“Hm. Jangan dibuang lagi. Jika aku tidak menemukan kalung ini di lehermu, bersiap saja, kau akan berakhir lemas di atas ranjang.” Kaivan berjalan mendekati Gesya yang kini tengah mencebikkan bibir kesal.

“Dasar mesum.” Gesya memutar bola matanya. Awas saja jika Kaivan mesum juga pada perempuan lain. Ia paling benci pada laki-laki yang tidak bisa menjaga pandangannya.

Kaivan mulai memakaikan kembali kalung itu di leher Gesya dan Gesya terima-terima saja tanpa penolakan.

“Ayo ke dalam,” ajak Kaivan begitu selesai.

Gesya mengamati kalung yang melingkar di lehernya. “Duluan saja, aku susah jalannya. Kalau bersamaku kau akan marah-marah, aku terlalu lambat.” Gesya membuang muka tidak mau menatap Kaivan.

“Marah lagi?" tanya Kaivan yang paham maksud Gesya. Tentu saja Kaivan tahu sebab Gesya kesusahan berjalan, itu karenanya. Kaivan sadar diri.

“Tidak. Aku tidak marah,” balas Gesya ketus. “Aku hanya bertanya-tanya kenapa suamiku tidak punya otak. Apa dia tidak berpikir jika itu pertama bagiku? Bagaimana jika aku trauma dan tidak mau disentuhnya lagi. Dia memang bodoh! Tidak punya hati! Aku membencinya!”

“Ayolah, itu juga yang pertama bagiku. Tapi aku tidak membencimu.” Kaivan mengangkat tubuh Gesya. Membiarkan kaki Gesya melingkar di pinggangnya.

“Yang pertama?” Gesya tertawa. “Mana mungkin. Jangan membohongiku, Kaivan. Dan diam saja, jangan banyak omong. Semakin aku ingat aku mendapat bekas, semakin aku marah dan ingin membunuhmu!” Napas Gesya menderu kesal. Yang pertama? Hahaha! Kaivan pikir dia pelawak?! Itu tidak lucu sama sekali!

“Kau tidak percaya? Pamanku meninggal karena terkena HIV, Daddy selalu mengawasi dan mengomeliku. Jika aku sudah melakukan sex sebelum menikah denganmu, pasti dia akan membuatku jatuh miskin.”

“Kau bohong?” tanya Gesya menatap Kaivan sepenuhnya.

“Apa aku terlibat sedang berbohong?” Kaivan balik bertanya membuat Gesya menggeleng. Tidak ada kebohongan di mata Kaivan. Jika apa yang dikatakan adalah benar, Gesya merasa lega. Ia kira dia mendapatkan bekas orang lain.

“Aku yang pertama ‘kan?” tanya Gesya lagi dan Kaivan mengangguk. Hal itu membuat senyum Gesya mengembang. “Syukurlah.” Dia melingkarkan tangannya di leher Kaivan. Ia menopang kan dagunya di bahu suaminya. Matanya menatap ke bawah, punggung Kaivan yang ... Astaga! Sangat penuh dengan cakarannya.

Gesya mengigigit bibir bawahnya. Matanya melirik kukunya yang panjang. Tidak, tidak. Itu bukan masalah untuk Kaivan. Rasa sakitnya tidak sebanding dengan rasa nikmat yang laki-laki itu dapat. Luka itu sangat kecil. Pasti tidak terasa apa-apa oleh Kaivan.

“Ingin honeymoon di mana?” tanya Kaivan tiba-tiba membuat Gesya menarik tubuhnya agar bisa menatap Kaivan.

“Terserah,” jawabnya singkat.

“Paris?”

“No, no, no. Tidak mau.” Gesya kembali memeluk leher Kaivan.

“Jepang?”

“No.”

“Italia?”

“Tidaaakk.”

“New Zealand?”

“Ck, tidak mau.” Gesya menatap Kaivan sebal.

He is CrazyWhere stories live. Discover now