ーduapuluh sembilan

226 70 10
                                    

5:00 PM


"Aca, bangun."

"Aca, Feyka udah pulang."

"Aca."

Lambat laun gue mengerjapkan mata, menemukan pemandangan dari kursi sebelah pengemudi yang sedang gue tempati. Gue berusaha menetralkan fokus setelah beberapa menit tertidur, dan akhirnya gue mengingat kalau gue sedang menunggu Feyka pulang.

"Kamu capek ya?" Tanya Mark menarik perhatian gue untuk menoleh.

Gue bertanya, "aku tidurnya kelamaan ya?"

"Enggak kok, baru setengah jam. Tuh Feyka."

Gue menengok ke arah Mark mengendikkan dagunya, menemukan kehadiran Feyka si cewek bertopi baret menghampiri mobil ini dengan cerianya. Lagi-lagi Feyka menyembunyikan sisi lain yang seharusnya tidak terus dia pendam.

Feyka mengetuk kaca jendela dan segera gue turunkan. Sebelum dia berbicara gue lebih dulu berkata, "iya gue turun sekarang."

Dia menyengir, "sorry gue pulangnya telat sejam, ada urusan mendadak. Kenapa gak langsung masuk aja, sih?"

Selagi turun dari mobil gue meraih lengan Feyka, "gakpapa Fey pokoknya gakpapa."

"Kok gitu sih?"

"Dibilang gakpapa juga. Gue kangen aja sama lo makanya gakpapa."

"Katanya lo abis diomelin Kak Jamal ya?"

Bahu gue menurun, "jadi pusing Fey kalau ingat itu."

Sambil membuka pintu rumahnya Feyka menimpali, "hidup emang gak bisa dilembek-lembekin ya, Ca? Mark, masuk sini."

"Iya, Fey."

Gue menoleh pada Mark yang berjalan di belakang kita, dia lantas tersenyum. Setelah itu gue kembali melihat ke depan, menemukan hamparan ruang utama rumah seorang Lafeyka Lynch. Ada beberapa ingatan yang baik dan buruk di tempat ini, namun gue berusaha membuat sisi yang baik itu lebih dominan.

Feyka meminta gue dan Mark duduk di sofa, sedangkan dia di seberang kita. Gue bisa merasakan Feyka hanya berpura-pura baik-baik aja, senyum palsunya itu gampang terbaca.

"Fey," panggil Mark. "Dery tadi ke kampus, lo ketemu sama dia?"

"Mark—" tegur gue sedikit berbisik. "Gak usah bahas itu."

Suasana menjadi canggung sesaat, namun Feyka segera menyelamatkan percakapan kita dengan santai. "Iya, tadi gue ketemu dia kok." Balasnya lembut.

Gue terdiam.

"Dia mintamaaf, berusaha ngejar gue untuk mintamaaf. Sampai dia bela-belain menunggu gue di depan dekanat berjam-jam. Awalnya gue mau nolak untuk mengobrol sama dia, tapi karena gue kasihan jadi sebelum gue pulang, gue meluangkan waktu untuk ngobrol sama Dery."

"Dia gak macam-macam kan?"

Feyka menggeleng, "tenang aja."

Kita bertiga sempat membisu satu sama lain. Tampaknya pembahasan mengenai Hendery memang masih gak sebagus itu untuk kita semua. Gue bimbang untuk tergerak melakukan sesuatu agar Feyka merasa nyaman dan tidak tertekan. Gue masih sadar, mau gimana pun juga gue masih adik dari mantan kekasihya.

"Hm..." Feyka bergumam sebentar, "tadi gue bener-bener mutusin dia."

Sebenarnya itu bagus, itu normal, itu keren. But out of nowhere terdapat rasa yang kurang mengenakkan dalam batin gue.

"Udah jelas banget kita harus berpisah, kita harus menjalani hidup masing-masing. I forgive him, gue gak mau terus-terusan dendam atau apalah ke orang lain, termasuk Dery. Setidaknya gue udah bilang kalau lebih baik kita gak terus-terusan bertemu ke depannya."

Dia menghadapi masalahnya dengan tenang, dia punya caranya sendiri menyelesaikan ceritanya. Tapi orang-orang gak tau bagaimana batinnya berkecamuk melawan pemikirannya sendiri.

"Dery punya sisi yang baik kok, dia pernah mengistimewakan gue. Walaupun gue gak tahu sepenuhnya tentang dia saat kita masih pacaran."

"At least he let you free, at least."

Feyka mengangguk, tersenyum, menatap kami berdua dengan pupil mata yang berair tanpa memberi makna tentang pendiriannya yang sebenarnya.

ARCADE ✓Where stories live. Discover now