06. Merasa Sangat Bersalah

44 4 0
                                    

Lelaki paruh baya itu keluar dari dalam kamarnya, selepas mandi dan berganti pakaian untuk kembali membantu sang istri di warung pinggir jalan. Namun, karena ia sedari tadi tidak melihat anak lanjangnya di rumah, Ramli pun keluar seraya memakai kopiah hitam di kepalanya.

Setibanya di warung, kedua netra Ramli tercengang dengan keadaan sang istri yang sejak pagi masih tinggal dan tidak ada yang membantunya. Kesibukan tersebut ia alami sejak Rudi—anaknya ikut pergi dan bekerja bersamanya seharian. Kemudian lelaki yang mengenakan sarung cokelat itu mendudukkan badannya di atas kursi.

"Ayah mau saya buatin kopi?" tanya Khairia—istrinya.

"Iya, Mak. Jangan manis-manis," jawab sang suami seraya celingukan tanpa hanti.

"Nandi Rudi, Mak? Kok, aku enggak melihat dia dari tadi?" tanyanya penuh selidik.

"Tadi pamit mau mandi, mungkin lagi pakai baju di rumah. Maklumlah, Yah, anak lajang memang begitu." Setelah berkata, sang istri pun mendudukkan badannya di atas kursi tepat berhadapan dengan Ramli.

"Bagaimana hari ini? Ramai atau tidak jualannya?"

"Ya, lumayanlah, Yah. Karena saking ramainya, aku sampai bingung dan keliru dengan pesanan orang," papar wanita berbandana kuning itu.

Karena sang putra tak kunjung hadir dan membantu ibunya, Ramli pun berniat akan menjemput Rudi untuk segara hadir dan menemani Khairia.

"Ayah mau ke mana? Kok, kopinya tidak dihabiskan?" tanya wanita yang mengenakan daster merah itu.

Sejenak Ramli memberhentikan langkah, lalu ia menatap istrinya secara saksama. "Aku mau manggil Rudi dulu, Mak. Kok, dari tadi enggak mau bantu Mamaknya jualan."

"Ojo marah-marah wae, toh, Yah. Dia lagi capek kerja seharian ...," teriak sang istri lagi.

Tanpa menghiraukan teriakan tersebut, lelaki berkopiah hitam itu pun berjalan laju dan hendak mencari di mana putranya sedang berada. Setibanya di ruang tamu, kedua netranya tidak mendapati siapa pun. Padahal, Rudi selalu memainkan ponselnya di sana.

'Ke mana anak itu. Kok, dari tadi aku cari enggak ketemu juga. Oh, barangkali main ponsel di kamarnya. Coba aku cek dulu ke kamarnya saja,' batin Ramli bersenandika.

Tepat di ambang pintu, lelaki bersarung cokelat itu membulatkan kedua netra seraya mengetuk pintu beberapa kali.

"Rudi ... buka pintunya, ayah mau ngomong sama kamu."

Satu panggilan tidak terjawab, akan tetapi pintu kamar sedikit demi sedikit mulai terbuka. Karena Ramli menganggap putranya sudah lumayan dewasa, ia pun langsung menyelonong masuk dan menemui.

"Rudi ... kamu di dalam ngapain? Buka pintunya dulu, ayah mau ngomong sama kamu."

Panggilan kedua pun sama juga, hasilnya nihil dan tidak ada balasan dari sang putra. Karena merasa sangat kesal, emosi memuncak dan menjadi overload dalam benak. Dengan cepat, lelaki paruh baya itu membuka pintu kamar seraya berkacak pinggang di samping pintu.

"Berapa kali ayah manggil enggak kamu sahut, tuli atau bagaimana kamu itu! Mau jadi anak durhaka kamu, Rud?!" Selepas berucap kasar, sang ayah pun membungkam setelah mendapati putranya sedang melaksanakan salat magrib.

'Astaghfirullah ... apa yang aku lakukan. Kukira anak ini sedang tidak mau berbicara pada ayahnya, ternyata ia sedang melaksanakan salat magrib.'

Menggunakan kedua tangan Ramli pun menutup mulutnya dan meletakkan badan di samping tembok. Sementara kedua netranya menatap langit-langit kamar seakan menyesali ucapan yang baru saja keluar tanpa aba-aba dan alasan.

Setelah beberapa menit berdiri, Rudi pun mengucap salam di rakaat terakhir. Lalu ia menatap sang ayah yang bergeming di tembok kamarnya. Secara saksama, anak nomor dua dari lima bersaudara itu berdiri dan mendekati sang ayah.

"Yah, kenapa berdiri di situ? Kok, nangis?" tanya Rudi dengan polosnya.

Bersama tapakkan lembut, Ramli mengelus rambut putranya seraya menatap kedua netra anak nomor dua di hadapannya.

"Nak, maafkan ayah yang beberapa hari ini memarahi kamu terus," ucap Ramli sangat melas.

"Yah, enggak ada yang salah. Semua adalah salah Rudi katena tidak mau mendengar nasihat dari orangtua. Sekarang Rudi sudah ikhlas kalaupun harus ikut kerja sama Ayah setiap hari."

Mendengar ucapan itu, Ramli merasa sangat terpukul karena telah membunuh cita-cita putranya itu. Lalu ia keluar dari dalam kamar tanpa sepatah kata pun. Bersama langkah yang kian limbung, lelaki peruh baya bersarung cokelat kembali menemui sang istri di warung pinggir jalan.

Bersama deraian air mata, sang suami pun mendudukan badannya seraya membungkam tanpa kata. Tiba-tiba, Khairia—istrinya datang sembari membawa nampan berisikan gorengan hangat. Secara saksama, wanita yang telah lama hidup dengannya itu menatap kedua netra sang suami.

"Ayah kenapa diam saja? Tumben enggak marah-marah, biasa juga kalau udah masuk kamar Rudi selalu ngomel-ngomel enggak jelas," ucap sang istri sembari mengunyah goreng ubi jalar.

"Enggak, Mak, rasanya hati ayah sakit banget hari ini," jawab sang suami.

"Sakit gimana? Mungkin Ayah kecapean, kalau begitu tidur duluan saja. Nanti kalau Rudi ke sini, mamak suruh buatin jamu," ujar sang istri.

Tanpa menunggu lama, Ramli memutuskan untuk pergi dari warung. Tatapan tajam sang istri pun tidak lepas sejurus pada sang suami yang bertingkah sedikit aneh malam itu. Rumah mendadak temaram karena aliran listrik yang tak menentu akibat hujan lebat.

Kepergian lelaki paruh baya itu ternyata berselisihan dengan Rudi di teras rumah, remaja yang mengenakan celana keper panjang berwarna cokelat itu seakan bingung dan menoleh ke belakang badanya.

"Ayah kenapa lari-lari begitu, ya? Jangan-jangan lagi sakit perut. Kan, tadi di tempat kerja minum kopi banyak banget sama Wak Diman," ujar Rudi sembari melanjutkan perjalanan menuju warung sang ibu.

Berapa detik menapak, remaja yang selalu membuang senyum simpul itu sampai di warung sang ibu. Kemudian, ia bergeming karena heran melihat gelagat wanita di hadapan yang memakan gorengan dengan membawa nampan berisikan banyak makanan.

"Assalammualikum ...," sapa Rudi.

"Wa'alaikumsallam ... eh, anak emak yang ganteng udah datang. Kamu lama banget ke sini, pasti capek, kan, seharian kerja sama ayahmu." Wanita berbandana kuning itu menggeser posisi duduknya, agar sang putra dapat duduk di sampingnya.

Rudi pun menggelengkan kepala sembari mengambil gorengan di dalam nampan. Kemudian ia mengunyah makanan itu dan meminum kopi hangat di dalam teko, sisa dari ayahnya barusan.

"Mak, kok, ayah tadi pergi lari-lari gitu. Ada masalah apa, ya? Jangan bilang kalian berdua lagi berantem," tebak Rudi sekenanya.

Sang ibu pun menarik napas berat seraya mengunyah gorengan. "Emak enggak tahu, lagian ayah kamu datang dengan mata yang lebam. Mungkin kecapean seharian kerja. Oh, ya, nanti tolong beliin jamu di warung Bu Idah."

"Bentaran lagi, Mak, soalnya baru saja duduk." Dengan menggunakan tangan kanan, Rudi merogoh ponselnya sembari memainkan di atas kursi.

Karena merasa lumayan sangat lelah, remaja itu menatap kedua tangannya secara saksama. Telapak yang biasanya mulus dan lembut, dalam sehari berubah dipenuhi dengan benjolan kemerahan. Mungkin karena terlalu banyak memecahkan batu menggunakan palu besi, sehingga merusak telapak tangan.

"Le, ambilkan minyak di dapur dulu. Emak mau goreng pisang lagi ...," teriak sang ibu tiba-tiba.

Karena terlalu fokus menatap layar ponsel, Rudi pun terkejut dengan teriakan itu. "I-iya, Mak ... tunggu sebentar."

Remaja bermata sedikit sipit itu berlari laju memasuki rumah, ia pun mencari minyak goreng di tempat biasa untuk membantu ibunya berjualan di warung.

Bersambung ...

Ketua BEMWhere stories live. Discover now