2/4 : Bonus Chapter

Start from the beginning
                                    

"Hyung," Wonwoo memanggil dengan suara pelan membuat Jeonghan menatapnya dengan mata menyipit. "Bagaimana kalau kalian ikut marriage conselling?"

Jeonghan yang berdiri mendekati lemari es langsung berhenti di tempat dan berhenti di sana dengan menatap tajam lemari es seakan-akan benda mati tersebut menyinggung perasaannya selama bertahun-tahun. Ia lalu berbalik dan berkacak pinggang menatap Jeon Wonwoo. "Why is that?"

"Aku pikir kalian membutuhkannya dan rekan kerjaku tahu psikolog yang ahli dalam bidang ini."

"Kami tidak bermasalah besar hanya selisih paham." Jeonghan menjawab dengan enteng.

Wonwoo mengerjap mendengarkan jawaban yang kuat dengan unsur penolakan dan ketidakpercayaan kalau mereka memiliki masalah besar. "Hyung, orang dengan hubungan waras tidak akan mudah mengeluarkan kata-kata bercerai."

Jeonghan kembali membalikan badan dan berjalan ke arah lemari es, membuka kotak tersebut dan mengambil bir dingin yang berada di dalamnya dan membukanya dengan pelan. "Itu hanya perumpamaan."

"Baiklah, tetapi tolong pikirkan baik-baik tawaranku."

Lelaki berambut pirang itu hanya memberikan senyum datar.

Seminggu berlalu semenjak mereka berdua berselisih paham namun tidak ada satupun dari mereka yang ingin memulai untuk membahas kembali ataupun meminta maaf setelah melontarkan kata-kata penuh amarah saat perdebatan mereka di kantor Yoon Jeonghan. Sejujurnya, Jeonghan lebih menyukai mereka tidak membahas kembali hal yang hanya akan memperburuk suasana hati dan keadaan rumah yang sudah membuatnya tidak nyaman karena seperti ada perang dingin antara dirinya dan Choi Seungcheol.

Mereka tidak berdebat apapun, tidak berselisih paham lagi, tetapi mereka juga tidak benar-benar bercerita seperti biasanya. Jeonghan sudah seminggu sengaja untuk pulang ke rumah larut malam untuk bekerja di kantor dan menyusun rencana untuk berlibur ke Swiss dalam waktu dekat. Saat ia pulang larut malam, biasanya Seungcheol masih terjaga sambil mengerjakan kerjaannya sendiri atau bermain video game dan menyuruhnya untuk makan yang akan langsung ditolaknya.

Setelah seminggu lelah lembur hingga tengah malam, Jeonghan memutuskan untuk bekerja dari rumah pada hari ini dan meminta asistennya untuk menunda in-site meeting dengan klien yang hampir memenuhi jadwal hariannya. Anehnya lagi, hari ini juga Choi Seungcheol memutuskan untuk cuti dari tempat kerja dan memilih untuk membereskan barang-barang mereka yang tidak terpakai untuk diberikan ke tempat daur ulang.

Jeonghan yang sejak tadi membenarkan konten deck presentasi milik anak buahnya sambil mengobrol secara daring dengan sang asisten yang masih menjelaskan permintaan panjang lebar klien yang seharusnya mereka temui hari ini.

"Iya, aku aku tahu—kau sudah menjelaskan itu tiga kali," Jeonghan menghela napas panjang mendengarkan asistennya mengulang hal yang sama. "Aku tahu orang ini merepotkan, kau tidak perlu takut. Kalau ada yang salah yang akan kena marah aku, kan? Jiho—astaga, lebih baik kita akhiri telepon ini. Aku akan menghubungimu setelah lunch time over. See you." Lanjutnya langsung mematikan sambungan telepon dan menutup laptop yang sejak lima jam lalu ia tatapan berlarut-larut hingga membuat keduamatanya terasa sakit dan perih.

Sambil memijit dahi secara perlahan, Jeonghan berjalan keluar dari ruang kerja yang merupakan space kecil di pojok rumah yang disediakan oleh Seungcheol untuk dirinya. Jam baru menunjukkan waktu makan siang tetapi ia merasa seluruh tenaganya telah habis karena mendengarkan omongan klien di meeting daring tadi. Seperti sebuah kebiasaan yang sepertinya diingat oleh tubuhnya, tanpa ia sadari ia berjalan mencari Choi Seungcheol yang berada di dalam kamar tidur mereka. Laki-laki dengan badan besar itu sedang beres-beres sambil menelpon seseorang.

[✓] From 5317 MilesWhere stories live. Discover now