ㅡduabelas

376 113 64
                                    

11:06 AM

Waktu terus berjalan. Sekarang sudah 2 minggu berlalu sejak gue didiagnosa mengalami keretakan tulang kering, dan sejak malam itu juga Mark selalu hadir dalam keseharian gue. Gimana sama Hendery? Yang gue dengar, dia lagi sibuk bolak-balik mengurus berkas seminar judulnya di kampus. Kita terbilang nyaris gak pernah berpapasan meski tinggal di dalam rumah yang sama.

Well, gue masih menjalani tahap recovery akibat kejadian saat itu, baik penyembuhan dari segi fisik dan mental. Bahkan sekadar melihat wajah Hendery, ruang tengah di rumah, apalagi benda yang disebut sebagai tongkat kasti itu akan memacu serangan panik seolah memecahkan seluruh saraf pada tubuh gue.

Walau perlu bantuan untuk berjalan, tapi di satu sisi gue juga gak boleh melewati jadwal konsultasi ke psikiater. Hahaha, I know, orang-orang akan menganggap gue gila atau bermental lemah karena harus berurusan dengan psikiater.

Awalnya gue pikir gue merupakan manusia gak normal, loser, sinting, terlalu cengeng karena perlu bantuan dokter buat survive sama diri sendiri. Tapi itu semua gak berlaku bagi Mark Marcelino Felton.

Selain mami, Mark adalah orang yang benar-benar peduli sama hidup gue. Papi gue sendiri bahkan gak begitu paham dengan apa yang gue lalui, apalagi anak sulungnya. Ya, mereka mirip dalam hal itu. Sementara Lafeyka sahabat gue, dia pun belum tahu kalau gue kembali ke psikiater. Iya, gue sengaja menyembunyikan ini dari dia karena gak mau Feyka kepikiran apalagi sampai dia tahu penyebabnya.

Ketika melihat tangan gue menggenggam sebuah kantung plastik kecil yang tebal, gue merasa kasihan pada diri gue sendiri. Plastik ini berisikan banyak obat, yang entah sampai kapan harus gue konsumsi. Kata capek itu adalah kata langganan gue setiap malam, dan yang bisa gue lakukan hanya bertahan. Demi mami yang pernah menangis karena mengakui gue adalah anak tercantik di muka bumi, juga Mark yang setiap pagi mengirim pesan agar gue bisa bertahan sampai malamnya.

I don't wanna lose anything, anymore, gue gak mau.

Begitu gue melamun pada kantungan obat, Mark yang seharusnya fokus mengemudikan mobil tiba-tiba meraih kantungan tersebut dan di simpan ke jok belakang.

"Kenapa?" Tanya gue.

"Aku mau diliatin."

Gue terdiam sesaat untuk mencerna ucapannya, lalu tersenyum tipis menemukan rahang istimewa dari sesosok spesial. Obat paling ampuh ketika gue terjebak dalam trauma adalah dia, manusia yang sabarnya gak pernah habis.

"Papi mami kamu kapan ke Spore lagi?"

"Besok sore," jawab gue.

Mark mengangguk paham, "kamu mau ke kafe deket kampus gak?"

"Kamu mau ngopi?"

Mark mengangguk.

"Tapi aku pakai tongkat."

"So?"

"Kamu gak malu jalan sama aku?"

Mark terkejut lalu terkekeh. "Ngapain aku malu? Aduh, kalau kamu cowok, I'm gonna break your legs."

"Ih, Mark serem."

"Makanya jangan mikir yang aneh-aneh."

Mobil pun tiba di kawasan kafe dekat kampus yang dimaksud Mark. Dia memarkir mobilnya dekat pintu masuk, katanya biar gue gak jauh buat berjalan. Gue secemas itu, takut dilihat orang-orang, takut Mark jadi gak percaya diri karena nongkrong bareng cewek sakit. Tetapi sampai di pintu kafe pun, Mark menjadi orang yang paling ceria dibanding gue yang seharusnya senang bisa datang ke tempat ini lagi.

"Mark!" Panggil seseorang yang membuat kita reflek menoleh, menemukan Dean Michael yang ternyata lagi ngumpul bersama teman-temannya—termasuk teman Mark juga.

Dean menghampiri meja kita kemudian duduk di samping Mark

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.

Dean menghampiri meja kita kemudian duduk di samping Mark. "Cuma berdua?"

Mark menjawab, "iya."

"Gila, kaki lo beneran retak Ca?"

"Masa gue bohong?"

Dean tertawa. "Anyway, Dery baru aja balik. Dia gak bilang-bilang lo mau ke sini, apalagi sama si bocah sok sibuk ini. Dari kemarin gak muncul-muncul!"

"Ya banyak kerjaan," balas Mark.

"Apa? Nemenin Aca? Jadi lo beneran ngebucinin Aca nih sekarang?"

Dean itu tahu, Dean bahkan mungkin jadi orang paling peka dibanding Mark soal perasaan gue sejak lama. Apalagi dia dan Mark sahabatan dari dulu, sampai dikira gay karena dua-duanya gak pernah kedengaran punya pacar atau sosok perempuan spesial.

"Balik sana," usir Mark.

"Aneh, gak mau ikut mabar?"

"Gak dulu, nanti aja." Jawab Mark seadanya dan sesekali menyapa temannya yang lain dari jauh.

"Lo berdua udah pacaran?"

Gue yang daritadi kerjanya hanya bingung semakin menjadi karena dihadapkan dengan pertanyaan yang gue takutkan. Bukan hanya karena teman Mark, tapi karena sampai detik ini belum ada momen yang betul-betul menunjukkan jika hubungan kita memang sudah resmi dimulai. Gue rasa, baik Mark ataupun gue belum pernah menyatakan secara resmi atau memutuskan sejak kapan kita bersama.

Atau—hanya gue yang melewatkannya?

Tiba-tiba Mark menjawab, "udahlah." Dengan penekanan.

Dean heboh sendiri, gue masih diam seperti orang idiot. Saking gak percayanya, Dean terus mengulang pertanyaan yang sama, dan sepanjang  momen itu juga Mark terus mengiyakan. Dari Mark beranjak untuk memesan makan dan minum, Dean gak berhenti menggoda gue.

Sampai akhirnya Mark jenuh dan meminta gue untuk berpose, menyuruh Dean mengabadikan peristiwa ini untuk dipamer ke semua orang, katanya. Dean mau-mau aja, karena saking tahunya Mark pernah menjauhi gue, Dean pernah bilang,

Azalea, Mark Felton is the type of boyfriend that will never be yours.

But see, akhirnya kita punya foto bareng yang gak seburuk, sejelek, dan se-awkward dulu.

But see, akhirnya kita punya foto bareng yang gak seburuk, sejelek, dan se-awkward dulu

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.
ARCADE ✓Kde žijí příběhy. Začni objevovat