WTL #10

807 70 34
                                    

anyone miss me?

•  W O U N D I N G   T O   L O V I N G  •

"Jilan!"

Sebuah mobil merah menepi secara mendadak dan hampir menabrak Jilan jika saja gadis itu tidak segera menarik dirinya mundur. Seorang lelaki tinggi keluar dari mobil itu, berjalan tergesa menghampiri Jilan, takut jika gadis itu lari.

"I'm sorry. Lo mau denger gue minta maaf berapa kali, Lan?" tanya Jeano frustasi. Lelaki itu benar-benar kewalahan saat Jilan mengabaikannya seminggu penuh. Bersikap seolah Jeano tak pernah ada.

Jilan mendecak, "Gak penting sebanyak apa lo minta maaf. Lo tau salah lo apa?"

Jeano sedikit bernapas lega karena Jilan akhirnya kembali berbicara padanya. "Gue keterlaluan minggu lalu. I was, losing control, too harshI'm totally sorry, I was really wrong, but you're wrong too."

See? Jeano bahkan masih berusaha membela diri dan menyalahkan Jilan. Jilan mengangguk-angguk, "Iya, gue salah."

Jeano tersenyum puas.

"Gue salah, harusnya I'm not falling in love with you, harusnya gue nggak perlu nangis-nangis depan lo minta bantuan. Harusnya gue—"

"Pertahanin bayi lo?"

Jeano memotong, membuat Jilan bungkam sesaat dan mengalihkan tatapannya. Kini Jeano mengangguk-angguk.

"Salah lo ngambil hak hidup bayi lo. So we're fair, right? Gue salah, lo salah. We'll repair us."

Jilan diam sesaat sebelum kembali berbicara, "Can you just stop talking about—"

"Gue masih simpen foto USG bayi lo waktu itu. How old was it? Ten weeks? Pertama dan terakhir kalinya lo liat bayi lo sebelum lo mutusin buat aborsi. Selama itu, siapa yang nemenin lo?" tanya Jeano, mulai membalikkan keadaan.

"What if I tell them? Mereka nggak bakal nyalahin lo for being raped. But they would totally blame you for being a bad mother." lanjut lelaki itu, "Selama ini siapa yang nutupin? Siapa yang bantuin lo sembuh dari trauma lo bunuh bayi?"

Jilan menatap kedua manik mata Jeano, "Lo pikir lo nyembuhin gue selama ini? Lo inget nggak yang selama ini lo lakuin ke gue apa?"

"Lo ngerendahin gue, Jeano. Lo bikin gue sadar seberapa menjijikannya gue, seberapa rendah gue di mata lo sampe-sampe lo seenaknya selingkuh dan nganggep kalo gue bakal selamanya maafin semua kesalahan lo." lanjut gadis itu, masih berusaha membuat Jeano sadar akan kesalahannya.

Jilan merasa pertahanan dirinya mulai bangkit, "Sebanyak apa sih gue ngajak lo putus selama ini? Lo pernah nggak sih sekali pun mikir kenapa gue ngajak putus?"

"Gue mau putus bukan karena lo selingkuh. Tapi, gue ngerasa nggak berharga, gue ngerasa bener-bener rendah di mata lo. Gue nggak ada harganya di mata lo. Okay, gue salah karena gue aborsi. Tapi, siapa sih yang mau kehilangan mimpi karena anak dari cowok yang bahkan nggak gue kenal?" Jilan lagi-lagi berbicara, membiarkan Jeano bungkam.

"Serendah apa sih gue di mata lo, Je? Pernah lo mikirin perasaan gue saat lo ngomong kayak kemaren? Lo bisa anggep itu enteng?"

Jilan menjeda ucapannya, menarik kerah baju Jeano saking kesalnya, "Keterlaluan, Jean! Bener-bener keterlaluan! Even Mama Papa gue nggak pernah sekalipun ngomong sesampah itu." lalu Jilan kembali menghemoas kerah seragam lelaki itu.

"Please, Je. Mirror."

• • • • •

Pukul 2 pagi, Jeano datang mengetuk pintu balkon kamar Jilan membuat si pemilik kamar terpaksa bangun. Jilan amat sangat enggan membuka pintu tersebut jika saja kondisi Jeano tak sekacau ini.

Lelaki itu kini duduk di lantai dingin balkon, menyandar pembatas balkon menunggu Jilan mengambil kotak P3K dari dalam rumahnya.

Jilan kembali, hendak duduk di hadapan Jeano jika saja lelaki itu tak menahan Jilan agar tetap berdiri.

"Apa?" tanya Jilan, tak dijawab Jeano sama sekali. Lelaki itu membuka hoodie miliknya, menaruhnya di lantai sebagai alas Jilan duduk.

"Kenapa lo kesini?" tanya Jilan, memulai untuk membersihkan luka-luka Jeano yang sepertinya jatuh dari motor. Bahkan celana dan hoodie yang Jeano pakai tadi robek.

"Lo rumah gue."

Jilan hanya mendengus mengejek, kembali fokus untuk mengobati luka dari wajah hingga lengan dan kaki Jeano. Tidak ada percakapan setelahnya, hanya angin malam yang berhembus dingin dan suara kecil ringisan Jeano.

"Sorry."

Jilan tak bergeming, tak menggubris permintaan maaf Jeano.

"Abis ini pulang, terakhir kalinya lo kesini." seru Jilan bersikap dingin, masa bodoh dengan Jeano yang menatapnya terkejut.

"Gue sayang lo, Lan."

"Gue nggak perlu rasa sayang lo, Je." balasnya acuh.

"How?" tanya Jeano, mengharap balasan dari Jilan, menunggu gadis itu untuk merespon.

"How to make you come back?" lanjut lelaki itu, masih tak mendapat jawaban dari Jilan.

"Gimana caranya bikin lo sadar diri, Je? Gue ngerti lo bantu gue banyak banget. Tapi keterlaluan nggak sih kalo lo perlakuin gue kayak gini? It's even not a relationship. It's a bondage, lo atur-atur gue while you're free. Lo pikir gue anjing?"

Jeano masih diam, memperhatikan Jilan yang meledak-ledak sembari menekan luka Jeano dengan kasar. Jeano bersumpah dirinya akan teriak sangat kencang kalau saja ini bukan jam 2 pagi.

Jilan kembali menuangkan alkohol pada kapas yang baru, "Lo selalu mikir kalo gue bakal terus maafin lo dan lo terus ngulang kesalahan lo. You said we'll repair us, but the one who needs to fix is you."

Jeano diam, begitupun dengan Jilan yang menyudahi kegiatannya mengobati Jeano. Kini lelaki itu tampak tak sekacau tadi, banyak kain kasa dan plester pada sekujur tubuhnya.

"It's neither a hospital nor your home. So don't come back."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Wounding to Loving | Lee JenoWhere stories live. Discover now