ㅡtigapuluh dua

280 64 27
                                    

9:54 PM


"Mami masih ada di rumah Tante Fanny, mami baru bisa pulang lusa. Aza udah makan, sayang?"

"Iya, mi. Aku baru aja sampai di rumah Mark, kemarin aku nginap di rumahnya Feyka. Dan mungkin... Aza juga mau pulang ke rumah."

"Kamu jangan ke rumah sendiri,"

"Mi—"

"Tunggu mami pulang, mami sudah bicara sama mamanya Mark untuk jaga kamu beberapa hari lagi. Pokoknya Aza jangan pulang dulu, nak."

Suara mami masih terasa berat, dia terlalu mengkhawatirkan gue. Di sisi lain gue gak bisa untuk berada di rumah orang terus-terusan walaupun semua orang berkata mereka paham dan bersedia. Gue merasa beberapa masalah sedang datang secara bertubi-tubi, dan gue gak boleh bergantung pada orang lain dalam waktu yang lama.

Gue takut gue malah gak bisa mengurus diri sendiri ke depannya.

"Mi, nanti kalau mami udah pulang, kita mau ke mana?"

Beliau diam sejenak, membuat gue kembali mengusap lembut kepala Mark yang sedang terlelap di atas sofa tepat di samping gue. Beruntung sofanya terasa senyaman itu, jadi Mark sangat pulas.

"Za, mami want to tell you something important."

"Iya, aku dengar."

"Mami sudah melayangkan surat cerai untuk papi kamu, maaf kalau mami melakukan ini ya, Aza."

Sebenarnya gue sedih, gue terkejut dengan keputusan mami meskipun itu adalah pilihan dia sendiri setelah bertahan sekian lama. Namun dengan segera gue menjawab, "gakpapa, mi. Aza hargai semua keputusan mami, yang penting aku ikut mami aja."

"Makasih, Azalea udah jadi anak mami yang sangat pengertian. Maaf ya Za jika mami belum bisa menjadi ibu yang baik."

"Mami, you're the best mother—ever. Makasih ya mi, I love you."

Beliau terkekeh di seberang sana, tapi gue bisa merasakan kegundahannya yang masih berlanjut. "Katanya kamu lagi pusing ya sama kuliah?" Tanya mami santai.

Gue berdehem.

"Kalau kamu udah gak kuat, udah capek, mami gak masalah kamu ambil cuti, atau apapun itu. Jangan sampai kamu maksain diri sendiri lagi."

"..."

"Trust mami, selama kamu ada nemenin mami, itu sudah sangat berarti buat mami."

Mungkin, mungkin aja, mami gak mau merasa kehilangan lagi. Ini adalah titik di mana gue sangat bersyukur karena memiliki seorang wanita hebat yang menyayangi dan mengerti semua seluk-beluk keresahan gue. Gue pernah membuat kesalahan besar, namun sebagai orangtua dia selalu menerima gue. Dan mungkin, mungkin lagi, gue gak boleh mengecewakan dan membuat dia kesepian untuk yang kedua kalinya.

Ke mana pun mami pergi, gue harus berada di sisi dia. Pilihan yang begitu tepat untuk gue saat ini.

Hampir setengah jam gue menghabiskan waktu mengobrol dengan mami, beliau akhirnya berpamitan untuk mengakhiri sambungan. Setelah teleponnya terputus, gue meletakkan ponsel kemudian menatap Mark Marcelino Felton dengan lembut.

"Terimakasih karena kamu selalu jadi rumah di saat aku butuh itu," bisik gue mengelus pelipisnya.

"And I really loves you."

Gue tersentak saat tahu ternyata dia gak tidur.

"Aku seneng banget, Ca, lihat pacarku sesayang itu sama ibunya, sama orang-orang yang sayang sama dia." Ucapnya seraya menghadap ke atas dan menyingkirkan tangan gue untuk digenggam. "Kamu udah punya pilihan lain sekarang?"

Gue ragu menjawab Mark.

"Gakpapa, bi. Gakpapa. Aku akan berusaha mengerti dan memaklumi keputusan kamu. Aku sadar... aku bukan satu-satunya orang yang berharga di kehidupan kamu."

Mata gue mulai berair, gue benci di saat gue harus memilih.

"Keluarga memang sangat berarti, kan?"

Gue mengangguk, "mami satu-satunya keluargaku yang tersisa untuk sekarang, Mark."

"Hei gakpapa, jangan nangis."

It's his first time to say, jangan nangis. Padahal biasanya dia meminta gue mengeluarkan semua kesedihan gue.

"Mungkin udah jalanku ikut papa dan Kak Tommy ke London, dan kamu nemenin mami. Gakpapa... semuanya akan baik-baik aja, Ca. Apa jarak emang sehebat itu untuk menghalangi kita?"

Gue mendongak, berusaha menyembunyikan kesedihan ini dari Mark. Dia lalu mendengkus, mengalihkan tatapannya untuk memejamkan mata. "Biarin aku tidur lagi ya, kayak gini. Nyaman banget, gak bohong."

Gue menutup mulut agar isakan ini gak terdengar. Tuhan, kenapa sesulit ini sekadar mempertahankan?

"Ca,"

"..."

"Loving you is a losing game."

—

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.


ARCADE ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora