Penculikan

8 6 1
                                    

"Paman, Laila izin pergi, ya." Laila berdiri di depan Mark yang sedang duduk di sofa dengan tangan yang memegang koran.

"Mau ke mana, La?" Mark mengangkat alisnya, menatap heran Laila dari atas hingga bawah. Penampilan Laila benar-benar rapi.

"Mau berbelanja, Paman. Laila membutuhkan sesuatu," jawab Laila, mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

"Kenapa tidak bilang kepada Paman, La? Paman akan menyuruh pelayan untuk membelikan sesuatu yang kamu butuhkan itu." Mark bergerak bangun, hendak memanggil pelayan untuk ia perintahkan.

"Tidak perlu, Paman. Laila ingin pergi sendiri. Laila pamit, ya."

Laila langsung pergi setelah bersalaman dengan Mark, pergi ke pusat perbelanjaan dengan mobil yang sudah Mark siapkan.

"Astaga, kenapa mobil ini sangat tidak enak di pakainya?" Laila menggerutu seraya mengerucut bibirnya, menatap fokus jalanan.

"Aku mau baju yang ini, dan ini." Laila menunjuk baju dengan model kesukaannya kepada sales promotion girl yang sedari tadi menemaninya saat memilih-milih pakaian.

"Aku rasa, lebih baik singgah ke restoran dulu. Perutku sudah mulai lapar."

Laila memakan makanan dengan sangat nikmat, menghayati suasana itu, karena ia yakin, jika ia sudah berada di rumah, ia tak akan dapat merasakan suasana itu lagi.

"Eh, kenapa jalanan ini sepi sekali? Tadi tidak seperti ini." Laila melirik waswas sekitarnya, tetap mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Laila menjadi panik tatkala tak melihat satu orang pun yang lewat di jalur yang ia lewati.

Laila mempercepat laju mobilnya, berharap segera sampai ke mansion Mark dengan selamat.

"Loh? Kok tidak bisa di rem?" Laila mendadak panik, mencoba menginjak berkali-kali pedal rem, berusaha menghentikan mobilnya yang sudah terlanjur melesat dengan kecepatan di atas rata-rata.

"Kenapa begini? Astaga .... Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa tidak berkurang sedikit pun kecepatannya?" Laila terus menginjak pedal rem tanpa henti, wajahnya berubah menjadi pias.

Tak mempunyai pilihan lain, Laila langsung membanting setir mobil ke arah hutan, menabrakkan mobilnya pada pohon beringin yang tumbuh kokoh di hutan itu.

"Uh! Sakit sekali." Jidat Laila terbentur dashboard mobil, sehingga menimbulkan luka pada jidatnya. Di pangkuannya terdapat pecahan kaca mobil, sehingga menggores sedikit paha mulusnya yang tak tertutupi oleh rok.

"Kenapa hari ini aku sangat sial? Siang hari di cekik, malam hari pun harus mengalami kecelakaan."

Laila mengibaskan tangannya, menghindari asap yang keluar dari dalam mobil yang berusaha masuk ke dalam hidungnya.

"Uhuk ... uhuk .... Aku harus keluar dari sini. Tapi, kenapa pintu mobil ini sangat susah di bukanya?" Laila menggedor-gedor kaca mobil, berharap kaca itu pecah dan ia dapat dengan segera keluar dari dalam mobil yang sudah mulai menyiksanya karena ia tak mendapatkan oksigen.

"Ayolah, siapa pun, tolong aku ...." Laila berteriak, tak sedikit pun menghentikan pergerakan tangannya untuk menggedor kaca.

"Semakin menyesakkan." Laila memegang lehernya, memukul-mukul dada berkali-kali dengan tangan lainnya yang masih berusaha memecahkan kaca mobil.

Laila berhasil memecahkan kaca mobil dengan kedua tangannya, mengeluarkan kepalanya terlebih dahulu untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya. "Aku harus segera keluar dari mobil ini."

Laila berhasil keluar dari dalam mobil, berjalan menjauh dari lokasi kecelakaan, menghindari ledakan yang akan mungkin terjadi pada mobilnya.

"Kenapa mobil Paman bisa blong? Sangat teringat di ingatanku jika  paman menggunakan mobil ini saat ia pulang dari pusat perbelanjaan. Lalu, kenapa sekarang tiba-tiba menjadi blong? Paman 'kan sudah tidak menggunakan mobil itu setelah hari itu."

Laila mengusap wajah kasar, terduduk lemas di atas tanah yang di tumbuhi oleh rumput-rumput liar.

"Ya Tuhan! Handphoneku masih di dalam mobil." Laila memekik, berlari dengan tergesa-gesa tanpa memperdulikan pernapasannya yang masih belum stabil.

"Handphoneku ... handphoneku .... Di mana handphoneku?" Laila mengacak-acak bagian tempat kursi pengemudi, mencari handphonenya yang ia ingat ia letakkan di atas dashboard mobil.

"Sial! Kenapa tidak ketemu?" Laila berkecak pinggang, menjambak rambutnya dengan perasaan kesal.

"Apa handphonenya terjatuh sehingga .... Ehmmm ...."

Mata Laila terbelalak, badannya memberontak saat sebuah tangan membekap mulutnya secara tiba-tiba dari arah belakang.

Laila menahan badannya saat ia di seret paksa untuk mengikuti langkah makhluk yang menyeretnya.

"Ehm ... ehm ...." Laila menancapkan kuku panjangnya pada tangan yang masih setia menutup mulutnya dan terus menarik kepalanya, orang itu sesekali memukul kepalanya jika ia tak menuruti pergerakan orang yang telah menyeretnya.

"Siapa kau, bren****?" teriak Laila setelah mulutnya berhasil terlepas dari bekapan.

"Diam!"

Laila di paksa duduk di atas kursi yang sudah di penuhi oleh rayap, ia di ikat di sana dengan mulut yang di tutup oleh lakban hitam.

Laila mencoba mempertajam pengelihatannya di antara gelapnya ruangan yang ia tempati, mencoba melihat wajah orang yang telah menyekapnya seperti ini.

"Tunggu di sini!"

Deg! Laila mengenali suara itu. Laila memberontak, bergerak ke kanan-kiri agar terlepas dari ikatan tambang yang mengikat dirinya bersama kursi yang ia yakini sudah keropos, karena selalu berbunyi setiap kali ia bergerak.

"Ehm ... ehm ...." Laila mencoba bersuara, meminta orang di depannya untuk membukakan lakban hitam yang menempel di mulutnya.

"Ha-ha-ha ...."

Laila semakin memberontak saat suara tawa orang lain yang sangat di kenalnya mendekati dirinya.

"Selamat datang, adik."

Laila memundurkan wajahnya, menghindari kontak mata.

"Aku senang, kamu tahu alasannya kenapa?"

"Aku sangat senang saat mengetahui jika kamu selamat dari kecelakaan maut yang telah kami rencanakan. Ups! Apa tak apa jika aku mengatakannya, Ca?"

"Ha-ha-ha .... Tak apa, Kak. Aku tahu, kamu pasti sudah mengetahui siapa kami, 'kan?"

Laila membuang pandangannya, mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Tak usah berlagak tak mengenali kami, Laila. Kedua kakakmu ini tak akan menyakitimu. Namun, kami hanya ingin membuatmu menderita," ujar Aca dengan tersenyum sinis.

"Percuma saja kamu berbicara dengannya, Ca. Mulutnya tertutup, ha-ha-ha ...." Keduanya tertawa dengan sangat kencang, bertepuk tangan atas keberhasilan yang telah dicapai.

Live With Darkness Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt