30. Awal Untuk Akhir

97 2 0
                                    

Setelah sampai di kampus yang memiliki ciri khas logo berwarna ungu, serta almamater berwarna hijau. Remaja itu pun memasuki halaman pendaftaran yang ada di lantai dua kampus tersebut. Dengan langkah laju, Rudi tidak menghiraukan siapa pun di sekitar lokasi tersebut.

Kampus swasta yang bergabung dengan Sekolah Menengah Pertama itu menjadi pilihan. Selain dekat dengan rumah, kampus tersebut mampu membuat generasi yang akan lebih baik lagi ke depannya. Itu adalah harapan dari semua mahasiswa, dosen, bahkan yang terlibat dalam kampus tersebut.

Bersama degup jantung tak lagi normal, Rudi pun sampai di anak tangga lantai dua. Secara saksama, ia menatap mantap menuju ambang pintu sembari menyaksikan beberapa orang yang lalu lalang mendaftar kuliah.

Dengan menarik napas panjang, remaja berambut cepak itu melangkah diiringi bacaan basmalah. Setelah ruangan kosong, barulah ia mencoba untuk masuk dan menenteng map berwarna biru.

Tapakkan gontai ia langkahkan menuju pintu kaca, telah ada beberapa wanita cantik yang siap untuk bertanya perihal kelengkapan pendaftaran.

"Assalammualaikum ...," sapa Rudi dengan mengedarkan senyum semringah.

"Wa'alaikumsallam ... silakan masuk, Bang," jawab seorang wanita yang mengenakan jilbab hitam.

Karena sudah berada di hadapan wanita berhijab hitam itu, Rudi pun mendudukkan badan seraya meletakan mapnya di atas meja.

"Apa yang bisa saya bantu, Bang?" tanya wanita berparas cantik di hadapan Rudi.

"Saya ingin mendaftar kuliah, Bu," jawab remaja itu sekenanya.

"Sudah membawa semua kelengkapan yang dibutuhkan?" tanyanya lagi.

Tanpa menjawab, Rudi menyodorkan map berwarna biru itu pada lawan bicara. Kemudian tim penerima mahasiswa baru pun mengambil sodoran dari remaja di hadapannya, secara saksama ia menatap seluruh kelengkapan.

"Karena kamu masuk dalam gelombang satu pendaftaran, maka akan mendapat diskon. Apakah kamu adalah siswa yang mendapat prestasi di sekolah? Misalnya, rangking satu sampai sepuluh besar?" tanya wanita berjilbab itu lagi.

Rudi pun mengangguk dua kali, lalu ia menjawab, "saya masuk rangking sepuluh besar, Bu."

"Oke, kamu mendapat diskon lagi. Dan ini adalah total yang harus kamu bayar bersama dengan uang baju olahraga plus almamater." Selepas berkata, wanita itu pun menyodorkan catatan kepada Rudi.

Dari secarik kertas berwarna putih itu, terpampang jelas berapa yang harus ia bayar. Total dari keseluruhan sangatlah murah, sehingga Rudi tidak begitu was-was ketika merogoh uangnya di dalam kantong celana.

"Bu, saya mau bayar uang pendaftaran," kata remaja berambut cepak itu.

"Kamu mau bayar lunas atau setengah dulu?" tanyanya.

"Saya bayar lunas saja, Bu." Kemudian Rudi menyodorkan uang yang ia keluarian dari dalam kantong.

Secara saksama, tim pendaftaran itu menghitung uang sodoran dari Rudi. Karena jumlah telah cukup, ia pun menuliskan beberapa kuitansi pembayaran beserta kuitansi pengambilan almamater berwarna hijau.

"Kamu menuju ke ruangan itu, coba cari almamater yang sesuai dengan ukuran badan kamu," papar wanita berjilbab menjelaskan.

"Terima kasih, Bu." Selepas membawa kuitansi, Rudi berjalan menuju pengambilan almamater hijau.

Tepat di ruangan yang berjarak lumayan jauh, remaja tersebut masuk dan berselisihan dengan pendaftar lainnya. Kemudian ia mengantre dan menatap beberapa orang yang kemungkinan satu angkatan dengannya. Tepat di samping kiri, remaja mengenakan jins biru menatap Rudi.

"Kamu baru daftar di sini, Bang?" tanya lelaki yang tidak dikenal itu.

Karena memang masih masa pendaftaran, Rudi mengangguk dan meraih sodoran tangannya untuk menjabat. Bersama senyum simpul, ia edarkan tanpa henti.

"Iya, saya adalah pendaftar di sini."

"Rumahnya di mana kalau boleh tau, Bang?" tanyanya lagi.

"Rumah saya di sekitaran Kisaran. Kalau kamu?" Rudi pun bertanya balik.

"Saya jauh, Bang. Di Air Batu. Oh, ya, nama saya Dimas," kata orang tersebut.

"Saya Rudi Harianto. Panggil saja Rudi, biar lebih akrab."

Lawan bicara mengangguk dua kali seraya menatap sahabatnya yang tengah mengambil almamater di depan. Setelah sang sahabat mendapatkan almamater, ia pun mengajak Dimas untuk pulang ke rumah.

"Bang, kami duluan," ucapnya.

"Iya," jawab Rudi singkat.

Tidak berapa lama, tim biro kampus pun memanggil Rudi yang masih mendudukkan badan di atas bangku. Kemudian remaja itu mendekat seraya memberitahukan ukuran badannya. Wanita yang sedang mencacat ukuran baju pun memberikan almamater berwarna hijau, sembari menunggu apakah ukuran tersebut pas pada Rudi.

Karena memang ukuran tersebut adalah milik remaja bermata sipit itu, ia seakan tidak mau merubah pilihannya.

"Apakah sudah pas ukuran almamaternya, Bang?" tanya tim bagian biro kampus.

"Sudah, Kak, sangat pas untuk saya," jawab Rudi sekenanya.

"Oke, kamu tanda tangan sekalian isi nomor ponsel. Untuk informasi lebih lanjut akan diberitahukan lewat Whatsapp atau di telepon oleh pihak kampus. Apakah sudah jelas?" tanya lawan bicara.

Rudi mengangguk dua kali sebagai tanda kepahamanannya terhadap pemberitahuan.

Epilog:

Remaja itu berlari menuju keluar ruang biro, ia menenteng sebuah almamater berwarna hijau dan menuruni anak tangga lantai dua. Tepat di portal dengan tulisan (Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah) ia berhenti, lalu menatap secara saksama dari tepian trotoar.

Kini Rudi adalah bagian dari Muhammadiyah. Menimbah ilmu untuk empat tahun ke depan dan menyandang sarjana muda bersama dosen-dosen kompeten dan ahli dibidangnya.

Dengan penuh percaya diri, remaja itu telah meluluhkan hati kedua orangtuanya untuk tetap lanjut kuliah. Bahkan ia mendapat dukungan selepas kejadian-kejadian yang terjadi beberapa hari belakangan.

Remaja itu kembali pulang dengan berjalan kaki, air matanya menetes tanpa henti sembari menatap almamater hijau di tangan kanannya. Sebuah seragam identitas diri masih terbungkus plastik, siap untuk ia hargai dan akan menjadi kebanggan keluarga.

Setibanya di ambang pintu rumah, Rudi menatap kedua orangtuanya yang tengah berdiri tegap. Remaja itu berjalan sangat laju dan memeluk tubuh erat kedua orangtua. Tangisan kembali pecah di pundak Ramli—ayahnya.

"Le, kamu kenapa?" tanya sang ayah.

"Terima kasih telah mengajarkan arti berjuang, berpegang teguh terhadap keinginan, dan menjadi anak yang berbakti pada orangtua."

"Le, kamu adalah anak yang baik. Ayah tahu akan hal itu. Sekarang kita masuk ke rumah, ceritakan pengalaman terbaik kamu hari ini. Pasti sangat seru," ajak sang ayah sembari mengelus kepala Rudi.

Mereka pun berbincang bersama-sama di sepanjang jalan menuju ruang tamu. Sementara sang ibu, mengikuti dari posisi sebelah kanan. Mereka sangat senang dengan apa yang telah digariskan Allah SWT. Meskipun terlihat sederhana, sangat penuh makna.

Kisah kehidupan Ramli dan Rudi pun baru akan dimulai hari ini, keberhasilan mereka mendidik anak menjadi salah satu bagian yang tak terpisahkan hingga akhir hayat.

Ketika hati dan pikiran sudah tak lagi sejalan, maka Allah adalah satu-satunya yang mampu membuat segalanya menjadi satu arah.

Apabila semua itu tidak bisa lagi sejalan. Maka, lantunan doa di sepertiga malam menunggumu untuk bersama memecahkan apa masalah itu sebenarnya.

(Selesai)

Ketua BEMWhere stories live. Discover now