「finale」

445 70 51
                                    

With :
Arcade by Duncan Laurance


Writer Side




Writer Side

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



"Mark, aku tuh pernah denger! Katanya sebelum manusia terlahir ke dunia, kita semua diberi pilihan setelah seluruh kehidupannya yang akan datang diperlihatkan!"

Lelaki yang mendengar penuturannya tertawa ringan menatap, sesekali menatap si kekasih melalui pantulan kaca spion motor. Lelaki itu sedang membawa Superbike Ducati hitamnya dengan kecepatan cukup kencang. Sesekali dia menyalip kendaraan lain, membawa adrenalin tinggi bagi kekasihnya.

"Mark udah ya!"

"Hahaha ampun, ini bahuku udah kusut banget kayaknya dicengkram terus!"

"Makanya!"

"Peluk bi, biar gak jatuh!"

"Jangan balap biar gak jatuh!"

"Hahaha!"

Benar-benar menyusul beberapa detik, lelaki itu baru menghentikan aksinya setelah memasuki suatu puncak bukit yang dikelilingi damainya malam. Bintang-bintang seperti menyambut Azalea dan Mark yang kali ini mengenakan kemeja yang sama.

Seandainya saja langit tahu mereka datang bukan untuk membuat kenangan indah.

"Lanjutan manusia diperlihatkan kehidupannya tadi apa?" Tanya Mark yang sengaja turun lebih dulu untuk membuka helmet milik Azalea. "Kamu belum jelasin kelanjutannya."

"Hm, kamu mau tau gak kemungkinan aku bisa setuju buat terlahir ke dunia?"

"Apa itu?"

"Bisa ketemu sama kamu."

Tawa Mark meledak, menemukan gadisnya dengan raut wajah yang jauh lebih baik di banding 3 bulan yang lalu. Sekarang sudah memasuki bulan kesekian keduanya menjalin kasih, dan keduanya juga masih belum percaya mereka bisa melewati masa-masa rumit dan unik secara bersama-sama.

Azalea resmi mengajukan surat cuti perkuliahan dan memintamaaf pada asisten dosen yang juga keluarga Mark itu, mengenai kelalaian dia dalam berkuliah semester sebelumnya. Dia gak perlu menjelaskan secara rinci penyebab dia banyak mangkir dari perkuliahan, dan dia gak bisa memaksakan diri.

"Jadi, kamu sama mami pilih ke Norway?"

Azalea mengangguki pertanyaan Mark, "di sana ada teman mami yang mau bantu urusan kepindahan kita, so—"

Mark mengangguk paham meski Azalea belum selesai menjawab. "You always being you," lengkapnya usai menatap Azalea cukup lama.

"Maksudnya?"

"You always shining."

Azalea mendengkus kemudian mengalihkan pandangannya menuju langit, menyebabkan Mark mampu menemukan profil samping seorang gadis yang selama beberapa tahun terakhir mengisi rutinitasnya mulai dari menjadi adik dari temannya, sampai menjadi kekasihnya.

Dia Aca, dia indah, dan dia kuat.

"Gimana sama ayah kamu?"

Mark bingung, "kenapa?"

"Ayah kamu, gimana kabarnya?"

"Oh... baik kok, dia nyari kamu. Katanya tumben hari ini gak ke rumah."

Azalea hanya tersenyum, tidak memberi makna lanjutan mengenai senyuman itu. Selang beberapa menit Azalea bertanya, "pasti London indah banget, Mark."

"Norway juga."

Keduanya lantas terdiam, termenung dalam lamunan masing-masing. Bukit dan malam menjadi saksi bagaimana keduanya gundah dalam menyampaikan perasaan masing-masing. Baik Azalea maupun Mark cukup bingung, bagaimana mereka harus menyudahi malam ini.

Tiba-tiba Mark meraih tangan Azalea dan mengusapnya lembut, "I'll miss your hand, your face, your heart, and it's only you."

"Menurutku... kamu bisa dapatkan yang lebih dari aku."

"Aku benci kalimat itu."

Azalea terkekeh, "maaf."

Kini Mark menjadi serius dengan ekpresi wajah yang tidak semanis biasanya. "Kamu adalah kebahagiaan yang aku harapkan, Ca. Dan aku senang bisa menjadi bagian dari hidup kamu."

"Meski kita gak berakhir bersama?"

Mark bungkam, dia masih berjuang untuk mempertahankan.

"It's okay, Mark."

Rahang lelaki itu bergetar, lambat laun kepalanya menggeleng untuk menolak.

"Aku mau kamu fokus di London, fokus kerja sama Kak Tom, hidup dan bahagiain kedua orangtua kamu. Itu akan jadi hadiah terbaik buat hidup kamu kalau kamu berhasil bahagia di jalan kamu sendiri."

"Ca, aku pilih jalan menuju kamu."

"..."

"Kamu serius untuk ini?"

"Look,"

Mark mendongak, menemukan sepasang mata kesukaannya yang mulai berair seperti miliknya.

"I love the way you love me, the way you save me, the way you treat me. Kalau aku ingat-ingat lagi, alih-alih bisa jadi pacar kamu, aku lebih senang kalau mengingat berapa beruntungnya aku bisa ketemu sama kamu."

Mark tersenyum lirih.

"Kita harus belajar untuk mencari hidup kita yang sebenarnya dulu, oke?"

Mark memalingkan wajahnya sesaat menuju langit, kemudian kembali menatap Azalea. "Kamu janji ya harus baik-baik aja. Sehat-sehat, rajin makan, apapun yang terjadi, kamu harus baik-baik aja."

Pertahanan Azalea runtuh, dia mulai menangis dan enggan melihat wajah Mark.

"Do not be sorry for being you are."

"Yes."

"..."

"..."

"..."

"Mark,"

"Ya."

"Maafin aku."

Reflek Mark memeluk Azalea erat, sangat erat, seolah tidak akan pernah membiarkannya pergi. Azalea dibuat menangis hebat karena itu, mengingat segala kenangan mereka yang akan selalu melekat dalam memorinya. Bagaimana kerasnya lelaki ini untuk membawanya pergi dari dosa dan kesalahan di masa lalu, bagaimana sabarnya lelaki ini menemaninya untuk sembuh, bagaimana teguhnya lelaki ini mendampinginya untuk terus bertahan.

"Aku sadar, aku terlambat jatuh cinta dengan kamu, Ca." Bisik Mark semakin mengorek kesedihan Azalea, "dan sekarang aku dihukum karena aku dibuat sulit untuk melepas kamu."

"Isn't your fault."

"It's on me, it's on me."

Melepaskan dan dilepaskan, akan sama-sama menyakitkan.

"Bahagia, sayangi diri kamu, dan nanti aku akan mencari kamu."

"Terimakasih, jika itu memang akan terjadi."

"Dan kalau memang gak akan terjadi, kamu hanya perlu menjadikan kisah kita sebagai bukti... kalau kita pernah bersama seperti ini."

"Makasih, Aca."

"Thank you, Mark."

















ARCADE
fin.

ARCADE ✓Where stories live. Discover now