14. Salat Subuh Memisahkan Persahabatan

22 3 0
                                    

Kumandang azan salat subuh telah tersiar hari itu, menggema dan merayap memasuki lubang pendengaran setiap manusia.

Khususnya di desa yang terkenal sangat asri, indah, dan bersih. Udara segar di luar rumah juga menjadi sangat sejuk, ditambah rintikan air hujan membasahi atap dan bercambur dengan embun bening.

Kedua remaja sedang terlelap pun mendengar seruan azan tersebut, akan tetapi Diki lebih dulu bangun dan membuka netranya perlahan.

Dalam samar, ia mendudukkan badan di atas dipan seraya menatap ke lubang ventilasi. Kemudian tetapan beringsut menuju arloji di dinding kamar, tepatnya berada pada sejajar dengan foto.

Potret kilas balik kembali terputar, kenangan indah ketika duduk di bangku sekolah dasar, sekitar usia masih menginjak delapan tahun. Memang sudah lama hal itu dilalui, akan tetapi foto yang terpampang masih tampak jelas walau sedikit kusam.

Persahabatan Rudi dan Diki terbilang sudah sangat lama, bahkan mereka sudah menganggap bahwa keduanya adalah saudara kandung.

Untuk menginap di rumah masing-masing, sudah tidak asing lagi bagi kedua orangtua mereka. Namun, untuk ironi sepertinya berbalik dan tidak sama dengan apa yang mereka pupuk sejak kecil.

Itulah jalan hidup, semua makhluk tidak ada yang tahu akan terjadi apa ke depannya. Pasrah adalah cara hijrah untuk mengobati jiwa, agar selalu berperasangka baik pada Sang Maha Kuasa.

Karena Diki sudah bangun lebih dulu, ia ingin membangunkan sahabatnya di samping kanan. Menggunakan tangan kanan, remaja bercelana jins hitam itu menggoyangkan lengan sang sahabat beberapa kali.

"Rud, bangun. Sudah subuh, kau enggak salat?" tanya Diki.

Akan tetapi, Rudi tidak bangun dan hanya menutup wajahnya menggunakan bantal guling.

"Rudi ... kau enggak bangun? Sudah pagi, nanti ayah marah baru tau," ujar Diki membawa nama ayahnya dalam membangunkan.

Dengan sigap, pemilik nama pun membuka netranya secara spontan. Lalu ia melirik ke samping kiri seraya menatap mantap sang sahabat yang sudah membuang ekspresi lucu.

"Mana ayah aku, Dik?" tanya Rudi penasaran.

Lawan bicara pun menggeleng dua kali, lalu ia menarik kedua pundak secara bersamaan. "Ayahmu masih tidur, mana ada di sini."

"Lalu, kenapa tadi bawa-bawa ayah aku? Ih, buat orang jantungan aja tau enggak!" pekik Rudi seraya memukul kening sahabatnya.

"Aduh! Udah syukur aku bangunin, coba aja yang bangunin kamu adalah Malaikat Jibril, pasti sudah kena libas badanmu itu," omel Diki seraya menaikkan kedua netra.

"Oke, sorry. Ya, udah, ngapain masih ada di sini? Yuk, kita ambil air wudu, biar enggak telat salat subuh," ajak Rudi.

Mereka pun melompat dari atas dipan dengan cepat, masing-masing dari mereka sibuk membawa gayung dan berjalan seiringan menuju kamar mandi. Kedua remaja itu tidak bergantian, karena Diki sangat takut jika sudah suasana subuh.

Bersama sang sahabat yang super berani, ia merasa terjaga bagaikan seorang adik. Namun, entah apa jadinya ketika ia pergi ke Medan dan berkuliah di sana. Sementara untuk mengambil air wudu saja, Diki masih menunggu orang lain lebih dulu melangkah.

Setelah selesai, mereka kembali memasuki ruang tamu seraya menggelar sajadah berwarna cokelat muda. Motif masjid besar pun menjadi seperangkat ibadah yang selalu mereka injak untuk berkomunikasi pada Tuhan lewat salat. Menjalankan dua rakaat, sebelum akhirnya dua remaja itu berdoa sesuai apa yang mereka ingin curhatkan.

Suasana dingin merayap memasuki lubang pori-pori, sementara di luar rumah tidak banyak manusia yang sudah menjalankan aktivitas. Namun, sebagian ada yang bekerja lebih dulu dari mereka saat ini. Suara kendaraan orang yang lalu lalang pun tidak mau berhenti, sudah seperti kegiatan di siang hari.

Setelah melaksanakan dua rakaat, kedua remaja itu membuka pintu rumah dan ingin duduk-duduk di teras. Seraya menanti waktu pagi, Diki pun tak jemu menatap langit tanpa bintang.

"Rud, aku besok udah pergi. Kau enggak ada niat bekerja di sana bareng aku?" tanyanya.

"Hmmm ... enggak, Dik. Aku lebih memilih kerja di sini saja. Karena bisa melihat Emak, Ayah, dan saudara-saudara lainnya. Kalaupun aku udah ada uang, kemungkinan akan kuliah di sini saja."

"Kenapa? Kan, kau juga ingin kuliah di kampus negeri. Emang di Kisaran ada kampus yang menjanjikan masa depan, semua adalah swasta," papar Diki sekenanya.

"Enggak apa-apa, Dik. Aku kuliah berdasarkan keuangan keluarga, bukan berdasarkan gengsi semata. Bisa melanjutkan sarjana di sini saja sudah alhamdulilah, karena cita-cita kita bukan masuk PTN. Tetapi wisuda bersama, bukan begitu?" Rudi pun menatap ke samping kanannya, tepat di wajah sang sahabat.

Tanpa menjawab, Diki pun sekadar membungkam tanpa suara. Tidak berapa lama berbincang, terdengar tapakkan kaki dari ambang trotoar. Kedua remaja itu menatap mantap siapa gerangan yang berjalan dengan laju di hadapan mereka, sejurus pada gang kecil menuju rumah Rudi.

"Itu seperti ibu kamu, Dik?" tanya Rudi sekenanya.

"I-iya, seperti ibu aku. Ngapain, ya, subuh-subuh udah datang ke rumahmu?" Lawan bicara pun malah balik nanya.

Karena Rudi juga tidak tahu jawabannya, ia mengangkat kedua pundak ke udara secara bersamaan. Selang beberapa menit, Bu Eem memang hadir di hadapan kedua remaja itu yang masih sibuk dengan topik mereka.

"Le, kamu enggak pulang, Nak?" tanya Bu Eem.

"Kok, subuh-subuh sekali, Bu? Emang kenapa enggak siang saja perginya?" tanya Diki penuh selidik.

"Kata Bapak, kalau pergi pagi akan ramai di jalan. Lagian ... belum lagi mencari kos-kosan di Medan. Yuk, kita pergi sekarang saja," ujar Bu Eem sedikit memaksa.

Sejenak Diki membungkam, ia pun menoleh ke kanan tepat di mana sang sahabat bergeming tanpa suara. Untuk beringsut pergi, rasanya sangat berat, sehingga membuat remaja bermata bulat itu merasa sangat sedih.

"Ta-tapi, Mak," titah Diki terbata-bata.

"Sudahlah, Dik, kau pergi saja. Jangan sia-siakan apa yang telah kau capai, enggak semua orang bisa masuk PTN seperti yang telah kau capai itu." Menggunakan tangan kanan, Rudi pun menyentuh pundak sahabatnya.

Tanpa menjawab, Diki membangkitkan badan seraya mengangguk tiga kali. "Rud, kalau ada waktu, kau sempatkan main ke Medan. Aku pasti rindu masa-masa seperti ini. Tetapi aku janji, setelah pulang dari Medan akan menjadi imam untuk bergantian dengamu."

"Nah, begitu baru keren. Jangan lupakan persahabatan kita kalau sudah menjadi orang kota," ujar Rudi lagi.

Subuh itu Diki harus merelakan persahabatannya berpisah jauh ke luar kota. Tak pernah tebayangkan sebelumnya, kalau ia merasa sangat kehilangan sosok penyemangat di dalam menjalani masa sekolah.

Sementara Bu Eem pun menadahkan kepala melihat anaknya sangat lesu, akan tetapi mereka tetap bisa bertanya kabar lewat social media.

"Rudi, ibu mau pamit dulu. Semoga kamu bisa mendapatkan izin dari ayah kamu untuk kuliah. Yang sabar, ya, Le. Allah enggak akan menguji hambanya di luar batas kemampuannya, ibu tahu kalau kamu adalah anak baik."

"Iya, Bu, hati-hati di jalan," sambar Rudi.

"Assalammualikum ...." Secara serempak, Diki dan Bu Eem berpamitan.

"Wa'alaikumsallam ...," jawab remaja bercelana jins hitam itu.

Tatapan pun masih terfokus pada kedua orang yang tadi ada di hadapan. Untuk kembali masuk, rasanya Rudi tidak kuat untuk melangkah. Apalagi mendapatkan semangat dari Bu Eem yang kenyataannya menambah luka di dalam hati menjadi bertambah parah.

Bersambung ...

Ketua BEMOnde histórias criam vida. Descubra agora