23. Sahabat Rasa Saudara Kandung

21 3 0
                                    

Dari akses satu-satunya menuju lantai dua, seseorang pun datang dengan tapakkan yang merayap memasuki lubang pendengaran. Seluruh pasang mata memutar posisi badan delapan puluh derajat dan membuang tatapan tajam sejurus pada orang tersebut.

Tanpa ada yang memberitahukan perihal kejadian hari itu, membawa satu orang remaja beserta kedua orangtuanya hadir di hadapan keluarga besar Rudi Harianto.

Mereka adalah Diki—sahabat lama remaja berusia delapan belas tahun itu. Dengan mengenakan celana jins berwarna hitam, dilengkapi dengan sepatu serasi warna kulit.

Seketika Rudi membuang senyum semringah, karena setelah beberapa hari ditinggal pergi oleh sang sahabat, sekarang mereka bertemu meskipun dalam keadaan yang tidak biasa.

Lelaki berambut cepak itu mendekat seraya menjabat tangan keluarga yang menggerompok di ambang pintu, ia pun mencoba untuk meyakinkan bahwa kalau pendidikan mampu merubah segala sisi dari tingkah laku.

"Assalammualaikum, Bu," kata Diki seraya mencium punggung tangan kanan Khairia.

"Wa'alaikumsalam ...," jawab sang ibu.

Diikuti dengan Bu Eem, yang datang sembari menggerompok dan hendak menjenguk di rumah sakit. Kemudian Diki bergeming di samping kanan Rudi, ia pun menyiku lengan sang sahabat yang masih bergeming tanpa suara.

"Rud, bagaimana dengan keadaanmu sekarang? Katanya, kau masuk rumah sakit sejak kemarin. Kenapa enggak kasih tahu aku?" tanya Diki penuh selidik.

"Ak-aku, aku baik-baik aja. Bukan enggak mau kasih tahu, akan tetapi—" Rudi menggantung ucapannya seraya menadah menuju lantai.

"Kenapa, Rud? Apakah kau tidak menganggap kalau aku adalah saudaramu lagi? Hmmm ... walaupun aku lagi di Medan, sebisa mungkin untuk datang. Enggak seperti ini caranya," omel Diki berterus terang.

Rudi pun menarik napas berat, lalu ia menjawab dengan penuh rasa bersalah. "Aku enggak punya ponsel lagi, karena ponsel aku pecah dan padam akibat benturan. Maaf kalau kau tahu dari orang perihal berita ini, akan tetapi memang begitulah kenyataannya."

"Okelah, satu perkata sudah aku maafkan. Satu hal lagi yang membuat aku sangat marah padamu," omel Diki bertubi-tubi.

Karena merasa tidak ada perkara lain yang Rudi lakukan, ia pun mengernyit seraya menatap mantap lawan bicara. Remaja yang memiliki hati sangat sensitif itu pun mencoba untuk meminta penjelasan, akan tetapi lawan bicara tak kunjung mengatakan.

"Emang, apa lagi yang aku lakukan, Dik?"

"Kenapa kau enggak mau makan nasi yang aku beli ini. Kan, kalau basi jadi bubazir," pungkas sang sahabat dengan wajah penuh kemenangan.

Bersama senyum simpul, Rudi pun menoleh ke arah wajah Diman—uwaknya. Padahal sedari tadi, lelaki paruh baya itu sudah menyuruh untuk menyantap. Namun, mereka masih tarik ulur dan takut kalau ternyata makanan tersebut bukan untuk mereka.

Tanpa menunggu lama, Diki mengambil satu bungkus nasi dan menyodorkannya pada sang sahabat. "Ini. Makanlah, pasti kau lapar sekali. Kelihatan dari wajahmu, sangat lemah bagai orang putus cinta."

Mendengar ledekan itu, Rudi memukul kepala sang sahabat menggunakan tangan kanan. "Dasar!"

Seluruh pasang mata yang melihat tingkah mereka tertawa terkekeh-kekeh. Dengan gerak cepat, Diki pun mempersilakan untuk seluruh keluarga Rudi memakan nasi yang sengaja ia beli di luar rumah sakit. Kemudian, mereka pun menyantap bersama-sama seraya menanti pagi akan tiba.

Tepat di pojok ruangan dangan suasana temaram, Diki dan Rudi mendudukkan badan seraya berbincang sembari makan subuh. Mereka memilih tempat yang sedikit jauh, agar tidak terlalu mendengar pembahasan orang dewasa.

"Rud, apakah kau akan kuliah di Kisaran?" tanya Diki mengawali pembahasan.

Tanpa menjawab, Rudi pun hanya menarik napas berat dan menatap tangannya yang baru saja telah diambil beberapa kantong darah untuk sang ayah.

"Rud, kenapa kau diam saja?" sambar Diki lagi.

"Hmmm ... apakah aku harus menjawab semua yang kau pertanyakan itu? Bukankah, dengan melihat keadaan kami seperti ini telah nyata jawaban yang akan keluar dari mulutku," pungkas Rudi sekenanya.

"Aku tahu apa yang kau alami sekarang, tetapi bukan berarti kau harus pasrah, kan, Rud? Masih ada jalan lain untuk kita mencapai cita-cita. Ayolah, Men, jangan jadi anak cengeng. Kita udah janji akan wisuda empat tahun ke depan," tukas Diki memberikan semangat.

Lagi-lagi Rudi menarik napas berat, lalu ia menjawab, "selama ini aku terlalu memikirkan egoku, Dik. Kenapa? Karena memang aku bukanlah anak yang terlahir untuk menyandang gelar sarjana. Dengan melihat keluarga aku hidup dan adik-adik aku sekolah, itu lebih dari cukup. Jangan memaksa yang tidak ditetapkan oleh Tuhan."

Mendangar ucapan sang sahabat, Diki beralih dari ujung pandangan. Lalu, ia mendekat ke posisi sang sahabat yang masih meneguk teh manis dingin. Dengan pukulan ringan, remaja berkulit kuning langsat itu melayangkan tangan kanannya menuju kepala sang sahabat.

"Aduh! Bego baget, sih, jadi orang." Rudi meringis karena mendapat pukulan itu secara mendadak.

"Nah, apa yang kau rasakan?" tanya Diki.

"Ya, sakitlah. Pakai nanya lagi kau," hardik Rudi sekenanya.

"Kalau memang sakit, harusnya kau bisa belajar dari hal itu. Takdir tidak kelihatan, tetapi dapat merubah keadaan. Allah juga enggak kelihatan, tetapi bisa merubah pola pikir umatnya. Rasa sakit pun sama, tidak kelihatan tetapi mampu?—"

Karena filososfi kehidupan yang diberikan sangat jelas, membuat Rudi tersenyum semringah seraya menyibak air mata yang sempat keluar dari kedua netranya. Tidak berapa lama, Bu Eem datang dengan menghampiri sang anak yang ia lihat sedang menukul sahabatnya.

Tepat di hadapan kedua remaja itu, Bu Eem berkacak pinggang seraya menatap tajam. "Diki! Kenapa kamu memukul kepala sahabatmu. Bukankah kamu yang bilang, kalau Rudi adalah sahabat terbaik dan tidak bisa dilupakan?!"

"He-he-he ... Diki tadi hanya bercanda, Bu. Untuk menyadarkan pemikiran orang yang tidak pernah percaya bahwa hidup dapat berubah," titah sang anak seraya membuang cengir.

Mendapati penjelasan yang sedikit mengundang komedi, Bu Eem pun tidak begitu memedulikan ucapan sang anak, ia malah mengelus kepala Rudi dengan penuh kasih sayang.

"Kamu enggak apa-apa, Le?" tanya Bu Eem.

Posisi Bu Eem membelakangi putranya, akan tetapi tampak jelas dari netra Rudi yang menatap dari depan. Remaja itu menjulurkan lidah pada sang sahabat, karena ibunya lebih mendukung dan memberikan perhatian pada Rudi.

"Awas aja lu entar, ya!" tantang Diki seraya mengepal tangan kanannya.

"Ya, sudah, kamu lanjut makan. Keburu dingin dan enggak enak nasinya," papar Bu Eem.

"Terima kasih, Bu, atas semuanya. Rudi enggak tahu lagi mau bilang apa hari ini."

"Ah, kamu seperti lagi ngomong sama siapa. Sudah kewajiban kita sebagai manusia saling tolong-menolong. Diki, kamu belikan makanan ringan ke luar rumah sakit!" seru Bu Eem tanpa menoleh.

Diki pun menyambar ucapan sang ibu. "Untuk siapa, Bu?"

"Yang pasti bukan buat kamu! Ini uangnya," jawab Bu Eem sembari putar badan.

"Ya, elah ... hari ini aku jadi anak tiri di sini," gerutu Diki seraya mengambil sodoran sang ibu.

Karena sudah selesai makan, Rudi pun melipat bungkus bekas nasi dan membuangnya ke dalam tong sampah.

"Diki! Aku ikut keluar!" teriak Rudi pada sang sahabat.

"Kalau ikut, ya, buru jangan minta makanan yang mahal. Uang Ibu aku enggak cukup," omel remaja bercelana jins hitam itu.

Melihat tingkah kedua remaja tersebut, Khairia dan seluruh pasang mata terkekeh-kekeh. Mereka telah tahu sejak dulu, kalau persahabatan mereka memang sangat erat dan seperti saudara kandung.

Bersambung ...

Ketua BEMWhere stories live. Discover now