ㅡduapuluh dua

298 89 26
                                    

Ada yang sedang-sangat-tidak baik-baik saja. Anggap saja 'dia' sedang berusaha melawan gejolak batin yang kian memburuk di dalam dirinya.

Ada yang benar-benar sadar jika dia memberi bencana meski sekadar memori lama. Dan pada akhirnya, 'dia' memilih untuk tidak memperdulikan semuanya yang tidak berjalan semestinya.

Ada yang benar-benar mengasihi yang terkasih meski dirinya sendiri sedang di bui dalam hati. Apa berarti 'mereka' masih dalam situasi untuk memilih?

Tidak semua orang bisa kembali bangkit, tidak semua orang bisa menjadi jahat agar keinginannya merasa adil terpenuhi. Tidak ada... tidak ada yang benar-benar sama di dunia ini.

Mungkin satu dari sekian perbandingan persamaan kita hanyalah... kembali melihat bayangan diri sendiri.


Azalea Side


09:14 AM


Suhu ruangan yang mengelilingi gue semakin menurun. Gue berusaha mengerjapkan mata, menemukan langit-langit kamar dan jam dinding yang menunjukkan kalau sudah hampir dua hari sejak gue pulang ke rumah. Rumah ini telah menjadi rumah gue sejak 7 tahun lalu. Tapi sekarang, gue merasa ini sudah bukan tempat yang tepat lagi untuk pulang.

Gue pun berusaha bangkit dari tidur, bersama tubuh yang terasa remuk padahal yang gue lakukan dari kemarin hanya menangis dan semakin stres. But anyways, gue ingat kalau Mark dan Feyka berjanji akan menemani gue secara bergantian di sini. Semenjak kepulangan dan histeris gue hari itu, gue malah ketakutan untuk keluar kamar. Semua aktivitas gue menjadi terhalang, bahkan gue absen kuliah sudah nyaris sebulan. Gue juga belum bisa menatap ponsel sendiri, jadi Mark dan Feyka akan menghubungi gue lewat mami.

Tiba-tiba,

"Jadi ini yang terjadi kalau saya di Spore?!"

Gue semakin henyak ketika mendengar suara papi yang berasal dari luar kamar. Seharusnya dia masih ada di Singapura. Lagi-lagi, orangtua gue pulang tanpa ada pemberitahuan secara pasti.

Dengan rambut cukup berantakan, gue berusaha membasuh wajah sebelum keluar dari kamar. Gue memberanikan diri meninggalkan ruangan, apalagi setelah mendengar suara mami yang berteriak.

Gue melangkah dengan tangan yang meraba dinding. Gue berhenti di anak tangga teratas saat menemukan Hendery tengah berlutut di depan papi di lantai bawah.

"Gak heran kalau anak kamu kasar, karena papinya juga kayak gini!" Gertak mami.

"Sekarang kamu melawan?!"

"Saya udah cukup sabar bertahan sama kamu, Watson. Saya udah gak bisa tahan dengan ego kamu, selingkuhan kamu, merahasiakan semua dari anak-anak, saya sudah capek!"

"Mami!"

"Urus diri kamu sendiri!"

Nafas gue memburu, menatap papi yang gusar mengusap wajahnya frustasi. Gue ragu untuk muncul ke bawah sana, sangat syok setelah tahu orangtua gue menyimpan rahasia seburuk ini.

"Hendery, sekarang kamu jujur sama papi, masalah apa yang kamu maksud?!"

Hendery tersentak, dia semakin menunduk tanpa menjawab papi.

"Bisu kamu?! Jawab papi!"

Hendery masih sama dan malah mengepalkan tangannya.

Tiba-tiba papi maju selangkah dan menampar Hendery sangat keras, "anak bodoh!"

Muak karena Hendery tidak kunjung jujur, mami melampiaskan amarahnya sekali lagi.

"Anak kamu itu inses! Dia juga sudah beberapa kali menyiksa adiknya sendiri! Kamu tau Mark anaknya Felton, kan?! Dia yang berusaha buat Aza bertahan untuk hidup, bukan Hendery!"

Papi termangu, menatap mami gak percaya. "Apa? Coba kamu ulang, biar saya bisa memastikan kalau yang saya dengarkan itu salah."

Mami tidak menggubris papi, kembali menangis, dan menyentuh pelipis wajahnya untuk meluapkan segala emosi.

Papi beralih untuk menghadapi Hendery lagi, "kamu— kamu jujur, kamu jawab, apa yang mami bilang itu salah kan?!"

Hendery menjawab dengan suaranya lirih, "apa yang mami bilang..."

"..."

"Itu benar, pi. Hen mintamaaf—"

Bug!

Papi menghantamkan permukaan tangannya sebanyak dua kali pada wajah Hendery, mendorong cowok itu sampai tersungkur. Gue reflek berlari menuju hadapan papi, meminta beliau untuk segera menyudahi amarahnya.

"Papi! Papi stop! Papi kasian dia!"

Sayangnya papi seolah tuli, terus melayangkan tangannya sampai gue memilih untuk berdiri di depannya dan nyaris mengenai gue.

"Papi, Aza mohon..."

Rahang gue memaksa untuk tidak bergetar, menahan tangis meski pada kenyataannya... gue pernah berada di posisi Hendery. Seharusnya gue tertawa dan memaki orang itu, merasa menang karena akhirnya dia merasakan penderitaan gue, aight?

Tapi gue gak bisa, gue gak tega. Bagaimana pun juga dia pernah jadi kakak yang baik sebelum semuanya mulai memasuki babak yang hancur.

Gue gak bisa, sangat-gak-bisa hanya menjadi penonton ketika seseorang merasakan penderitaan yang pernah gue rasakan. Memang benar kalau kakak kandung gue sendiri adalah sumber trauma, dosa, hingga penyakit mental dan fisik gue saat ini. Tapi demi apapun itu, gue kehilangan alasan kenapa detik ini gue menjadi tamengnya, selain sekadar mengingat kebaikan Hendery sebagai kakak yang dulu pernah dia lakukan ke gue.

Lambat laun gue menatap foto keluarga kami dengan sangat sendu. Gue bisa ingat secara rinci bagaimana Hendery pada saat itu melakukan perannya sebagai anak pertama dalam keluarga, bagaimana papi dan mami saling mengasihi satu sama lain sebelum mereka harus menetap jauh dari anak-anaknya.

Sepertinya gue mulai gila, gue mulai gila karena gue mulai berangan jika semuanya akan bisa seperti dulu lagi. Seandainya saat itu gue gak setuju untuk menuruti hubungan terlarang itu, mungkin semuanya gak akan seperti ini.

Atau setidaknya, gue bisa lebih awal dan lebih kuat untuk menghentikan segalanya.

Gak akan, Azalea. Gak akan. Semuanya... semuanya sudah hancur.

ARCADE ✓Where stories live. Discover now