Part 18 - Dari Jauh

443 70 43
                                    

Setelah dari pemakaman, Derran berniat untuk pulang ke rumah sang Ibu, sudah lama dirinya tidak pulang sejak kejadian Jordi yang waktu itu datang. Menghela napas panjang lantas berusaha tersenyum, Derran mulai mengetuk pintu. Dapat Derran dengar suara sahutan dari dalam rumah, tak lama kemudian pintunya terbuka.

"Bunda," panggil Derran.

Sang Ibunda menatap tulus pada Derran, memeluk tubuh anaknya dengan sayang. "Kenapa baru pulang? Bunda kangen."

Derran terkekeh kecil sembari mengelus punggung sang Ibu. "Derran juga kangen sama Bunda."

***

Suasana rumah yang biasanya sepi, kini mulai diisi canda tawa dari Derran maupun sang Ibunda. Panggil saja Rossa, umur Derran dan Rossa sendiri terpaut hanya dua puluh tahun. Sudah diketahui sebelumnya bahwa Derran adalah anak hasil kecelakaan Rossa dengan Jordi disaat kuliah dulu, waktu itu umur Rossa masih terbilang muda. Bahkan wanita itu rela tidak melanjutkan kuliahnya karena lebih menyayangi janin yang tumbuh pada rahimnya.

"Bunda, Jordi udah gak datang ke sini lagi, kan?" tanya Derran.

Rossa menggeleng. "Tidak, kemarin Bunda dapat kabar kalau dia pindah ke Chicago untuk urusan bisnisnya."

Hati Derran cukup lega mendengar berita tersebut. "Bagus, deh. Derran gak akan biarin Jordi nyakitin Bunda lagi."

Rossa tersenyum hangat sambil mengelus surai hitam sang Anak. "Buat pelajaran juga buat kamu, jangan main-main sama anak gadis. Perempuan harus dihormati, kalau kamu menyakiti perempuan, itu sama saja kamu telah menyakiti Bunda."

Perkataan Rossa berhasil membuat hati Derran teriris, pikirannya semakin kacau sekarang. Bagaimana jika sang Ibunda tahu kelakuan bejatnya pada Kirana? Apakah sang Ibu masih mengakui dirinya sebagai Anak?

"Bunda."

"Hmm."

"Maafin Derran, ya!"

Dahi Rossa kini mengkerut, tanda wanita itu sedang bingung. "Kenapa? Memang kamu ada salah?"

"Banyak, Bun. Derran sekarang jadi rappist, Derran gak jauh beda sama Jordi," batin Derran, namun anak itu hanya membatin. Menatap sang Ibunda sambil tersenyum, Derran menggeleng pelan.

"Gak apa-apa, Bun. Cuma pengen minta maaf."

***

Di kediaman Adinata, seorang gadis dengan tongkat di tangan kanannya kini sedang memutar musik bergenre pop. Namanya Laura, Laura Adinata. Gadis pecinta musik itu tengah menari dengan ceria, walaupun dengan kondisi keterbatasan yang ia derita.

"Laura," panggil seseorang.

"Iya, Mama."

Seorang wanita dengan baju santai kini masuk ke kamar Laura, sedikit mengecilkan volume musik yang sedang diputar putrinya.

"Mama ada hadiah buat, Lau." Wanita tadi menyodorkan sebuah kotak kado, Laura berusaha menggapai hadiah yang diberikan sang Ibu.

"Nyonya Mila," panggil salah satu asisten rumah tangga di kediaman Adinata. Benar, wanita yang diketahui adalah Ibu Laura merupakan Nyonya besar Adinata, dia adalah Kamila Adinata.

"Ada apa, Bi?" tanya Mila.

"Tuan besar mencari anda, Nyonya." Mila yang mendapat kabar tersebut hanya mengangguk, Mila menatap Laura yang tengah asik membuka kado darinya. Hatinya kecewa saat mengetahui hasil tes DNA sang putri tidak cocok dengan DNA suaminya, terlepas dari masalah Laura bukanlah putri kandungnya, Mila masih tetap menyayangi Laura sepenuh hati.

"Lau, Mama pergi dulu, ya! Semoga suka sama hadiahnya." Laura tersenyum menatap Mila. "Iya, Mama. Terima kasih."

***

Pras dan Kamila kini sedang serius membaca data tentang kelahiran bayi yang ada di rumah sakit tempat ia melahirkan dulu, mereka yakin pasti ada seseorang yang menukar bayi mereka.

"Mil," panggil Pras. Mila yang asik membaca data-data di meja sang Suami itu menoleh.

"Kamu gak curiga sama Pak Rendy?" Pertanyaan Pras kali ini cukup ambigu, memang kenapa Pras menanyakan hal itu?

"Memang kenapa, Mas?"

"Waktu itu, di ruang bayi. Hanya ada bayi kita dan bayi Rendy. Aku belum sempat melihat bayi kita saat kamu pingsan waktu itu, karena kata Dokter bayi kita perlu di incubator karena lahir prematur, sesudah itu aku belum mengetahui perkembangannya lagi. Maafkan aku, Mila. Ini semua karena kelalaianku."

Mila yang mendengar hal tersebut hanya bisa diam, ia juga tak bisa menyalahkan Pras sepenuhnya. "Tidak apa, Mas. Nanti kita coba buat selidiki putri mereka. Tapi saranku, jangan menyuruh Roy."

Pras mengernyitkan keningnya heran. "Kenapa? Dia orang kepercayaan ku, Mila."

"Kemarin, aku mendengar dia menelepon seseorang di belakang rumah setelah kedapatan keluar dari ruang kerjamu. Dan gelagatnya aneh sekali, seolah dirinya memantau jika akan ada orang yang akan memergokinya. Dari awal aku sudah curiga dengan dirinya."

***

Alunan musik klasik mengalun indah di ruang tari, kaki jenjang Kirana dengan mudah berjinjit, dan melompat mengikuti irama lagu.

"Bagus, tetap stabilkan keseimbangan!" Sang Pelatih memberi instruksi.

Kirana masih fokus menggerakkan tubuhnya, ia cukup bahagia karena orang tuanya mulai memperbolehkan dirinya menekuni hobi menari ballet. Sejujurnya, cita-cita Kirana adalah menjadi penari ballet terkenal. Ia sangat suka menari, dan ia juga suka musik klasik.

"Satu ...dua, awas! Tangan lebih ke atas! Angkat kaki kiri di samping kepala, tetap berjinjit!"

Kirana yang pada dasarnya belum cukup sehat kini kehilangan keseimbangan, tubuhnya terhuyung ke samping hingga menabrak temannya yang lain.

"Aahh!"

"Maaf ...maaf, aku kehilangan keseimbangan ku."

Sang Pelatih membantu Kirana berdiri. "Kamu baik?"

"Saya baik Coach," jawab Kirana, ia juga membantu Stella yang tertimpa tubuhnya tadi. "Maaf, ya, Stella."

Stella mengagguk. "Iya, tak apa."

***

Kirana yang berniat pulang kini malah harus terjebak derasnya hujan, duduk sendirian di halte saat hujan cukup membuat dirinya takut. Apalagi hari sudah menjelang malam, suhu tubuhnya juga mulai menurun karena hawa dingin. Lebih sialnya lagi, ponselnya kehabisan baterai. Jadi dirinya terpaksa menunggu angkutan jika ada.

Kirana mengusap lengannya yang terasa dingin, ia hanya memakai kaos pendek tadi. Ia pikir tidak akan turun hujan, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Tak berselang lama, Kirana mulai merasa mengantuk karena kebosanan. Tapi, rasa kantuknya tiba-tiba hilang saat ada seorang perempuan datang menghampiri dirinya.

"Permisi, Mbak."

Kirana bingung. "Ah, iya?"

"Ini ada jaket buat Mbak, saya tahu Mbak kedinginan," ujar perempuan tersebut, menyodorkan jaket berwarna putih padanya. Karena dia kedinginan akhirnya ia langsung menerimanya saja.

"Terima kasih, tapi ...apakah tidak apa?" Kirana mematikan, perempuan tadi hanya tersenyum. "Tak apa, Mbak. Pakai aja! Kasihan lihat Mbaknya, pasti kedinginan."

"Ah, terima kasih banyak." Kirana berkali-kali mengucap terimakasih pada perempuan tadi. Dengan senyuman yang masih terpatri, Kirana memakai jaket tersebut. Namun gerakannya terhenti saat mencium aroma yang tidak asing menguar dari jaket yang ia pegang. Seperti ia sering mencium aroma ini, aroma yang paling ia sukai.

"Parfum Derran? T-tapi gak mungkin, deh." Matanya mulai mencari, berpikir jika jaket ini memang milik Derran. Karena tak mendapat hal aneh, akhirnya Kirana tetap memakai jaket tersebut.

Di lain sisi, dari jarak lima belas meter dari arah halte. Derran sedang tersenyum. "Maaf, gue cuma bisa bantu dari jauh." Karena Derran tahu, jika nanti ia sendiri yang memberikan jaketnya, maka Kirana akan menolaknya mentah-mentah. Jadi dirinya meminta bantuan pada orang lewat tadi.

"I'm sorry, Ran."

I'm Sorry | Completed [✓]Where stories live. Discover now