🌧 [03] :: Tamu dari Kota

2.8K 368 6
                                    

CUACA di malam hari ini terasa lebih dingin, terlebih lagi karena sebelumnya hujan mengguyur deras

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

CUACA di malam hari ini terasa lebih dingin, terlebih lagi karena sebelumnya hujan mengguyur deras. Namun, faktor utamanya tentu karena wilayah tempat tinggalnya memang berada di dataran tinggi. Hebatnya, penduduk asli di sana tampaknya sudah sangat terbiasa dan tak pernah mengeluh sama sekali.

Hal itu berlaku pula bagi Graha meskipun ia baru menjadi bagian dari penduduk asli selama dua tahun. Bahkan menurutnya, mau sedang hujan atau panas, rasanya sama saja, sehingga ia memilih untuk tetap beraktivitas seperti biasanya di saat orang-orang ingin cepat-cepat sampai rumah untuk menghangatkan diri.

"Gra, kamu masih sibuk nyusunin buku?"

Dari arah kanan Graha mendengar suara Bunda yang berjalan nenghampirinya. Untuk sejenak Graha menghentikan sejenak kegiatannya--menyusun buku-buku baru di rak. "Ini tinggal dua lusin lagi," sahut Graha. Laki-laki yang memakai kaus hitam berlengan panjang itu pun bertanya, "Kenapa, Bun?"

"Bunda mau minta tolong beliin minyak goreng. Bunda mau goreng ayam, tapi lupa kalo minyaknya habis." Bunda menjeda sejenak untuk mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet yang dibawanya. "Tolong, ya? Itu sisanya lanjutin besok pagi aja sebelum buka."

Graha kemudian mengubah posisi jongkoknya menjadi berdiri. Laki-laki itu pun meraih uang yang diserahkan oleh sang bunda. "Yang berapa liter?"

"Satu liter aja cukup. Itu kalo ada lebihnya kamu boleh pake jajan, kok."

"Bunda, emangnya aku masih enam tahun? Aku juga punya uang sendiri kalo mau jajan."

Bunda terkekeh kecil. "Ya nggak papa dong kali-kali jajan pake uang Bunda?" tukas wanita paruh baya itu. "Bunda balik ke rumah dulu kalo gitu. Jangan lupa gembok pintu sebelum pergi. Jangan sampe kita kehilangan barang lagi kayak waktu itu."

Setelah Bunda menghilang dari pandangan, Graha pun memindahkan kardus berisi buku ke sudut ruangan. Lantas ia mematikan lampu-lampu yang menerangi tempat tersebut mulai dari lantai atas sampai bawah. Seusainya, Graha keluar dan menutup pintu, tak lupa menggemboknya seperti pesan Bunda tadi. Sudah cukup satu kali saja terjadi pencurian di toko buku milik keluarganya.

Graha kini menyusuri jalanan malam yang becek menuju warung yang terdapat di blok sebelah. Penerangan yang cukup minim tidak terlalu menyulitkannya karena Graha sudah sangat hafal di luar kepala dengan jalur yang digunakannya.

Sesampainya di warung grosir, Graha segera menyebutkan apa yang ingin dibelinya pada penjual.

"Pak, saya mau mi instan kuah. Yang pedes apa ya?"

Graha sedikit berjengit karena ia sama sekali tak merasakan kehadiran perempuan yang tahu-tahu saja sudah berdiri di sebelahnya. Wajahnya tampak asing, dan ia memakai jaket tebal yang kebesaran di tubuhnya yang mungil. Rambutnya dicepol dengan asal. Dari penampilannya, Graha sulit menebak berapa kira-kira umur perempuan itu. Apakah ia penghuni baru di komplek ini?

Setelah mengambil minyak goreng untuk Graha, bapak-bapak penjual itu segera meladeni si perempuan asing. "Oh, ada, Neng. Yang level lima, mau?"

"Boleh, Pak," sahut perempuan di sebelah Graha itu.

"Eneng baru pindah ke sini, ya? Kayaknya Bapak baru lihat hari ini."

"Oh, nggak pindah, Pak. Saya tinggal di Jakarta, kebetulan lagi main aja ke rumah Tante Ratna."

"Oalah, keponakannya Bu Ratna yang di blok B itu, ya? Sering belanja juga tuh, di sini."

Tanpa sengaja, Graha jadi mendengarkan percakapan mereka dan mendapatkan informasi bahwa perempuan itu hanyalah tamu yang singgah untuk menghabiskan waktu liburan. Pantas saja Graha tidak pernah melihatnya.

"Pak, ini uangnya," Graha menyerahkan uang setelah sang penjual tak lagi sibuk bercengkerama dengan perempuan itu.

"A, anterin sekalian atuh si eneng, jalan di blok B kan gelap, banyak yang belum dibenerin lampunya," balas si bapak penjual  setelah menerima uang dari Graha.

Secara otomatis Graha pun menoleh pada perempuan di sampingnya yang ternyata tengah menatapnya juga. Graha tidak tahu haruskah ia menuruti kata-kata penjual itu atau tidak. Faktanya, perempuan itu bisa sampai ke warung tanpa ada masalah. Seharusnya saat perjalanan pulang pun tidak akan ada masalah juga, 'kan?

"Nggak usah, Pak, saya bisa sendiri, kok," perempuan itu langsung memberikan penolakan dengan halus. Sehabis melakukan pembayaran, ia pun langsung bersiap beranjak dari tempatnya berdiri. "Makasih, Pak!"

Graha memandangi punggung sempit itu sejenak sebelum mengucapkan terima kasih dan turut meninggalkan warung tersebut. Kini ia telah berada tepat beberapa meter di belakang perempuan tadi.

Suara sandal jepit milik Graha yang  bergesekan dengan aspal terdengar cukup jelas, hingga membuatnya langsung menoleh ke belakang. "Bukannya tadi gue bilang nggak usah dianterin?"

Graha terdiam sesaat tanpa menampilkan ekspresi apapun. "Rumah saya di blok B juga."

Setelahnya, perempuan itu kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya tanpa memedulikan Graha, entah karena malu atau ia memang benar-benar tak acuh. Graha juga tidak mau repot-repot memikirkannya.

Dan begitulah percakapan super singkat yang terjadi antara Graha dan tamu dari kota yang membeli mi instan pedas hari ini.

🌧

author's note:

karena satu dan lain hal, aku mengubah perpustakaan jadi toko buku, ya. ini aku publish ulang karena sebelumnya ada yang perlu diedit dan takut yang udah sempet baca nantinya jadi bingung, kenapa tiba-tiba ganti jadi toko buku wkwk.

oke deh, sampe ketemu di bab selanjutnya!

bandung, 17 desember 2021

love, dinda.

It's Raining Outside [END]Where stories live. Discover now