue mengangguk.

"Gue takutnya dia berulah, jadi angkat aja, Ca. Kalau dia mengancam, teleponnya langsung kasih ke gue."

Gue masih mematung menatap layar sampai ponsel ini berdering untuk 3 kalinya, barulah setelah itu gue bersedia menggeser tombol hijau. Jantung gue berpacu lebih kencang seperti tempo hari, terus terdiam sampai akhirnya suara parau Hendery terdengar.

"Dimana?"

"..."

"Maaf Aca, I can't control my ego. Gue sadar apa yang gue lakukan itu salah. Maaf. Tapi Ca,"

Mendengar kata tapi itu mengakibatkan gue spontan memejamkan mata. Gue cukup hapal dengan apa yang akan dia katakan sebentar lagi.

"Tapi kalau lo nurut sama gue, ini semua gak akan terjadi kok. Gue seperti ini karena gue gak mau lo kenapa-napa, simple, itu aja. Gue sedikit heran kenapa akhir-akhir ini lo—"

Gue menjauhkan ponsel dari telinga, merasa jenuh jika Hendery memang akan terus begini, selamanya. Mengawali ucapan dengan memintamaaf namun akan tetap menyalahkan gue di ujung paragrafnya. He don't even know how to make me feel better than yesterday, every single day.

Setelah merasa Hendery cukup berbicara, gue kembali mendekatkan ponsel sambil berdehem. Entah itu gue sedang mengiyakan atau lebih lelah membela diri.

Hendery kembali bertanya, "gak pulang?"

"Nanti."

"Mau kemana Ca kalau gak pulang ke rumah?"

Bahkan gue sulit menyebut itu rumah sejak lo menjadi orang yang sering menggila.

"Oke, untuk kali ini gue percaya sama lo. Jangan lama-lama, mami sama papi mau pulang lusa."

Hendery langsung menutup telepon, gue menyimpan ponsel sedikit kasar pada laci di bawah dashboard mobil. Secara bersamaan kita tiba di depan rumah minimalis milik Feyka. Begitu Mark memarkir mobilnya pada sudut pekarangan, Feyka keluar dengan raut cemas melihat kedatangan kami.

Mark lebih dulu turun dengan crutch atau tongkat untuk membantu gue berjalan yang tadi disimpan di jok belakang. Saat gue membuka pintu mobil, Mark sudah tiba di depan gue.

Selagi Feyka menghampiri kita dia berkata, "lo abis jatuh kayak gimana sampai bisa begini sih, Aca?"

Well, gue bohong ke Feyka kalau gue jatuh di luar rumah, bukan karena habis disiksa sama kakak sendiri.

Feyka menambahkan, "lo udah izin ke Dery kalau mau nginap di sini?"

"Gue abis berantem, jadi gue males pulang ke rumah. Dia juga udah tau kok."

"Ca," panggil Mark. "Gak usah jalan, naik ke punggung gue aja."

"Gak usah, ini gak sakit sakit banget kok."

"Naik aja, Azalea."

Feyka lumayan terkejut saat Mark mengucapkan nama depan gue secara utuh dan memberi penekanan. Gue memilih mengikuti ucapannya karena enggan Feyka sampai curiga. Gue pun melingkarkan tangan di atas bahu Mark setelah dia meminta tolong pada Feyka untuk membawakan crutch. Kami bertiga masuk ke dalam rumah Feyka yang sunyi, karena dia adalah anak rantau yang berasal dari kota lain.

Sewaktu kita sudah berada di ruang tamu dan Feyka repot-repot mengeluarkan kue serta minumannya dari dalam dapur, Mark terus berjongkok di depan gue untuk memastikan kaki gue yang masih diperban. Gue menatapnya hingga dia bangkit, melihat mata gue lalu mengusap lembut rambut gue.

Feyka datang, Mark lalu duduk di samping gue. "Maaf Fey kalau gue udah gangguin lo dari kemarin sampai sekarang. Gue juga gak bisa bawa Aca ke rumah gue, takut Dery berpikiran yang aneh-aneh."

"Gakpapa kali, kita kayak gak akrab aja. Aca juga temen baik gue selama kuliah disini." Jelas Feyka, "tapi Dery beneran izinin Aca nginap di sini kan?"

"..."

"Kasian tau kalau orang kayak dia malah worry sama adek kesayangannya."

Gue gak bisa menampik mengenai Feyka adalah teman baik gue, tapi gue juga belum bisa memberitahu dia tentang sikap Dery selama setahun terakhir. Gue merasa berat, antara gak ingin saudara gue sendiri dicap sangat buruk atau gak bisa melihat Feyka ternyata pacaran bersama seorang monster berkedok saudara.

ARCADE ✓Where stories live. Discover now