ㅡlimabelas

324 103 43
                                    

8:20 AM

"Azalea bisa jujur gak ke mami, kalian berdua abis berantem, atau ada masalah lain?"

Telapak tangan gue mendingin, disusul permukannya yang mulai berkeringat. Lambat laun jemari gue bergetar, gue gak berani menatap mata mami. Gue takut gue akan jujur dan malah menyakiti hatinya. Tapi apakah mungkin gue bisa menyimpan semua kebohongan dan penyesalan ini seumur hidup?

Mami kemudian meraih tangan gue untuk berusaha meyakinkan, "apapun yang Aza katakan, akan mami hargai. Apa ini karena Dery gak suka lihat kamu sama Mark? Karena mami tahu, dari dulu kamu suka sama Mark."

"..."

"Gak usah takut, di rumah cuma ada kita, kan? Tadi Dery nelepon mami, katanya dia lagi jemput Feyka."

Gue menatap tangan mami yang hangat, atau mungkin suhu tubuh gue yang terlalu dingin. Dengan perasaan yang bergejolak, gue semakin lemas dan berusaha bersua, "mi."

"Ya sayang?"

"Aza mau jujur, dan mami boleh marah, mami boleh..."

"..."

Air mata gue menggenang, gue begitu takut.

"Azalea, it's okay."

Gue mengangguk perlahan, berusaha memantapkan pendirian. "Aku dan Dery memang lagi berada dalam situasi yang gak begitu baik, mi."

"Alasannya?"

"Karena—karena Dery gak suka aku keluar dan berdekatan sama cowok lain, apalagi sama Mark. Mami, sejak beberapa bulan terakhir, Dery sering mukulin aku kalau aku gak nurut sama ucapannya, meskipun dia beralasan dia mau menjaga aku."

Mami menjadi sangat syok.

"Jika mami kira itu karena statusnya sebagai kakak, gak mi. Itu bukan alasannya, itu bukan alasan sebenarnya, mi."

"..."

"Aza dan Dery pernah menjalin hubungan seperti hubungan Dery dan Feyka saat ini."

Perlahan genggaman mami terlepas, beliau menatap mata gue seolah mencari-cari kebohongan yang memang gak gue lakukan saat ini.

"Mami." Suara gue bergetar, berusaha menahan tangis yang akan pecah lebih keras lagi. "Maafin Aza ya mi, tapi Aza udah sadar kok, Aza udah memohon ke dia untuk berhenti. Sayangnya Dery malah marah, Dery makin mengekang Aza, dan luka di kaki Aza ini,"

Mami melirik ke bawah.

"Itu karena dia yang memukul Aza secara brutal, bukan karena aku jatuh atau seperti yang Aza bilang waktu itu."

Gue bisa melihat kepasrahan di wajah mami, yang berarti—gue sudah sangat mengecewakan beliau. Gue gak tahu akan melakukan apa lagi, gue sudah sangat siap kalau mami akan ikut memukul gue.

Tiba-tiba mami berdiri, membuat gue mendongak sepenuhnya. Dengan wajahnya yang mulai lunglai, mami berkata, "can we talk about it later?"

"..."

"Mami rasanya pusing, mami mau ke kamar dulu untuk istirahat. Ya?"

Gue segera menyusul dia untuk bangkit, "aku antar ke kamar."

"Gakpapa, gakpapa, kamu di sini aja."

"..."

"..."

"Mami mau kasih tahu papi?"

Dengan air matanya yang menggenang, mami menjawab, "bahkan untuk menelepon dia aja mami gak sanggup. Mami takut kamu dihabisi sama dia, mami belum siap untuk berpikir apapun tentang ke depannya. Just let me take a rest, oke?"

Gue membisu, gak bisa merespon sekata pun pada mami. Pelan-pelan beliau berbalik, meninggalkan gue dengan terus melangkah menuju kamarnya. Gue terus menatap punggung mami, secara gak sengaja mendengarkan isakannya yang meluncur sebelum menutup pintu kamar.

Hancur, gue merasa sangat hancur melihat orang yang selalu mempercayakan segalanya pada gue, menangis karena kejujuran gue. Kenapa gue gak lega? Kenapa rasanya sebentar lagi dunia gue akan hancur berkeping-keping?

Pikiran gue melayang entah ke mana, gue menjadi lelah untuk berpijak. Sesaat setelah memandangi kamar mami dalam waktu yang lama, gue berbalik, bermaksud untuk membereskan sisa-sisa sarapan gue sebelum kembali ke kamar. Namun sialnya gue menemukan kehadiran Lafeyka Lynch yang mematung di ambang pintu dari arah ruang tamu.

Belum sempat gue menenangkan tangan yang belum berhenti untuk bergetar, sekarang gue kembali dihadapkan dengan Feyka yang terus menatap gue dengan air matanya yang menggenang.

"Fey—"

Tangan Feyka meletakkan sebuah paperbag di atas meja sebelahnya, "ini buat mami. Gue mau pergi dulu."

"Fey." Panggil gue dengan langkah yang terseok berusaha mengejar Feyka yang berjalan keluar. "Feyka!"

Dia gak memperdulikan gue, dia mulai berlari.

"Lafeyka!"

Tiba-tiba Hendery muncul dari luar rumah, menahan kekasihnya itu dengan raut terkejut, "kamu kenapa?"

Feyka menatap Hendery penuh amarah yang tanpa gue duga, Feyka tiba-tiba menampar Hendery. "Sue you," ucapnya sebelum benar-benar pergi meninggalkan lelaki itu yang membeku di tempatnya.

ARCADE ✓Where stories live. Discover now