01. Kisaran 2022

805 13 3
                                    

Remaja laki-laki itu berlari di tengah hujan yang mengguyur seisi kota, menyeberangi jalan lintas melalui zebra cross. Dengan memeluk sebuah map berwarna biru tua, dia menahan keringat yang hendak turun menepikan kesedihannya.

Tepatnya di tepian trotoar, remaja yang kerab disapa dengan sebutan Rudi itu berhenti. Hanya sekadar menumpang berteduh pada sebuah toko baju, yang berada di pusat kota Kisaran. Pagi itu tidak bersahabat, cuaca seakan tidak merelakan siapa pun untuk menjalani aktivitas.

Seperti halnya hati seorang laki-laki berusia delapan belas tahun itu, ia merasa sangat gelisah dengan perseteruannya tadi malam di rumah. Baru saja satu hari ia dinyatakan lulus sekolah, tepatnya di Sekolah Menengah Atas yang berada tidak jauh dari tempatnya bergeming.

Tetesan air hujan membasahi semesta, mengalir indah bersama ironi kehidupan yang kian hari terasa sangat menyedihkan. Ini adalah perihal bungkamnya cita-cita untuk melanjut. Dilema terbawa arus kehidupan, sudah bagai berada di atas daun talas.

Untuk bertahan dan menggapai rasanya sangatlah sulit, keterpurukan ekonomi membuatnya tidak mampu bernapas lega. Kini hanya ada kertas putih bertinta hitam yang ia bawa, mencari pekerjaan yang sesuai untuk kelangsungan hidupnya.

Akan tetapi, remaja tersebut tidak mendapatkan apa pun sejak pagi kepergiannya dari rumah. Sungguh lelah mencari pekerjaan, apalagi tidak memiliki skill dan hanya mengandalkan ijazah SMA saja. Karena hujan tak kunjung redah, Rudi pun bergeming seraya menatap layar ponselnya yang sempat basah.

Arloji menunjukan pukul 13.00 WIB, dan sudah masuk waktunya makan siang. Dengan bersemangat, remaja yang mengenakan pakaian berwarna hitam dan putih itu mencopa keluar dari tempat berteduh.

Tujuan ia adalah sebuah rumah makan yang ada di tepian trotoar. Namun, ketika ia hendak melangkah pergi, dirinya baru sadar kalau belum melaksanakan salat Zuhur.

Akhirnya kedua kakinya pun melangkah ke samping, sementara netranya menatap sejurus pada musala di samping toko pakaian itu. Secara saksama, pemuda berdasi hitam itu bergeming, mendengarkan sebuah panggilan hati yang menggema di sana. Entah kenapa, ada sesuatu dengan cahaya yang meredup dan terang di atas musala itu.

Tanpa ragu lagi, Rudi pun pergi menuju musala dan melepas sepatunya yang baru saja ia beli beberapa hari lalu. Sejenak ia masuk ke dalam kamar mandi dan mengambil air wudu. Kemudian tujuan selanjutnya adalah masuk ke dalam musala, meletakan lamaran pekerjaan di atas lantai yang tidak jauh dari tempatnya duduk kala itu.

Orang-orang simpang siur di hadapannya, seakan tidak peduli perihal kehadiran remaja yang saat ini sedang merasakan dilema berat perihal hidup. Salat zuhur pun ia lakukan, walau sedikit terlambat dikarenakan sesuatu hal. Akan tetapi tidak ada yang namanya menjauh dari seruan azan, Rudi merupakan anak paling taat ibadah dibandingkan yang lainnya di rumah.

Selepas melaksanakan salat wajib, ia pun berdoa sejenak seraya menadahkan tangan ke udara. Semburat arunika masuk melalui jendela kaca, semilir angin pun ikut ambil andil dalam lantunan doa remaja itu.

Selepas berdoa, Rudi pun membangkitkan badannya seraya berjalan gontai ke belakang badan. Tatapan sejurus dengan sedikit bulir bening air mata menetesi map biru tua.

'Ya, Allah ... kenapa susah sekali mencari pekerjaan. Apakah karena aku selama ini terlalu asyik dengan duniaku, hingga melupakan siapa diri-Mu. Akan tetapi tidak mungkin, karena aku adalah orang yang selalu hadir di setiap doa untuk berkomunikasi dengan-Mu. Jika hamba salah, mohon ampuni segala dosa-dosa hamba.'

Selepas bersenandika, Rudi pun memeluk map biru itu dan kembali memakai sepatu pansus berwarna hitam pekat. Karena ia merasa sangat lapar, langkah kakinya pun menuju ke sebuah warung nasi yang ada di tepian trotoar.

Di sana Rudi bergeming sejenak, menatap isi dompet yang masih ada beberapa lembar uang. Kemarin ia sempat membuka celengan miliknya yang sudah lama ditabungkan, demi untuk biayanya mencari pekerjaan. Namun, seketika hatinya tersentak dengan seorang wanita berhijab hitam di hadapan.

Wajah yang sudah lumayan tua, masih gigih berjualan meskipun hujan tengah melanda seisi kota. Teringat akan wajah sang ibu di rumah, yang rela banting tulang dan menguras keringat demi biaya hidup.

'Ah, sepertinya aku tidak makan di luar. Kasihan emak di rumah, kalau uang ini aku berikan padanya saja—pasti ia akan senang. Hmm ... baiklah, sebaiknya aku makan di rumah saja bersamanya,' kata Rudi bermonolog.

Dengan berjalan kaki, Rudi pun sampai di depan rumahnya dengan pakaian yang sudah basah. Berjalan dari tepian toko orang, membuatnya harus menahan lelah setelah seharian mencari kerja.

"Assalammualaikum ...," sapa Rudi seraya mencium punggung tangan sang ibu.

"Wa'alaikumsallam ... kamu dari mana, Rud. Kok, emak cariin dari pagi enggak ada di rumah?" tanya wanita paruh baya itu.

"Rud-Rudi ... lagi cari kerja, Mak, di kota. Biar bisa bantu-bantu uang kuliah nanti," jawab remaja yang saat itu mengenakan seragam hitam dan putih.

"Nak, kamu jangan buru-buru cari kerja dulu. Lagian, di rumah emak juga jualan. Kamu bisa bantu-bantu, apalagi ayahmu juga kerja, kan, bisa ikut."

"Tapi, Mak ... Rudi ingin bisa kuliah, agar salah satu dari anak Emak ada yang bisa sarjana. Kenapa, sih, sepertinya enggak ada dukungan buat Rudi melangkah." Selepas berkata, remaja itu meletakan map birunya di atas meja.

Wanita paruh baya itu pun menghela napas berat, kemudian dia menjawab lagi, "Rudi, bukan emak enggak mau dukung kamu, Le. Tapi kamu baru juga lulus sekolah, emang sudah buka pendaftaran untuk kuliah?"

"Seenggaknya Rudi dapat persetujuan, lah, karena kepastian yang Rudi butuhkan. Kalau Emak saja tidak yakin, pasti anakmu ini tidak akan bisa melangkah dengan baik, Mak," pungkas Rudi seraya menatap sang ibu dengan netra berkaca-kaca.

"Yo, wes, mangan sek. Ben Bapakmu muleh, emak ngomong alon-alon. Dadi wong, yo, sabar toh Le ... ojo emosi wae. Emak ambil nasi dulu, kamu lekas ganti baju," suruh si emak dengan berjalan ke warungnya.

Rudi yang kala itu sudah sangat kehabisan akal, berjalan bersama kekesalan dan membuang tas yang ia sandang di pundak. Tepat di dalam kamar berukuran sepetak, remaja itu pun mengganti pakaian yang tadinya sangat basah dan sudah berubah sedikit kecokelatan.

Kemudian Rudi kembali berjalan menemui ibunya yang berada di warung, dengan menggunakan celana ponggol pendek, serta baju kaos lengan pendek. Di tangan kanannya sudah ada ponsel yang memperlihatkan beberapa temannya di akun social media, begitu cepat para sahabat Rudi mendapatkan pekerjaan, bahkan lebih dulu darinya.

Padahal, kalau bisa dibilang, Rudi adalah siswa yang lumayan pintar di sekolah. Namun, ironi berkata lain perihal apa yang ia alami saat ini. Beberapa menit mendudukan badan, wanita paruh baya itu datang dengan membawa piring dan air mineral.

"Rud, makan dulu. Jangan main HP aja," kata sang ibu dengan nada suara sedikit parau.

Remaja itu mengambil piring sodoran si ibu dengan tatapan yang sedikit pongah, lalu ia menyantap menu seadanya dan kedua netranya masih pada layar ponsel di hadapan. Tak berapa lama, notifikasi Whatsapp pun masuk dan menggetarkan ponsel, membuat Rudi menatap secara saksama pesan singkat dari sahabatnya itu.

Ternyata undangan syukuran dari sang sahabat karena telah mendapatkan pekerjaan, membuatnya bertambah muak untuk hadir dan sekadar menyemangati.

Bersambung ...

Ketua BEMWhere stories live. Discover now