part 19

259 54 6
                                    

Ada banyak kemungkinan dalam hidup, people comes and go tidak peduli seberapa ingin kamu untuk tetap tinggal bersama, sebuah kepergian akan mutlak meninggalkan luka.

Dika selalu bertanya,  seberapa ingin Tuhan menjungkir balikan keadaannya. Badai badai kecil yang sudah susah payah dia lewati seperti tidak ada artinya untuk dia saat ini. Padahal dia sudah berusaha untuk tidak teriak ketika suara suara bising itu mengganggu tidur nyenyaknya, padahal dia sudah menahan untuk tidak mengeluh ketika yang dia temui adalah sepi dari pagi hingga pagi kembali.

Bayang bayang sunyi ataupun ramai akan suara barang barang pecah belah terdengar sama, seperti menertawakannya.

Dika tidak pernah berfikir untuk menjadi manusia antagonis setelah hari itu. Sebagaimanapun dia ingin, Dika selalu berlari dan sembunyi setelahnya.

Divorce

Lalu ketakutannya akan kesendirian seperti satu satunya teman yang dia punya. Segala mimpi buruk bahkan baru saja dimulai, perpisahan kedua orang tuanya, dia yang memilih mengasingkan diri, lalu kesalahan fatal tempat dia mencari bersembunyi dari keramaian.

Ambisius.
Egois.
Temperament.

Dika yang penurut seperti terkubur dalam kerak bumi setelah puluhan medali beserta baret dan piagam yang berjejer rapi hasil jeri payahnya seperti tidak pernah terjamah mata oleh kedua orangtuanya.

Yang Dika miliki hanyalah kehampaan, lalu ketika dia mulai mencari domba atas segala nasib sial yang dia lalui segala kesempurnaan pada karib yang membersamai dia selama ini justru menjadi samsak atas   emosinya.

Keluarga yang harmonis, materi yang selalu cukup, akademik yang memumpuni juga orang orang yang tidak pernah berhenti berdecak kagum atas prestasinya.

Mokta Ghanesa.

Entah, sejak kapan sisi lain Dika seperti ledakan yang mengubur dalam kehidupan lamanya. Ketakutan ketakutan akan perpisahan atau takut untuk dikecewakan kembali menjadi benteng beton yang menjulang tinggi diantara keduanya.

Bermula ketika kepercayaan penuh Dika yang berambisi merebut tahta tertinggi kejuaraan Taekwondo SMP tingkat provinsi, semua kelam seakan berlomba meruntuhkannya.

✍️✍️

Pagi yang cerah untuk jiwa yang gugup, mungkin gambaran singkat itu persis seperti yang dirasakan pemuda tanggung dengan balutan dabok atau sragam taekwondo beserta sabuk biru yang menjadi satu satunya ornamen yang melingkar diperutnya.

Jam sudah menunjukan pukul 08.15, berkali kali dia berdecak diteras rumahnya. Harusnya dia sudah diperjalanan menuju tempat turnamen 15 menit yang lalu, tapi kehadiran satu satunya sahabat yang dia tunggu tak kunjung menampilkan batang hidungnya.

Dika terus bergumam menenangkan detak jantungnya yang sudah tak karuan, berkali kali meyakinkan dirinya sendiri untuk menunggu barang 5 menit lagi.

Sampai pukul 08.38 Dika memasang helmnya dengan kesal, mengendarai kuda hitam seperti kesetanan meredam gemuruh yang tidak juga reda, dia tau akan datang terlambat tapi bukan itu yang disesalkan,
Dika menunggu orang yang tidak akan datang.

Pesan yang Dika kirimkan juga tak menemui balasan, puluhan panggilan yang dia coba hanya sebatas suara robot oprator yang terdengar seperti mengejeknya.

Gedung gelanggang yang dijadikan venue pun sudah dipadati siswa siswa antar sekolah yang menjadi perwakilan.

Dobok warna putih dilapisi body Protection warna biru terpasang manis pada tubuh bidang Dika, sedang matanya masih menjelajahi arena tribun dengan mengharap harap cemas.

oktroubleWhere stories live. Discover now