#45: Hari pun Berlalu

12.5K 1.2K 158
                                    

Maya sangat bersyukur. Karena selepas menjenguk laki-laki itu semuanya seolah kembali normal. Ibunya tak lagi bersikap seolah menyalahkannya. Dan Riska juga selalu mendengar cerita-ceritanya. Apalagi setelah Maya mulai merasakan nyeri di pinggang, dan kadang-kadang kakinya juga mengalami keram—mungkin dikarenakan usia kandungannya yang semakin bertambah besar—dan Maya akan mendapat tips akurat dari Riska untuk menangani keluhan kehamilannya itu.

Setiap beberapa minggu sekali, Maya juga akan berkunjung ke panti asuhan untuk bertemu dengan Luna dan beberapa anak lainnya yang mulai akrab juga dengannya. Maya juga akan  mengijinkan mereka untuk mengelus perutnya—terutama saat janin dalam perutnya tengah bergerak aktif—dan mereka semua akan langsung menampakkan raut takjub, disertai dengan tawa senang yang rupanya mudah sekali menular.

Rutinitas hariannya sebagai staf akuntan juga tidak mengalami kendala berarti. Maya akan berangkat bekerja setiap senin sampai jum’at, dan libur di hari sabtu-minggu. Di sela-sela libur, Maya akan menghabiskan waktunya dengan menemani ibunya belanja, pergi ke dokter kandungan, pergi ke panti asuhan, menerima kunjungan Riska ataupun berkunjung ke rumah Riska, janjian dengan Novi untuk makan di tempat hits ataupun pergi menonton film terbaru. Maya seolah kembali pada rutinitasnya sebelum menikah. Hanya bedanya, saat ini perutnya semakin bertambah besar dan ada janin di dalamnya. 

Maya tidak pernah sekalipun mendapat gangguan dari laki-laki bajingan—yang tidak pernah ingin dia sebut namanya—maupun keluarganya. Seolah harapan Maya untuk terbebas dari masa lalu yang tak ingin diingatnya itu terkabul dengan sangat luar biasa. 

Tanpa terasa, hari-hari pun berlalu dengan cepat. Maya dan kedua orang tuanya sudah menyiapkan semua hal penting dalam mempersiapkan kelahiran anak pertama Maya. Mulai dari memilih tempat bersalin, menentukan metode persalinan, mengikuti senam hamil secara rutin, mengikuti kelas ibu hamil, sampai dengan berbelanja kebutuhan bayi dan mendekorasi salah satu kamar untuk menjadi kamar bayi, walaupun Maya bilang kalau bayinya tidak akan dibiarkannya tidur sendirian—akan tidur satu ranjang dengan Maya.

Saat HPL tinggal satu setengah bulan lagi, Maya sudah mengambil cuti dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Setiap pagi seusai shalat shubuh, Maya ditemani ibunya akan berjalan santai di sekitar komplek rumah, dan berakhir dengan bergosip ria di depan pedagang sayur keliling. 

Saat hari perkiraan kelahiran Maya semakin dekat, ibu dan ayahnya menjadi lebih protektif pada Maya. Seolah melihat perut anaknya sudah teramat membesar—sampai Maya harus sering-sering memegangi pinggangnya saat akan berdiri setelah duduk dari sofa—membuat mereka akan serta merta memegangi tangan Maya untuk membantunya berdiri. Terutama saat Maya akan membantu membereskan rumah, entah itu menyapu, memasak atau mencuci piring, ibunya pasti akan langsung melarang Maya mentah-mentah. Dan menyuruh Maya untuk duduk saja dan tidak boleh terlalu kecapean.

“Gimana mau kecapean, Bu, orang aku selalu duduk terus kok. Mau ngambil minum di dapur aja, malah ibu yang langsung ngambilin kan,” protes Maya pada ibunya.

“Ibu nggak tega ngelihat perut kamu udah besar banget gitu, May. Mau jalan aja kayaknya kamu harus susah payah banget.”

Maya tertawa kecil. “Yang namanya lagi hamil ya kayak gini, Bu.”

“Iya sih, cuman beda banget rasanya pas lihat anak sendiri hamil gede. Berasa pengen selalu jagain terus bawaannya.”

Maya mau tak mau jadi tersenyum. “Makasih banyak ya, Bu. Ibu sama Ayah udah bantuin nyiapin semuanya buat persiapan kelahiran anakku ini.” Maya mengatakannya sembari mengelus-elus perutnya dengan lembut.

“Sama-sama, May. Yang penting nanti proses kelahirannya bakal lancar. Kamu dan anak kamu akan selalu diberikan keselamatan dan kesehatan sama Allah SWT.”

Harga Untuk LukaWhere stories live. Discover now