🌧️ [37] :: Perihal Urusan yang Belum Tuntas

1K 164 25
                                    

SUASANA kampus terbilang cukup ramai ketika Fahla pertama kali menginjakkan kakinya di sana setelah satu setengah bulan lamanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SUASANA kampus terbilang cukup ramai ketika Fahla pertama kali menginjakkan kakinya di sana setelah satu setengah bulan lamanya. Terutama pada gedung jurusannya sendiri, di mana Fahla telah menemukan beberapa orang yang ia kenal--yang langsung memberi sapa kala menyadari kehadirannya. Fahla cukup yakin bahwa mereka-mereka ini adalah mahasiswa yang aktif di himpunan ataupun BEM, yang mana kata libur seolah tak ada dalam kamus mereka.

Kini setelah menyelesaikan urusannya dengan sang ketua pelaksana proker, Fahla bersama dengan Naya segera menuju kantin fakultas untuk makan siang. Ada beberapa kedai yang tetap buka, dan salah satunya adalah kedai yang menjajakan soto ayam, yang merupakan menu paling favorit Fahla di sana. Perempuan itu pun langsung saja memesan dan mencari meja dengan posisi yang enak untuk ditempati.

"Sumpah ya, ketuplak yang sekarang rada nyebelin gitu nggak sih, La?" Naya memulakan percakapan seraya menaruh sling bag di kursi kosong di sebelahnya. "Dari cara ngomongnya nggak maksa, tapi kata-kata yang dia ucapin tuh beneran maksa lo biar setuju. Ngerti nggak sih, lo?"

Fahla mendengkus pelan. "Ngerti lah, Nay, orang dia ngomongnya sama gue, masa gue nggak ngerasain itu? Makanya, gue agak kewalahan juga, bingung banget harus pake alasan apa lagi supaya dia stop maksa gue kayak gitu." Ia memberi jeda sejenak. "Gue males bilang begini sih, tapi serius, kalau bukan karena Kafka, rasanya gue udah pengen ngegas aja sama tuh orang."

"Ya, gimana ya, La? Elo kan, emang pernah sedivisi sama Kafka, dan lo udah tau banget gimana kinerjanya saat itu. Ya wajar aja, lo rekomendasiin dia sebagai kadiv. Dan untungnya juga, dia mau. Gue juga yakin banget, salah satu alasannya pasti karena lo yang minta, sih."

"Ah, sial," Fahla mengumpat pelan seraya mengusap rambutnya ke belakang. "Gue nggak mau punya hutang budi sama dia, Naaay!"

"Lo kan udah bilang makasih sama dia, La? Ya, walaupun cuma lewat telepon, gue rasa itu udah cukup banget malah."

"Ya tetep aja, kalau gue liat orangnya secara langsung, pasti bakalan terus keingetan deh sama gue."

Sungguh, kalau bukan karena terpaksa, Fahla takkan mau repot-repot membuang harga dirinya untuk menghubungi Kafka, setelah berkali-kali ia abaikan telepon maupun chat dari laki-laki itu, dan jangan lupakan pula pertemuan terakhir mereka yang tak bisa dibilang berakhir dengan baik. Untung saja, yang mengetahui hal ini hanyalah Naya dan Dio, si ketua pelaksana dari kelas sebelah yang tidak begitu dekat dengannya. Kalau saja teman-teman sekelasnya yang lain tau, entah apa yang akan mereka pikirkan mengenai Fahla nantinya.

Percakapan terhenti sejenak kala seorang pelayan mengantarkan pesanan. Kini dua mangkuk soto dan dua gelas es teh manis sudah tersaji di hadapan keduanya. Beberapa menit ke depan mereka habiskan untuk menikmati makanan masing-masing, meski sesekali obrolan tak penting muncul di tengah-tengah mereka.

It's Raining Outside [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang