04. Hanya Menikmati Ritme Kehidupan

71 6 0
                                    

Wanita berbandana merah itu tengah menunggu di teras rumah, menanti sang putra yang tidak kunjung pulang. Sedari tadi ia hanya celingukan tanpa henti, dikarenakan cuaca di luar rumah sangatlah gelap seperti hendak hujan. Sementara cahaya petir juga menyapa dengan kilap lumayan ganas, menambah kekhawatiran itu tumbuh dan gelenyar dalam jiwanya.

Selang beberapa menit menunggu, wanita yang sering disapa dengan nama Khairia itu pun mencoba untuk melangkah keluar dari teras. Tujuan utamanya adalah—agar dapat menemukan Rudi yang sejak sore pergi dan berpamitan keluar. Setibanya ia di sebuah gang, sang anak pun tampak sejurus dikedua netranya dan berjalan dengan sangat gontai.

Kecemasan mendadak berubah menjadi sangat semringah, ekspresi itu ia buang sembari bergeming tanpa beringsut sama sekali. Semetara petir telah menyambar di atas langit-langit semesta, angin pun tampaknya sangat ganas dan ingin melibas siapa pun yang menghalangi. Karena merasa sangat bersalah, remaja bercelana ponggol itu mendekati sang ibu dengan tatapan heran.

"Mak, kenapa ada di sini?" tanya Rudi penuh selidik.

"Kamu dari mana saja, Le ... emak nyariin kamu daritadi enggak nongol-nongol di rumah," jawab Khairia dengan tatapan melas.

"Yah, si Emak. Kan, Rudi sudah pamit mau pergi ke rumah Diki, kenapa pakai dicariin lagi? Seperti enggak biasa aja," pungkas sang putra seraya menatap langit-langit yang hendak roboh ke bumi.

Karena tidak ingin memperpanjang ucapan, sang ibu pun menarik tangan anaknya dengan sangat erat. "Yuk, kita pulang. Sudah mulai gerimis, nanti ayahmu marah lagi."

Tanpa menjawab, Rudi pun berlari bersama sang ibu agar terhindar dari percikan gerimis. Lamat-lamat, curah air hujan menjadi sangat ganas dalam hitungan detik, membuat kedua insan tersebut basah dan berjalan pun tidak tentu arah lagi. Bersama tapakan limbung, keduanya sampai di depan rumah seraya membuang tatapan lucu.

"Kamu masuk duluan, Le. Emak mau tutup warung dulu," ucap sang ibu.

Karena merasa sangat jorok akibat percikan tanah liat, remaja berambut cepak itu pun memasuki rumah dengan langkah yang sedikit lambat. Rudi menelusuri permukaan lantai seraya menatap secara saksama orang-orang di dalam rumah, adik-adiknya tampak sangat biasa saja melihat sang abang yang telah basah kuyup.

Setibanya di ambang pintu, sang ayah pun datang dengan memperbaiki kopiahnya. Kemudian, lelaki paruh baya itu menarik napas berat seraya bergeming tanpa suara.

"Dari mana kamu, Rud?" tanyanya masih dengan suara biasa saja.

"Ru-Rudi, Rudi dari rumah teman, Yah," titah remaja polos itu terbata-bata.

"Ini sudah jam berapa! Berapa kali ayah bilang, kalau ke rumah teman jangan pulang magrib. Pasti kamu enggak salat, kan! Main-main aja kerja kamu itu, susah banget diatur orangtua."

"Rudi salat, kok, Yah. Di rumah Diki, bersama keluarganya," jawab Rudi memperjelas.

"Banyak alasan kamu! Buruan mandi, ayah mau ngomong sama kamu di meja makan. Cepat!" pekik sang sang ayah dengan nada suara lantang.

Setelah berucap kasar, lelaki paruh baya itu pun pergi begitu saja dari hadapan sang anak. Mereka terpisah dari ambang pintu yang menghubungkan antara ruang televisi dan dapur. Dengan tatapan takut, Rudi pun menarik napas berat seraya berjalan laju ke kamar mandi.

'Hmmm ... pasti ayah mau ngajak debat lagi. Kenapa, sih, sama anak sendiri begitu banget. Emang aku anak tiri apa, ya? Sudahlah, walaupun begitu sifatnya, ia tetap ayah aku juga,' gumamnya dalam hati.

Badan yang sudah bersih bersama rambut khas naik ke atas udara, bagai gaya bulu landak. Kini remaja itu mendudukan badan di samping sang ayah, mereka pun seperti hendak membuka forum pembahasan seperti konferensi meja bundar di Denhag, Belanda.

Khairia datang dari dapur dengan membawa lauk malam ini, lalu ia mendudukkan badan di samping sang putra yang sedari tadi membungkam tanpa suara. Sementara adik-adik kandung Rudi telah makan lebih dulu, mereka tidak peduli dengan nasib apes abangnya yang akan menghadapi jurus seribu bayangan dari sang ayah.

"Rud," panggil lelaki paruh baya itu.

"Iya, Yah, ada apa?" tanya sang anak seraya menatap kedua netra ayahnya secara saksama.

"Mulai besok kamu kerja sama ayah saja, nanti akan ayah ajari kamu untuk cari uang tanpa kuliah. Yang pasti, setiap satu minggu sekali akan dapat gaji," papar sang ayah menjelaskan.

"Kerja apa, Yah?" tanya Rudi penasaran.

"Kerja apa ajalah, yang penting bisa menghidupi ekonomi keluarga dan dengan cara yang halal," pungkas sang ayah.

"Ta-tapi, Yah ...."

"Le, kamu ikut aja kerja sama ayah kamu. Barangkali nanti uang gajinya bisa ditabung untuk bantu-bantu biaya daftar kuliah," ujar sang ibu yang menyambar dari samping.

"Jangan ikuti kata ibu kamu, Rud. Kalian berdua sama saja, aku mengajak dia kerja agar tau cari uang itu susah. Bukan memberikan peluang untuknya menghabiskan uang," pungkas sang ayah.

Mendengar ucapan itu, keduanya pun diam dan hanya menadahkan tatapan menuju meja. Sementara lelaki paruh baya itu pun beringsut pergi dan menemui anak-anaknya yang lain di depan televisi. Tapakan lembut juga diberikan pada sang adik seraya memberikan nasihat.

"Nak, kalau sudah besar, kalian jangan nyusahin kayak abangmu itu. Dikasih tahu ayahnya tidak mau, dan lebih mementingkan egonya saja." Terdengar samar, sindiran sang ayah melalui adik-adiknya.

"Iya, Yah, kami akan ikuti semua nasihat Ayah. Kan, kita adalah orang susah," jawab adiknya Rudi, anak nomor tiga.

"Nah, kamu aja yang masih SMP pikirannya udah dewasa. Enggak kayak abangmu itu," celetuk lelaki bersarung itu lagi.

Karena merasa sangat tidak tahan, Rudi pun menitihkan air mata seraya menatap nasi di piring kaca. Tak terasa, bulir bening itu membasahi piring dan mengeluarkan isak tangis kecil. Sementara dari samping, Khairia mengelus pundak putranya seraya mencium rambut anak laki-laki tertua dikeluarga mereka.

"Kamu yang sabar, Le ... emak akan bantu kamu cari biaya untuk daftar kuliah. Yang penting, kamu bantuin emak jualan dan jangan tinggalkan salat," sambar sang ibu dengan mengikuti ritme kesedihan malam itu.

Makan malam pun telah selesai, remaja yang masih mengenakan celana ponggol itu melangkah menuju kamarnya, ia melihat beberapa postingan dari sahabat-sahabatnya yang sudah mengenakan almamater kebanggan kampus. Bahkan Diki—sahabatnya juga telah lulus perguruan tinggi negeri.

Setelah lama menatap cermin, Rudi pun kembali memutar alat pantulan sosok diri itu seraya menekan kepala menggunakan kedua tangan. Cengkeraman keras mendarat sempurna dan menyisir rambut ikalnya yang sempat keras karena minyak rambut.

"Pokoknya, besok aku harus cari kerja lagi. Iya, harus cari kerja lagi agar bisa nabung dan kuliah. Tuhan tidak akan mencoba hambanya melebihi batas dari kemampuan hambanya. Aku yakin itu, pasti ada jalan keluar di balik ini semua."

Rudi pun membangkitkan badannya seraya merebahkan kedua sayap di atas dipan. Semilir angin menghampiri dan masuk dari lubang ventilasi. Cahaya petir seolah menggambarkan suasana hati remaja berusia delapan belas tahun itu, bersama dengan sebuah ironi yang belum bisa ia takhlukkan.

Bersambung ...

Ketua BEMWhere stories live. Discover now