ㅡempatbelas

344 102 40
                                    

7:49 AM

What a wonderful day ... Mulai hari ini gue bisa lepas sepenuhnya dari crutch, time flies so fast! Tapi gue wajib untuk tetap melakukan terapi dan konsultasi ke dokter. Proses recovery pun berjalan lancar akhir-akhir ini. Gue lega banget bisa jalan sendiri tanpa bantuan tongkat atau berpegangan dengan orang lain.

Pagi ini, selagi melangkah menuju ruang makan, gue menggeser tombol hijau di atas layar ponsel setelah Mark melakukan panggilan telepon. Perlahan gue melewati pintu kamar Hendery berusaha untuk gak menimbulkan suara langkahan sebisa mungkin sambil berbisik, "iya Mark?"

"Kamu udah sarapan?"

"Ini, baru aja mau ke ruang makan." Balas gue dengan suara yang kembali normal setelah lepas dari area kamar Hendery. "Kamu gimana?"

"Aku lagi sarapan, sendiri, soalnya mama mau berangkat kerja."

Selagi menemani Mark mengobrol, gue juga menyiapkan sarapan untuk diri sendiri. Akhir-akhir ini Mark selalu menelepon meski sekadar menanyakan kabar. Mau itu pagi, siang, sore, bahkan malam. Sebenarnya gue fine fine aja dengan ini semua, tapi gue menyadari kalau Mark seperti gelisah. Gue menunggu dia bersedia menceritakan kesenduannya, walau sampai sekarang dia belum memberitahu gue tentang itu.

"Ca, kayaknya bentar lagi aku bakal sidang skripsi."

Gue tersentak. "Kamu jago banget berarti, bukannya waktu itu masih proposal?"

"Proposal waktu itu bukan proposal skripsi, tapi proposal punya mama minta dibantu. Aku seminar judul 'kan about 5 months ago."

"Oh, iya iya. I got it."

"Kalau udah sidang, udah yudisium, setelah itu aku mau langsung apply CV ke perusahaan-perusahaan. Doain aku ya, biar aku punya uang banyak and I'll take you for spent our summertime. Together."

Gue terkekeh. "Mending duitnya kamu tabung buat beli Tesla."

"Easy. Ah Ca, bentar ya, teleponnya gak usah dimatikan. Mamaku udah mau berangkat kerja."

"Oke," jawab gue seadanya dan meletakkan ponsel di samping gelas. Gue melahap roti sambil menunggu Mark, melihat layar dan menemukan fakta kalau dia gak menyalakan mode mute seperti biasa jika teleponnya masih berjalan.

Apa dia lupa?

"Tapi kamu kayaknya memang harus ikut ke London, Marcelino. Listen to your brother, please."

"Mama ragu aku bisa kerja bagus di sini?"

"Gak, sayang. Dua bulan lagi papa kamu bebas dari penjara, dan mama gak yakin dia mau ngebiarin kamu di sini. Kemarin dia kasih tahu mama, he want to lives in London, stay with your brother Tom."

"Mama—"

"Mark,"

"..."

"Mama juga udah gak sanggup dengan omongan orang-orang sejak papa masuk penjara."

"..."

"Apalagi Watson udah angkat tangan sejak kasus papa dulu. It's our fault, dan kita gak bisa terus-terusan menjadi manusia tebal wajah."

"Mama gak suka ya sama keluarga Aca?"

"Bukannya gak suka sayang, mama sama mami Aca masih sering meet up, masih sering berhubungan. Tapi Mark pasti paham kan bagaimana dengan yang lain?"

"Like papa and Om Watson?"

Bahu gue perlahan menurun, mendengarkan percakapan Tante Felton dan Mark yang ternyata masih menyimpan banyak keresahan untuk bertahan di sini. Kunyahan gue kian melambat, mendengarkan sedikit isi hati Keluarga Felton selama kepala keluarganya masuk bui. Then it's true, papi gak mau berurusan lagi sama keluarganya Mark.

Suara dari seberang sana senyap untuk beberapa saat, mungkin Mark sedang mengantar mamanya keluar rumah. Beberapa menit berlalu, suaranya kembali terdengar.

"Oh for God sake, aku gak nge-mute ya?"

Gue tersenyum pahit menatap layar meski gak ada siapa-siapa yang melihat gue, "gakpapa, bubi."

"Aca, aku mintamaaf. Kamu dengar semuanya?"

"Iya."

"Aku gak ada maksud buat ngedengerin kamu hal-hal yang gak seharusnya. Maafin aku, please."

"Mark, kita bukan anak kecil lagi. Aku paham kok, paham banget. Ini semua di luar kendali kita."

Mark membisu sesaat, hanya suara nafasnya yang terdengar dari seberang sana. Gue membiarkan dia menenangkan pikiran hingga akhirnya dia berkata, "enjoy the breakfast ya, aku mau mandi terus jemput kamu."

"Oke, see you in a minute."

"Bye, I love you, bubi."

Sambungan terputus, gue menjadi lengah menghadapi roti lapis yang tersisa sedikit.

Tiba-tiba gue mendengar suara mami yang berasal dari luar ruangan datang menghampiri tempat gue. Gue cukup terkejut, karena seharusnya beliau masih ada di Singapura bareng papi.

"Mam—"

"Mami pulang, soalnya mami gak enak badan mulu di sana."

"Mami sakit?"

"Gak juga," balasnya singkat seraya menggeleng ringan. Sebelum meneguk segelas air mineral, mami melanjutkan, "mami gak tahu mami kenapa."

"Mami kebanyakan pikiran."

"Mungkin."

Terdapat sedikit jeda di antara percakapan gue dan mami, wanita dengan parfum khasnya itu pun sempat menyeduh secangkir kopi sebelum duduk di samping gue. Setelah mendaratkan diri di atas kursi, mami berucap, "Azalea."

"Ya, mi?"

"Mami mau tanya,"

"..."

"Kalau kakak kamu beneran nekat pindah dari sini, kamu benar-benar gak mau ikut sama dia?"

Gue menelan saliva, agak bingung dengan mami yang mendadak membahas soal Hendery. Dengan terpaksa gue tersenyum tipis, "kayaknya enggak, mi."

Mami mengangguk, "lalu—"

"..."

"Azalea, ini hanya perasaan mami ya."

Jantung gue memompa semakin gak karuan.

"Sejujurnya, mami merasa ada sesuatu yang aneh di antara kalian."

Deg!

"Kalian gak sedekat dulu, sekarang kalian malah seperti gak bersaudara. Kalian jarang ngobrol, jarang bicara. Kalau mami minta salah satu di antara kalian menghubungi yang lain, kalian pasti nolak."

"..."

"Azalea bisa jujur gak ke mami, kalian berdua abis berantem, atau ada masalah lain?"

Telapak tangan gue mendingin, disusul permukannya yang mulai berkeringat. Lambat laun jemari gue bergetar, gue gak berani menatap mata mami. Gue takut gue akan jujur dan malah menyakiti hatinya. Tapi apakah mungkin gue bisa menyimpan semua kebohongan dan penyesalan ini seumur hidup?

ARCADE ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang