27. Hikmah Di Balik Kegagalan

19 2 0
                                    

"Kamu yang sabar, mungkin belum rezeki kamu kerja di sini."

"Iya, Pak, terima kasih. Kalau begitu saya pamit pergi dulu, assalammualaikum," kata Rudi seraya menenteng tas ransel yang ia bawa.

"Wa'alaikumsallam ...," jawab pekerja berseragam merah itu.

Sepanjang jalan menuju rumah, Rudi merasa sangat kesal dan seolah segala yang ia lakukan sia-sia. Namun, di balik itu semua ada hikmah besar dalam hidupnya. Kini remaja itu sadar akan segala ucapan sang ibu, kalau ia harus tetap tinggal di rumah dan merawat ayahnya hingga sembuh total.

Setibanya di rumah, remaja bercelana keper hitam itu mendudukkan badan di atas kursi seraya menekan wajah menggunakan tangan kanan. Kemudian dari ambang pintu dapur sang ibu datang dan menatap kembali sejurus menuju putranya. Lalu ia menghampiri.

Melihat sang ibu telah hadir, Rudi menggeser posisi agar ibunya dapat duduk di sebelah kanananya. Menggunakan tangan kanan, sang ibu mengelus kepala putranya itu.

"Le, kamu kenapa diam aja? Gimana sama interview hari ini, lancar?" tanya sang ibu secara bertubi-tubi.

Tanpa menjawab remaja berambut cepak itu menggeleng dua kali, lalu ia menoleh sang ibu sangat melas. Dari gelagat sang putra, Khairia dapat menebak kalau anaknya sedang ada masalah. Namun, ia tidak lantas berkata melaikan memeluk sedikit.

"Kamu jangan terlalu berambisi pada hidup ini. Santai saja mengikuti air yang mengalir, karena suatu saat pasti indah pada waktunya. Percaya sama emak," papar sang ibu menjelaskan.

"Iya, Mak. Mungkin selama ini Rudi selalu berambisi, hingga tidak begitu kusyuk dalam melaksanakan salat."

"Ya, sudah, kamu mandi sana. Emak akan menyiapkan makan siang, kamu segera makan dan bantu-bantu di warung," titah si ibu menjelaskan.

Remaja itu mengangguk dua kali, ia pun membangkitkan badan seraya berjalan menuju kamar mandi. Dengan langkah gontai, Rudi pun memasuki kamar mandi seraya menatap cermin.

Dari pantulan sosok diri, ia memandang secara saksama wajahnya yang masih ada bekas goresan akibat kecelakaan beberapa minggu lalu.

Kemudian netranya bergerak sejurus pada badan dan ujung kakinya. Setelah semua bersih, remaja itu keluar dari kamar mandi dan segera berpakaian. Setibanya di meja makan, Rudi mendapati sang ayah tengah mendudukkan badan lebih dulu.

Sejak beberapa hari belakangan, Ramli selalu makan di dalam kamar, tepatnya di atas dipan. Namun, kali ini sudah dapat bergabung dengan anak-anaknya dan membuat Rudi sangat bersemangat dan senang.

Sembari menyiapkan nasi untuk sang ayah, Khairia juga mengambilkan adik-adik yang telah menunggu di atas kursi. Untuk mengawali ucapan, rasanya terasa sangat berat. Sehingga Rudi hanya membungkam dan bergeming tanpa suara.

"Le, kamu dari mana tadi? Sepertinya sangat sibuk banget?" tanya sang ayah.

Seketika Rudi membuyarkan lamunan, ia pun menatap mantap sang ayah di hadapannya. "Ah, i-iya, Yah. Tadi Rudi lagi mencoba melamar pekerjaan."

"Lantas, apa hasilnya?" tanya sang ayah lagi.

"Rudi gagal interview, Yah. Karena terlambat memasuki ruangan," jawabnya dengan sangat melas.

"Emang pemberitahuan dari tim enggak bisa kamu siasati jam berapa?"

"Sebenarnya tepat waktu, Yah. Namun, di tengah perjalanan Rudi menemukan dompet. Jadi Rudi putar balik dan mengembalikan dompet itu pada orangnya. Eh, pas Rudi kembali, malah telah selesai waktu interview."

Mendengar alasan itu, sang ayah pun terbungkam seraya menadahkan tatapan menuju permukaan meja. Kemudian ia kembali menoleh ke arah putranya sekilas. Dari samping kanan, Khairia pun menyodorkan piring kaca berisikan makan siang.

"Jangan dipikirin lagi, sekarang kamu makan yang banyak, Le. Setelah ini, bantu emak di warung saja," ujar Khairia sekenanya.

"Iya, Mak, mungkin belum rezeki Rudi." Remaja itu mengambil piring sodoran sang ibu dan mereka menyantap makan siang bersama-sama.

Dengan sangat lahap, Rudi menghabiskan nasi yang ada di piringnya. Rasa lapar akibat mondar-mandir sejak pagi, dan ia belum sempat mengganjal perut dengan sedikit pun makanan.

Kali ini sang waktu berhasil mengalahkannya lagi, karena cobaan bertubi-tubi tak lantas berhenti sejak kejadian yang menimpahnya beberapa hari lalu.

Bersama semangat yang mulai tumbuh kembali, remaja itu pun tidak ambil pusing dengan pekerjaan di toko penjualan barang sepeda motor. Sesekali sang ibu menoleh ke arah anaknya, ia pun mengelus rambut putra nomor duanya dengan penuh kasih sayang.

"Le, emang uang kamu ada berapa buat daftar kuliah?" Tiba-tiba, pertanyaan itu terlontar dari sang ibu.

Rudi pun memberhentikan aksinya, ia menatap mantap wajah sang ibu. "Ma-maksudnya, Mak?"

"Iya, emak mau tanya sama kamu, Le. Tabungan yang sudah kamu kumpul berapa?" tanya si ibu lagi.

"Hanya sedikit, Mak," jawab sang anak sangat pelan.

Khairia pun merogoh uang dari dalam kantong celananya, ia sudah menghitung lembaran-lembaran uang kertas sejak malam. Namun, kemungkinan masih tetap kurang, tetapi setidaknya ia sudah ambil andil dalam membantu sang anak untuk meraih impiannya.

Sang ibu meletakkan uang di atas meja, lalu ia berkata, "ini ada tabungan emak, hanya sedikit. Semoga bisa menambah tabungan kamu untuk daftar kuliah."

"Eng-enggak usah, Mak. Lagian ... Ayah masih sakit dan butuh biaya, nanti modal warung tidak ada," titah Rudi terbata-bata.

"Le ... orangtua mana yang tega melihat anaknya jungkir balik dalam mencari uang demi mencapai cita-cita. Asal untuk yang positif, emak akan selalu mendukung kamu dari depan." Bersama senyum simpul, sang ibu pun mengelus kepala putranya.

"Ta-tapi, Mak."

"Le, ini belum seberapa. Anggap aja gaji kamu selama bantuin emak di warung. Kan, kamu belum emak kasih apa-apa dari lebaran kemarin," ujar sang ibu seraya memutar potret kilas balik setahun yang lalu.

Tanpa mengambil uang di atas meja, Rudi memeluk ibunya dengan sangat erat. Kasih sayang remaja itu pada sang ibu memang teramat besar, ia sama sekali tidak pernah melawan kata-kata dari malaikat tak bersayap itu selama hidup ini.

Melihat sang putra telah tumbuh menjadi anak yang baik dan sopan, Ramli pun ikut tersenyum bangga pada Rudi. Karena sedari tadi ia membungkam, sekarang lelaki paruh baya itu angkat bicara.

"Le," panggil sang ayah singkat.

Seketika Rudi melepas pelukan, ia menoleh ke arah sang ayah. "Iya, Yah."

"Kamu enggak berniat peluk ayah juga?" tanyanya sangat melas.

Mendengar ucapan itu, Rudi menggaruk kepalanya tiga kali karena malu. "Eh, hampir lupa."

Remaja berusia dalapan belas tahun itu membangkitkan badan seraya berjalan menemui sang ayah. Tepat berada di posisi tempat duduk, Rudi memeluk tubuh lelaki berkulit cokelat karena telah lebam terbakar sinar matahari.

"Yah, sehat selalu. Jangan sakit-sakit lagi," kata sang anak menyemangati.

"Iya, ayah akan cepat sembuh. Kalau ayah sakit enggak ada yang marahin kamu lagi," cetus Ramli yang akhirnya membuat seisi rumah tertawa kekeh.

"Yo ojo dimarah toh, Yah. Anak'e wes gedi koyo bandot," ledek sang ibu sekenanya menggunakan logat bahasa Jawa.

Bersambung ...

Ketua BEMWhere stories live. Discover now