10. Hidup Adalah Perjalanan Singkat

25 5 0
                                    

Perjalanan singkat dari sebuah cerita adalah tamat, maka setiap apa yang dimulai, juga akan berakhir dengan sendirinya. Begitupun kehidupan ini, nyawa hanyalah titipan. Bernapas bebas tanpa harus membayarnya pada yang Sang Maha Kuasa.

Seperti telah dijelaskan dalam sebuah hadis 55. QS. Ar-Rahman Yang Maha Pemurah 78 ayat. Salah satunya berbunyi;

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

وَالسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الۡمِيۡزَانَۙ

Wassamaaa'a rafa'ahaa wa wada'al Miizan

Artinya: Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan,

Dari sepenggal ayat tersebut telah disampaikan dengan sangat jelas perihal keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat manusia. Namun, terkadang sebagian lupa dengan apa yang telah terlupa akibat dari lalainya umat dan lebih mencintai dunia daripada alam kekal nantinya.

'Hidup adalah perjalanan. Maka, pergilah. Kau akan menemukan hal baru yang belum pernah kau temukan. Kutipan quote populer karya: Ahmad Ariandi, S.M. Di salah satu bukunya yang berjudul; Kau Pertemukan Aku Dangan Tuhanku.'

Berjuta kesan dan pesan lewat tulisan telah tertulis jelas, sebagian ada yang bertinta hitam dan adapula yang bertinta merah. Seruan azan salat subuh pun terdengar merayap memasuki indra pendengaran, gendang telingat tak mampu untuk menghindar ketika seruan itu telah datang.

Dengan langkah sedikit gontai, remaja berusia delapan belaa tahun itu berjalan menelusuri permukaan bumi yang telah tertutup gumpalan pasir dan semen permanen, menuju sebuah kamar mandi dan hendak membasuh badanya secara merata yang disebut mengambil air wudu.

Tanpa ditemani oleh siapa pun, ia menjalankan aktivitasnya dalam berkomunikasi lewat salat dua rakaat kepada Sang Khalik, seraya memohon ampun jika ada salah dalam bertutur kata kepada orang-orang. Dalam bait doa, Rudi tidak pernah meminta untuk hidupnya diberikan harta melimpah, memperbanyak material bangkai dunia, dan yang lainnya untuk memperkaya diri.

Akan tetapi, Rudi selalu meminta agar Allah memberikan ia hati yang lembut, pribadi yang lebih baik, dan yang paling utama adalah jiwa bersih dalam menjalankan segala aktivitas bersama keluarga dan orang lain. Remaja berdarah Jawa dan Mandailing itu seakan merasa berdosa, karena belakangan hari ini banyak salah pada kedua orangtuanya.

"Ya, Allah ... ya Tuhanku. Dalam sujud dua rakaat hamba di subuh yang telah menyiramkan embun pagi di atas dedaunan ku—memohon. Ampuni segala dosa-dosa hamba. Hanya kepada-Mu aku meminta dan mengharap welas asih, semoga diri tak hilang kendali saat berkata pada yang lebih tua. Ampuni hamba ... ya, Allah. Amiin ...."

Dalam lantunan bait doa, remaja itu pun menitihkan air matanya dan benar-benar mengharap ampunan. Bagaimanapun sifat sang ayah, ia adalah ayahnya. Dedikasinya dalam memberikan nafkah mengalir dari awal gumpalan darah manusia ketika masih dalam kandungan sang ibu, hingga terlahir dan membesar menjadi pahatan manusia sempurna.

Kekuasaan Tuhan tidak dapat dipungkiri lagi, tanpak jelas dengan keberadaan udara di sekitar kehidupan. Jika saatnya Sang Kuasa marah, mungkin udara akan dibayar dengan nyawa-nyawa yang ikut pergi bersama rasa yang mereka tidak pernah menyadari betapa Tuhan adalah segala-galanya.

Tatapan tajam pun Rudi buang melalui lubang ventilasi kamar, seruan burung berkicau terdengar sangat pasih dari luar rumah dan seperti mengajaknya untuk bercanda riang. Selepas salat subuh, remaja bermata sedikit sipit itu mendudukan badan di atas kursi belajar dengan menatap kiblat.

Secarik kertas dan pena bertinta hitam adalah temannya setiap hari, membawa alunan garis indah yang menari di atas kepiawaiannnya dalam berdiksi. Suasana subuh pun memboyong arunika untuk naik perlahan di atas langit nusantara, membuka cakrawala dunia dan aktivitas semua manusia akan segera dimulai dalam bertempur kembali mencari nafkah.

Pagi pun telah tiba.

Sejak melaksanakan salat subuh, Rudi tetap tinggal di atas kursinya tanpa bergeser sama sekali, ia menuliskan apa yang sedang menjadi gambaran hidup dalam secarik kertas dan menyimpannya di dalam sebuah nakas. Ketukan pintu terdengar dari luar rumah sedikit keras.

"Le, bangun sudah pagi ...," panggil sang ibu, lalu suara itu berungsut pergi dan enggan merayap melalui gelombang udara di kamar.

Tanpa menjawab sepatah kata pun, remaja berkulit sawo matang itu turun dari kursi seraya berjalan santai sembari menatap sejurus ke meja makan. Di sana telah ada ayahnya yang tengah membaca koran ditambah kopi hangat selalu menemaninya untuk bersantai di hari libur. Kemudian Rudi mendudukan badan seraya mengambil satu gelas kopi hangat dan meneguknya.

Sang ibu datang dari arah dapur, membawa nampan berisikan makanan yang tidak lain adalah lauk pagi ini. Wanita paruh baya itu tetap memberikan pelayanan maksimal meskipun tengah sibuk berjualan di warung, baginya keluarga adalah yang utama dan tidak boleh jika ada salah satu dari mereka memakan masakann di luar rumah.

"Ini apa, Mak?" tanya Rudi dengan menatap menu pagi itu.

"Ini ikan bakar kesukaan kamu, Le," jawab sang ibu seraya menyentuh kepala putranya.

"Kok, bisa secepat itu bakar ikan pagi-pagi. Emangnya jam berapa ke pasar?" tanya Rudi lagi.

"Ini ikan yang emak beli kemarin, sengaja disisain enggak semua untuk lauk warung. Kan, hari libur adalah tempat kita berkumpul, agar kamu semangat makan pagi." Selepas berkata, wanita berjilbab hitam itu menyodorkan piring.

"Anak lanang, kok, dimanja. Sesekali dibiarkan saja dia mandiri, makan seadanya. Agar bisa belajar betapa susahnta hidup ini," sambar sang ayah dari bangkunya, tanpa menoleh ia berujar.

Sang ibu menarik napas berat, ekspresinya berubah. Namun, seketika ia mengembalikan senyum itu untuk anak nomor duanya di samping kanan.

"Le, kamu makan yang banyak. Nanti temani emak belanja ke pasar. Kalau pergi agak siang, takutnya sayuran habis semua," ucap sang ibu.

"Iya, Mak." Selepas menjawab singkat, mereka pun menyantap makanan di atas meja.

Kali ini hanya ada mereka bertiga, karena adik-adik Rudi belum ada yang bangun dari tidur mereka. Kebiasaan remaja itu adalah bangun pagi, meskipun sedang tanggal merah ia tetap membantu ibunya berbelanja di pasar.

Karena merasa sangat kesiangan, Rudi pun membonceng sang ibu mengendarai motor ayahnya, mereka bersama-sama menuju pasar dan membawa kating untuk tempat ikan dan beberapa sayuran. Setibanya di sana, remaja bercelana jins hitam itu mendapati sebuah panglihatan yang tidak biasa.

Seorang wanita yang pernah sekolah bersamanya tengah bekerja dengan berjualan bumbu dapur di sebuah teras toko, akan tetapi hanya baru kelihatan ia ada di sana pagi ini saja. Karena sang ibu pun mengajak Rudi untuk membeli, mereka bersama-sama menemui gadis tersebut karena jualannya sangat sepi.

"Nduk," panggil Khairia.

"I-iya, Bu, mau bumbu apa?" tanyanya.

"Kasih ibu bumbu semur, sambal dan gulai."

Bukan memasukan bumbu itu ke dalam plastik, si penjual hanya sekadar memerhatikan Rudi yang berada di samping ibunya tanpa berkata apa-apa.

"Kamu Rudi, kan?" tanyanya spontan.

"Iya, aku tahu kalau itu adalah kamu. Udah berapa lama jualan di sini?" tanya lelaki bercelana jins hitam itu.

"Aku baru aja jualan di sini. Oh, ya, ini ibu kamu, Rud?" tanyanya balik.

Tanpa menjawab, Rudi pun mengangguk dua kali.

"Aku kira kamu sudah di Medan bersama Diki. Kan, sewaktu sekolah kalian adalah orang-orang yang bakal jadi anak sukses karena giat belajar. Tetapi enggak masalah, ya, kuliah di sini pun akan membuat kamu bertambah pintar."

"Kamu enggak daftar sama Dila anak uwak aku? Dia sudah daftar dan cari tempat kos di Medan." Mereka pun semakin akrab, padahal ketika di sekolah saling merasa tidak kenal.

"Aku enggak kuliah, Rud. Karena ayah aku baru saja meninggal dunia. Jangankan untuk biaya kuliah, makan sehari-hari saja susah. Padahal ingin banget seperti mereka, tetapi sudahlah. Memang hidup ini adalah perjalanan, tidak ada yang bisa menebak besok akan seperti apa."

Bersambung ...

Ketua BEMWhere stories live. Discover now