07. Zaman Kebodohan

44 4 0
                                    

Kehidupan adalah sebuah misteri, terkadang membutuhkan waktu lama untuk menyingkap tabir segalanya. Termasuk ironi yang datang silih berganti memboyong sebuah masalah. Jika tidak kuat iman, maka segala akal sehat akan hilang dan kalah dengan sebuah realita.

Zaman kebodohan telah berlalu, membawa setiap insan manusia untuk lebih banyak mengenal ilmu daripada keegoisan dengan sekadar belajar melalui pertumbuhan alam.

Dedaunan bergesek indah pada udara, seolah merontah dan bersatu dalam darah. Denyut jantung pun membelenggu sebuah kepastian, menanti adalah cara terbaik untuk menunggu saatnya tiba.

Manusia hanya sekadar penentu dari segi peran, mengikuti skenario yang ada dan ia adalah Tuhan penguasa alam semesta. Tidak ada satu orang pun yang mampu lari dari kenyataan sebenarnya, akan tetapi di balik segala ironi tersebut, sebuah kenyataan pahit bisa dirubah menjadi manis jika mau.

Hakikatnya, takdir itu hanya digariskan pada orang yang tidak mampu melangkah dan ia akan terpuruk. Jika manusia berhasil menyingkap perihal jati diri, ke mana akan melangkah, dan bagaimana ia hendak merubah. Kemungkinan ironi atau garis tangan akan berubah. Seperti halnya remaja yang sedang diruntuk nestapa.

Alasan untuk membuat kehidupan lebih indah tak menjadi nyata karena sebuah sikap, pentingnya sebagai manusia untuk memberikan kesempatan pada orang lain sangat perlu, tidak memukul rata semua sifat bahkan ia yang sengaja ingin tobat ke jalan yang semestinya.

Berada di tepian menatap zaman kebodohan, menepis segala akal logika dengan mengiyakan semua yang tampak jelas oleh nyata. Terkadang manusia lupa, bahwa pendidikan adalah yang utama dalam hidup ini.

Harta adalah hiasan semata, seberapa banyak pun materi bangkai dunia akan sirna tanpa dikelola oleh manusia yang tidak berakal.

Sehingga daripada itu, ilmu adalah harta yang paling berharga hingga akhir usia, bahkan ketika manusia menutup kedua mata. Jangan pernah mau terbelenggu pada zaman kebodohan, karena hakikatnya keberhasilan itu harus dicapai, bukan sekadar dilihat.

Kebanyakan dari penghuni bumi hanya mengagungkan apa yang ia lihat, menatap kesuksesan orang dan tidak mau mencari potensi apa yang ada pada dirinya. Semua adalah penjelasan perihal hidup, tidak ada arti dan hanya sekadar menghela napas meskipun tiada perubahan sama sekali.

{Sesungguhnya engkau adalah manusia merugi, karena hanya sekadar hidup tanpa tahu ke mana dikau akan menemukan jati diri.]

Bagaimana rasanya berdamai dengan waktu, bagai berjalan di musim semi dengan udara yang tidak terlalu panas, dan tak terlalu dingin. Sebagai insan biasa, adakalanya mengikuti arus adalah cara terbaik. Bukan pasrah, hanya saja menyadarkan tanpa harus mengeluarkan kata-kata.

Ritme permainan hidup memang seperti itu, melawan kehendak kedua orangtua adalah dosa besar. Lalu apa yang bisa dilakukan, hanya berdiri di tepian sembari berharap pada yang Maha Kuasa untuk menyadarkan hati dan mau menatap potensi terpendam bagi orang yang merasa.

Tepat di atas meja, remaja berbadan tidak terlalu tinggi itu mendudukan badannya, ia menatap sebuah teko berisikan kopi hangat. Lalu, kelihaiannya dalam berucap seolah mampu membuat siapa pun yang mendengar akan terkesima, tetapi tidak orangtua. Diselingkuhi oleh sebuah perasaan, menggoyangkan setiap pemikiran yang pernah tercipta.

"Mak, kok, daritadi enggak makan?" tanya Rudi kepada ibunya.

"Enggak, Nak, kamu saja dulu yang makan." Selepas berkata, sang ibu pun mengambil lauk paling enak dan berukuran besar hanya untuk anaknya.

"Mak, kenapa selalu Rudi yang memakan lauk paling besar. Kan, di rumah ini ada banyak orang. Apakah mereka tidak bisa merasakan yang lebih nikmat dari yang lainnya?" tanya sang putra seraya menatap sekilas, lalu ia mengambil ikan itu dan kembali meletakkan di atas piring semula.

Khairia—ibunya pun menatap sang putra, menarik napas berat seraya mengedarkan senyum simpul. Kemudian, wanita paruh baya itu menatap sang suami yang sedang sibuk dengan kopi hangatnya di tangan kanan.

"Rud, kamu pagi ini enggak usah ikut ayah dulu. Sebaiknya istirahat di rumah, dan kamu tampak sangat lelah sekali," suruh sang ayah.

Remaja itu menggelengkan kepalanya dua kali, ia pun menjawab, "Yah, apa pun ceritanya Rudi harus kerja bareng Ayah."

"Kenapa seperti itu? Kalau kamu pingsan, nanti siapa yang repot, Nak?" tanya Ramli—ayahnya.

"Yah, pagi ini sangatlah indah, pasti semua bisa saya lalui sendirian demi sebuah cita-cita," pungkas sang putra.

"Apa cita-citamu, Nak? Jangan buat Ayah menjadi serba salah dengan mengajak kamu bekerja," papar sang ayah lagi.

"Rudi cuma mau dalam satu bulan ini bekerja dengan Ayah, demi dapat uang agar bisa daftar kuliah. Selepas itu, Rudi akan cari kerja sampingan malam hari agar bisa bayar biaya lainnya. Insyaallah ... tabungan Rudi semasa SMA masih ada untuk menambah," jelasnya tanpa rasa takut dan ragu.

Tepat di hadapan sang ayah, remaja itu hanya menanti emosi yang overload memuncak dari lelaki berkopiah hitam sedikit miring di kepalanya. Sebagai hari-hari biasanya, ia akan marah jika ada anak yang menentang setiap ucapannya.

Akan tetapi pagi itu tidak, Ramli malah menadahkan wajah menuju permukaan meja makan, ia pun tak melanjutkan kata-kata untuk berucap. Entah kenapa, lelaki paruh baya yang biasa disapa dengan nama pahlawan keluarga pun membungkam dan tidak mau memarahi putranya.

"Kalau kamu memang mau bekerja, ayah enggak maksa. Namun, kalau nanti lelah, kamu boleh istirahat kapan pun karena tujuan ayah tidak menjadikan anak sebagai budak di sana," pungkas sang ayah sembari membangkitkan badan dan beralih dari meja.

Wanita yang sedang mengikat rambutnya menggunakan tali rafia itu menyentuh pundak sang putra, kemudian ia mengelus penuh kelembutan.

"Le, sekeras apa pun batu karang, pasti akan pecah terkikis ombak. Kamu enggak perlu emosi dan mengeluarkan otot dalam berucap, karena semua ada jalan keluarnya." Selepas berkata, sang ibu pun juga membangkitkan badan seraya berjalan menuju dapur.

Karena pagi itu telah memancarkan semburat arunika sangat cerah, Khairia pun mengambil kating dan menentengnya di tangan kanan. Gaya tersebut membuat Rudi semakin sedih, karena teringat semasa kecil ketika ia belum sekolah dulu.

Setiap pagi, remaja laki-laki itu selalu mengikuti sang ibu berbelanja, hingga ia hafal jalan menuju pasar dan pulang sendirian.

'Mak, suatu saat nanti kehidupan kita akan berubah. Rudi telah janji pada diri sendiri dan Tuhan, kalau merubah tidaklah sesulit mempertahankan. Sesungguhnya, Tuhan bersama umatnya yang mau bergerak dan mencapai. Emak tampak cantik, aku suka raut wajah gigih Emak.'

Selepas berkata, Rudi pun menyudahi sarapan dan membangkitkan badan membawa piring kotor ke dalam kamar mandi. Tepat di ambang pintu, sang ayah terlihat seperti tengah memanasi mesin motornya, lalu remaja itu berjalan menghampiri.

"Yah, kita pergi sekarang?" tanyanya dengan nada suara parau.

"Iya, Le. Kamu bawa sekop dan palu itu lagi, biar ayah yang bonceng," jawab Ramli sembari mendudukan badan di posisi depan, ia pun mengambil alih dalam berkendara.

Bersama dengan tarikan gas 40 KM/jam, mereka berdua sampai ke lokasi dengan memakan waktu sekitar lima belas menit. Akan tetapi, kehadiran keduanya selalu yang paling cepat dibanding pekerja lainnya.

Meskipun begitu, Ramli tidak iri pada rekan satu pekerjaan yang baru akan tiba sepuluh menit lagi. Dengan menyusun beberapa batu, kedua laki-laki itu pun saling bekerjasama dalam membangun proyek yang sebentar lagi akan selesai.

Bersambung ...

Ketua BEMWhere stories live. Discover now